Pasti ada yang langsung berpendapat bahwa kebijakan pencopotan atap Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Sudirman oleh Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Bina Marga tidak ada kaitannya dengan pengabulan keinginan beberapa pihak yang meminta agar rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) RAPBD 2020 DKI Jakarta dibuka terang-benderang ke publik.
Pendapat sederhananya demikian. Namun jika dipahami betul, keduanya berhubungan dengan kebutuhan warga. Bedanya, yang satu diinisiasi untuk segelintir orang, sementara yang lainnya didesak untuk mayoritas warga. Yang satu diwujudkan tanpa diminta, sedangkan yang lainnya diminta tapi enggan dikabulkan.
Maksudnya begini, di tengah polemik pembahasan rencana APBD 2020, Pemprov DKI Jakarta masih sempat-sempatnya memikirkan bagaimana supaya tersedia lokasi khusus untuk berburu foto di tengah kota. Dan tidak sebatas dipikirkan, tapi langsung ditindaklanjuti dengan cepat.Â
Salahkah menyediakan lokasi itu? Tentu tidak, cuma belum urgent. Belum lagi manfaat dari fasilitas tersebut hanya akan dinikmati sebagian orang. Ya, mereka yang hobi mengambil gambar saja.
Pada Rabu, 23 Oktober 2019 lalu, saat rapat pimpinan (rapim) penataan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar Thamrin-Sudirman dan pusat kuliner Thamrin 10, Gubernur Anies Baswedan turut memberi perintah agar atap JPO Sudirman (JPO di antara Indofood Tower dan Menara Astra) dicopot.
Alasannya karena JPO itu hanya menghubungkan antar-trotoar (tempat outdoor) atau tidak menyambungkan halte Transjakarta. Anies berharap, dengan atap sudah dicopot, JPO bisa berguna sebagai lokasi bagus untuk berfoto.
"Di sini kan ada JPO, atapnya dicopot, jadi tanpa atap, tidak usah pakai atap. Apa yang terjadi nanti kalau dibuka? Itu tempat selfie paling sering Pak nanti, karena pemandangan gedung di malam hari bagus sekali, sore, siang. Jadi atapnya copot, itu langsung jadi space terbuka," kata Anies (23/10/2019).
Hanya dua alasan, JPO tidak tersambung dengan halte Transjakarta dan lokasinya menyajikan pemandangan bagus. Pertanyaannya, masih pantaskah disebut sebagai jembatan ketika fungsinya diubah?
Betul, masih berbentuk jembatan dan bisa dilalui orang untuk lalu-lalang. Namun sadarkah bahwa fungsi JPO menjadi berkurang karena tidak lagi menjamin kenyamanan di waktu hujan dan panas?
Bagaimana dengan mereka yang melintas JPO tapi dalam kondisi rentan, misalnya kaum lansia, penyandang disabilitas, orang sakit, dan anak-anak? Bukankah mereka butuh suasana teduh saat melintas? Dan apakah maksudnya bahwa orang-orang yang diberi kenyamanan melintas hanya mereka yang mau naik bus Transjakarta?
Kalau pertimbangannya soal lokasi bagus untuk mengambil foto, itu bukan di JPO tapi di tempat yang lebih tinggi, misalnya di gedung. Pemandangan kota jauh lebih terjangkau kamera.Â
Lalu di saat musim hujan yang berkepanjangan di mana sangat tidak mungkin orang mengambil foto, apakah maksudnya JPO Sudirman dibiarkan jadi kerangka beton dan besi yang tidak berguna?
Selanjutnya ada lagi rencana pemasangan lampu warna-warni di JPO Sudirman, mengapa anggarannya tidak digunakan untuk memperbaiki JPO-JPO di tempat lain yang kondisinya masih memprihatinkan?
Beberapa hal di atas perlu ditimbang secara matang, JPO mestinya bermanfaat bagi banyak orang, bukan segelintir saja. Masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak untuk dipenuhi ketimbang soal keberadaan lokasi berfoto yang instagramable.
Sekali lagi, tulisan sederhana ini dibuat dengan maksud supaya Pemprov DKI Jakarta lebih cermat memilah mana keinginan dan mana kebutuhan. Mana skala prioritas dan mana pula sebatas penghambur-hamburan uang.
Jangan di saat publik sedang menyoroti kejanggalan rencana APBD 2020, Pemprov DKI Jakarta malah sibuk mencari cara supaya anggaran semakin terbuang sia-sia.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H