Sulit rasanya percaya penuh bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah "tobat" dan tidak berniat lagi menyerang Iran, meskipun dua pangkalan militer AS di Irak (Al-Assad dan Irbil) dibombardir menggunakan puluhan rudal balistik pada Rabu (8/1) sebagai wujud pembalasan Iran atas kematian mantan Komandan Pasukan Quds, Qassem Soleimani pada Jumat (3/1).
Pernyataan "ingin berdamai dengan Iran" yang dimaknai sebagian pihak merupakan sikap ikhlas Trump, atau barangkali dinilai lagi jika serangan terhadap pangkalan militer AS cukup sebanding dengan nyawa Soleimani, dan oleh karena itu perang susulan tidak mungkin terjadi (kondisi tegang berakhir antiklimaks), sebaiknya jangan langsung diafirmasi.
Atau prediksi lain oleh para pengamat yang mengatakan Trump tidak akan melanjutkan serangan terhadap Iran karena 3 (tiga) alasan, yakni pertimbangan Pilpres 2020 (pada 3 November 2020) karena Trump butuh simpati warga AS, adanya penolakan oleh sekutu AS di Timur Tengah (terutama Kuwait, Dubai, Arab Saudi, dan Israel), serta keberadaan bisnis Trump (hotel dan klub golf) di Dubai yang dikhawatirkan terdampak, belum tentu jadi pemikiran Trump.
Trump tidak bakal mengambil sikap seikhlas itu. Bagaimana mungkin Trump memilih cara damai, sementara pembunuhan Soleimani nyata didasarkan pada aksi balas dendam atas serangan Iran yang pernah terjadi beberapa waktu sebelumnya?
Bukankah serangan terbaru Iran justru lebih dahsyat? Bukankah pula Trump sempat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran pada 2018, yaitu melarang negara itu mengekspor minyak ke negara-negara lain?
Hemat penulis, Trump tetap membalas Iran, namun dengan cara lembut dan tak langsung, di mana efeknya terasa berkepanjangan. Jika Iran tidak menyadari taktik serangan Trump, negara itu pasti akan mengalami kerugian besar.
Iran harus sadar bahwa Trump sedang melakukan pembalasan bukan perang, tetapi dalam bentuk lain. Taktik atau balasan bentuk apa yang dimaksud?
Balasan yang dilancarkan Trump adalah memanfaatkan kecerobohan Iran saat menembak jatuh pesawat komersial jenis Boeing 737 milik Ukraina pada Rabu (8/1) yang diketahui menewaskan 176 orang (167 penumpang dan 9 awak kabin). Mayoritas korban merupakan warga negara Kanada dan Iran sendiri, di mana rata-rata berstatus mahasiswa.
Pihak militer Iran yang mengaku "tidak sengaja" menembak pesawat yang berangkat dari Bandara Internasional Imam Khomeini, Iran menuju Kiev, Ukraina karena mengira "rudal jelajah" tersebut, ternyata turut membuat Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau berang. Justin meminta pertanggungjawaban Iran karena telah menghilangkan nyawa puluhan warga Kanada yang tidak berdosa.
Ditambah lagi pengakuan peneguhan Presiden Iran, Hassan Rouhani yang menyatakan bahwa kecerobohan militer negaranya sebagai kesalahan yang tak termaafkan, seraya melayangkan ungkapan belasungkawa kepada para keluarga korban dan negara asal mereka. Rouhani pun berjanji akan mengidentifikasi dan mengusut tuntas masalah itu.
Kiranya dua pengakuan di atas (dari militer dan presiden Iran) yang dimanfaatkan oleh Trump. Seolah "menunggangi" duka, Trump diketahui telah melibatkan sebagian negara Eropa agar terlibat dalam perselisihan AS dan Iran.Â
Trump mendesak Inggris, Jerman, Perancis, Rusia dan termasuk China serta negara-negara lain untuk menarik diri dari perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau yang dikenal dengan kesepakatan nuklir Iran.
Tidak hanya itu, Trump juga meminta negara-negara tadi menjatuhkan sanksi terhadap Iran supaya semakin terisolasi. Tampaknya Trump berniat "menghajar" Iran dengan cara keroyokan.Â
Apakah upaya Trump berhenti sampai di situ? Tidak. Trump sedang menciptakan "perangkap" bagi Iran, yang penulis nilai dimanifestasikan dalam wujud provokasi lewat cuitan berbahasa Persia. Berikut cuitan Trump di Twitter yang ditulis hari ini, Minggu (12/1):
"Kepada orang-orang Iran yang pemberani dan menderita: Saya telah mendukung Anda sejak awal kepresidenan saya dan pemerintah saya akan terus mendukung Anda. Kami mengikuti protes Anda dengan cermat. Keberanianmu menginspirasi," demikian bunyi cuitan Trump. Lihat gambar di bagian atas artikel.
Trump tengah memanfaatkan kemarahan dunia internasional, khususnya warga Iran. Perlu diingat, warga Iran ikut marah atas peristiwa penembakan pesawat komersial milik Ukraina. Sekali lagi, korban tewas juga adalah warga Iran.
Ribuan warga Iran (kebanyakan mahasiswa) yang sebelumnya mengutuk serangan AS yang menewaskan Soleimani, kini malah berbalik arah dan melakukan demonstrasi menentang pemimpin tertinggi mereka, Ayatollah Ali Khamenei. Mereka menuntut Khamenei dihukum mati karena dianggap diktator.
Apakah Trump sedang "mengadu domba" warga Iran dengan pemerintah mereka? Bisa ditangkap demikian. Pemerintah Iran dibuat Trump berada di posisi sulit, yang akhirnya sibuk mengurus warganya sendiri. Semacam "devide et impera". Pernyataan Pentagon beberapa waktu lalu yang mengaku tidak punya misi mencampuri urusan politik dalam negeri Iran, rasanya susah diyakini.
Tidak puas melibatkan negara-negara Eropa serta "membenturkan" warga Iran, lewat cuitan tambahan berikut, Trump kelihatan ingin memojokkan pemerintah Iran, dengan minta campur tangan para pegiat hak asasi manusia (HAM) untuk mengikuti kondisi sosial (termasuk politik) di Iran.
"Pemerintah Iran harus mengizinkan kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk memantau dan melaporkan fakta-fakta dari lapangan mengenai protes yang sedang berlangsung oleh rakyat Iran. Tidak akan ada lagi pembantaian demonstran damai, atau penghentian internet. Dunia menyaksikan," bunyi cuitan tambahan Trump.
Sadarkah Iran atas manuver Trump? Semoga saja. Iran harus mampu membaca segala langkah Trump, sekecil apa pun. Iran mesti bertindak ekstra hati-hati supaya tidak terjebak pada masalah yang semakin serius.
Sambil menyusun strategi menangkal manuver Trump, tindakan sementara yang penting dilakukan Iran yaitu memenuhi hak-hak para korban pesawat dan keluarga mereka. Tidak boleh berhenti pada ucapan belasungkawa, permintaan maaf, dan janji pengusutan kasus.
***
Referensi: [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H