Sebagai pejabat baru, saya ingin menghindari diri dari dosa lama. Saya mulai mempelajari aliran pemasukan dan pengeluaran sekolah. Dan saya menemukan, betul salah satu penyebab utama defisit adalah minimnya kontribusi dari para peserta didik (iuran bulanan).
Tidak tega membebani orang tua peserta didik, saya putuskan iuran bulan tidak berubah, meskipun pihak yayasan menganjurkan saya menaikkan uang sekolah.
Yang saya lakukan berikutnya yakni mengubah tradisi penyusunan anggaran. Saya meminta penyusunan anggaran di tahun berikutnya wajib dicicil sedini mungkin dan dibuat detail per kebutuhan, per harga, per unit barang dan sebagainya.
Apa yang saya temukan, ternyata pola penyusunan anggaran sebelumnya dilakukan serampangan, yang penting jumlahnya sesuai RAB (seimbang antara pemasukan dan pengeluaran).
Tradisi baru yang saya munculkan tidak seindah yang saya bayangkan. Saya mulai diprotes sana-sini, dinilai berbelit-belit dan kaku. Maksudnya kalau nilai anggaran dibuat statis, takut tidak mengakomodir kebutuhan mendadak.
Tetapi saya tetap pada pendirian, semua anggaran kebutuhan harus rinci. Barang sekecil apa pun wajib ditulis untuk kebutuhan apa, pada saat kapan dan seterusnya. Tidak ada kebutuhan mendadak. Maka saya minta 2 persen dari total anggaran disisihkan sebagai cadangan.
Intinya saya tidak mau biaya kebutuhan mendadak itu diselip-selipkan di anggaran lain. Dan jika 2 persen anggaran cadangan tidak terpakai, maka wajib digunakan lagi untuk tahun anggaran berikutnya. Pokoknya begitu terus-menerus.
Anies pada arahannya (23/10) mengatakan sangat mungkin ada "permainan" bersama toko atau penyuplai barang kebutuhan. Maka pada pengalaman lampau, saya meminta bendahara sekolah menyerahkan nama-nama toko atau penerbit (pembelian buku) rekanan.
Karena dengan sudah adanya sistem 'kaku' keuangan, peluang permainan anggaran tetap terbuka. Saya tahu bahwa beberapa toko dan penerbit sengaja mengikat relasi dengan sekolah saya lewat iming-iming hadiah liburan atau voucher belanja.
Tidak ada diskon khusus (di balik meja) dan tidak ada tawaran liburan! Semua barang dibeli sesuai kebutuhan nyata. Barang atau buku pegangan belajar-mengajar (peserta didik dan guru) yang kurang berkualitas tidak boleh dibeli. Barang mahal namun berkualitas tidak jadi soal.Â
Saya tidak ingin menipu orang tua dan anak-anaknya dengan belanja benda tidak berguna. Maksudnya begini, misalnya saja buku pelajaran. Saya yakin bukan cuma sekolah saya yang melakukan ini.Â