Tinggal menghitung hari, susunan keanggotaan kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin akan segera diumumkan, tepatnya setelah pasangan presiden dan wakil presiden terpilih itu dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2019. Artinya sudah jelas siapa yang akan memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan (2019-2024), yaitu Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Namun yang masih menjadi misteri adalah sosok-sosok yang bakal dipercaya sebagai pembantu (menteri) presiden dan wakil presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Apakah para menteri yang dipilih sebagian besar berwajah lama atau baru, hal itu merupakan wewenang presiden, yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun.Â
Hal yang patut dipahami juga adalah, mungkin beberapa wajah lama akan tetap diberi kepercayaan lagi membantu pemerintah, dan sebagian lainnya tidak. Sekali lagi, ini semua hak prerogatif presiden. Beliau yang paling tahu siapa saja yang pantas dan layak menjadi pembantunya.
Berikutnya, di samping memahami hak prerogatif presiden, hal lain yang mesti dimengerti yakni bila beberapa menteri lama tidak lagi diberi kepercayaan menjabat, bukan semata karena masalah kinerja, misalnya jelek atau tidak memuaskan. Presiden pasti punya pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Langsung saja, umpamanya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti tidak dilanjutkan untuk periode berikutnya, bukan berarti beliau berkinerja buruk. Beliau diakui cukup berhasil di KKP, yang salah satunya di bidang penegakan hukum untuk masalah illegal fishing. Lalu kira-kira apa dasar (alasan atau pertimbangan) presiden mengalihkan jabatan tersebut kepada orang lain?
Menurut penulis, setidaknya ada tiga alasan presiden. Pertama, jabatan Susi sudah paripurna, artinya masa kontrak jabatan lima tahun selesai. Menjabat sampai di akhir periode saja sudah jadi bukti bahwa Susi selama ini tidak bermasalah. Tidak seperti dua menteri lainnya (Idrus Marham dan Imam Nahrawi) yang terpaksa berhenti di tengah jalan karena berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KKP).
Kedua, barangkali ada jabatan atau tugas khusus bagi Susi yang tengah dipersiapkan oleh presiden, yang penulis dan publik tidak tahu tentang hal itu. Siapa tahu presiden mau menantang Susi dengan tugas yang lebih berat (menantang) lagi.
Dan ketiga adalah, presiden pasti ingin memberi kesempatan kepada orang lain, yang barangkali kompetensinya setara atau melebihi Susi. Artinya memang semua pertimbangan berada di tangan presiden selaku pengguna.
Supaya tidak terlalu luas pembahasannya, mari fokus pada salah satu kementerian yang mungkin diisi menteri berwajah baru. Andaikan itu terjadi di KKP, siapakah sosok-sosok yang cocok meneruskan kepemimpinan di sana?
Setidaknya ada tiga nama yang disebut-sebut cocok menjabat Menteri KKP di kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, yaitu Prof. Dr. drh. Muhamad Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD (Guru Besar di Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor/ IPB), Laksamana TNI (Purn.) Prof. Dr. Marsetio, MMÂ (Guru Besar Ilmu Pertahanan di Universitas Pertahanan) dan Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (Guru Besar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor). [A]
Semoga munculnya ketiga nama profesor atau guru besar di atas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap latar belakang pendidikan dan rekam jejak pengalaman karir mereka. Dengan begitu, bisa disimpulkan, jabatan Menteri KKP bakal jadi rebutan ketiga orang hebat itu.
Untuk mengetahui profil mereka lebih lanjut, penulis turut melampirkan beberapa tautan di bagian bawah artikel. Tetapi secara ringkas, berikut keterangan pembuka supaya ada gambaran tentang mereka.
Pertama,  Prof. Dr. drh. Muhamad Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD. Beliau tampaknya lebih banyak menghabiskan masa pengabdiannya di bidang kesehatan. Selain sebagai dokter hewan dan guru besar di ITB, beliau juga saat ini menjabat Deputi Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan  Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Apa dasar beliau dianggap cocok jadi Menteri KKP? Penulis belum dapat benang merahnya. Menurut hemat penulis, beliau sepertinya lebih tepat di kementerian rumpun kesehatan atau sosial, ketimbang KKP.
Kedua, Laksamana TNI (Purn.) Prof. Dr. Marsetio, MM. Beliau ini adalah Guru Besar Ilmu Pertahanan kedua di Universitas Pertahanan, di mana sebelumnya diraih oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara beliau diangkat pada 26 Juli 2018 lalu.
Meski demikian, karir Marsetio sebagai prajurit dan pimpinan di Angkatan Laut cukup jadi modal baginya dalam memahami masalah kelautan, perikanan atau kemaritiman. Riwayat pendidikan formal non militer Marsetio, antara lain Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Wijaya Putra, Surabaya (S-1), Ilmu Manajemen di Universitas Wijaya Putra, Surabaya (S-2) dan Ilmu Budaya (Culture Studies) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (S-3).
Yang terakhir, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Rasanya di antara ketiga guru besar, cuma beliaulah yang lebih cocok menjabat Menteri KKP, menggantikan Susi. Mengapa?
Latar belakang pendidikan Rokhmin juga cukup spesifik tentang perikanan dan kelautan. Bahkan gelar profesor yang disandangnya di bidang yang sama, kelautan dan perikanan.Â
Riwayat pendidikan Rokhmin antara lain Ilmu Manajemen Sumber Daya Perairan di Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor (S-1), Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (S-2) dan Ilmu Ekologi dan Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan di School for Resources and Environmental Studies, Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Canada (S-3).
Semasa menjadi dosen, Rokhmin juga pernah mendapat penghargaan sebagai Dosen Teladan I Tingkat Nasional (1995) dan Indonesian Develpoment Award (1999), dan Bapak Persahabatan Indonesia-Korea (2019).
Apakah hanya pertimbangan disiplin keilmuan, gelar guru besar, dan status jabatan di partai politik yang membuat Rokhmin layak dipertimbangkan untuk menggantikan Susi? Tentu bukan cuma itu. Rokhmin pernah berpengalaman sebagai Menteri KKP di dua kabinet pemerintahan berbeda.
Jabatan Menteri KKP diemban Rokhmin pada masa Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Juni-Agustus 2001) dan pada masa Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri (Agustus 2001-Oktober 2004).
Pasti publik pernah mendengar bahwa Rokhmin sempat tersangkut kasus korupsi (gratifikasi) dana non-bujeter DKP yang akhirnya beliau divonis 7 tahun penjara, sejak 2007. Namun ternyata setelah beliau mengajukan kasasi di Mahkamah Agung, hakim memutuskan memangkas masa tahanannya, sehingga beliau bebas pada 2009. Mungkin saja ada persoalan di balik penetapan status hukum terhadap beliau.
Bagaimana dengan "label hitam" yang sempat mencemari nama Rokhmin itu, apakah bisa menjadi penghambat baginya untuk menjadi pejabat publik, misalnya menteri?
Berdasarkan keterangan tegas mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Rokhmin tetap berhak menjadi pejabat publik, alasannya karena sudah menjalani masa hukuman. Belum lagi pertimbangan hasil keputusan hakim Mahkamah Agung tadi.
"Yang bersangkutan telah menjalankan hukuman, dan kembali menjadi warga biasa dengan segala hak dan kewajibannya. Tidak ada masalah," kata Erry (3 Agustus 2014). [B]
Oleh karena itu, tidak bermaksud mendahului atau seolah-olah tahu apa yang ada di benak Jokowi saat ini, penulis memprediksi jika jabatan Menteri KKP diberikan kepada orang baru (bukan kepada Susi lagi), maka penerima mandat tersebut adalah Rokhmin Dahuri. Walaupun Rokhmin juga bukan orang baru di KKP.
***
Pustaka: Rizal Damanik [1, 2]; Marsetio [3, 4, 5, 6]; Rokhmin [7, 8 dan Buku "Menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia"]. Tambahan [9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H