Sekali lagi, benar tidaknya hasil survei Unisri yang menjadi pemantik motivasi Gibran, hanya Gibran sendiri yang paling tahu. Setidaknya sejak Unisri merilis hasil surveinya, keinginan Gibran masuk politik mulai terbentuk dan terlihat.
Gibran sudah resmi masuk politik, menjadi kader PDIP, dan sekarang tengah berjuang mendapatkan tiket di Pilkada Solo 2020. Baik Achmad Purnomo (calon rival Gibran) maupun internal PDIP tidak mempersoalkan pencalonan Gibran.
Apa sikap kita yang notabene bukan pribadi Gibran dan bagian dari PDIP? Mengapa ada sebagian dari kita yang seolah "lebih Gibran" daripada Gibran dan "lebih PDIP" dibanding PDIP?
Mengapa pula ada ramalan yang terlalu jauh bahwa jika Gibran terpilih jadi wali kota Solo akan merusak citra Presiden Jokowi? Apa hubungannya status Gibran sebagai wali kota dengan Presiden Jokowi yang memimpin negara?
Apakah maksudnya Presiden Jokowi akan lebih mengistimewakan (memperhatikan) Kota Solo bila anaknya yang jadi wali kota? Atau mungkin dikaitkan dengan potensi "dinasti politik"?
Tampaknya tidak kedua-duanya. Sampai sekarang Presiden Jokowi tidak punya "anak emas" selain Papua. Dan hal itu patut dimaklumi, saudara-saudari kita di sana memang amat butuh perhatian lebih.
Soal potensi "dinasti politik", hubungan Gibran dengan Presiden Jokowi tidak lebih buruk daripada yang tertulis pada artikel berikut yang berjudul "Suami Jabat Bupati dan Istri Jabat Ketua DPRD, Konflik Kepentingan Sulit Terhindarkan". Sila klik judul artikelnya supaya isinya terpampang jelas.
Atau yang lain lagi, Gibran sedang memanfaatkan popularitas Presiden Jokowi yang diistilahkan "Jokowi's Effect", apa masalahnya? Siapa pun di antara kita yang berniat sama dengan Gibran dan kebetulan punya orang tua selevel pejabat negara, tentu kita tidak akan menyia-nyiakan "modal gratis" itu?
Justru Gibran bakal memiliki mentor terbaik jika betul dia jadi Wali Kota Solo, yakni ayahnya sendiri, Presiden Jokowi. Dan anak yang baik tidak mungkin merusak citra ayahnya, misalnya tersangkut perbuatan kriminal, korupsi dan tindak pidana sejenis.
Hal berikutnya, mungkin Gibran dianggap belum cukup matang menjadi pemimpin karena usianya baru 32 tahun. Bagaimana dengan sikap mandiri, tingkat pendidikan, dan pengalaman memimpinnya di perusahaannya, bukankah itu bisa jadi modal?
Kesampingkan bahwa Gibran sebenarnya punya mentor, seorang presiden. Bagaimana kita tidak menilai Nadiem Makarim/ usia 35 tahun (Mendikbud), Angela Herliani Tanoesoedibjo/ usia 32 tahun (Wamen Parekraf) dan Hillary Brigitta Lasut/ usia 23 tahun (Anggota DPR RI) sama dengan Gibran?