Baiklah bahwa THT dan tunjangan-tunjangan lain tadi merupakan hak yang pantas diterima anggota DPR, akan tetapi untuk uang pensiun rasanya tidak masuk logika. Jabatan sebagai anggota DPR bukanlah jabatan sejenis di birokrasi yang wajib memenuhi syarat-syarat tertentu agar layak mendapat uang pensiun.
Jabatan DPR adalah jabatan politis, semacam jabatan kontrak yang diamanat rakyat dalam periode terbatas. Mengapa disamakan dengan status ASN? Anggota DPR itu bukan pensiun tetapi memang masa kontraknya habis (jika tidak terpilih kembali).
Benar apa yang dikatakan Fahri Hamzah, uang pensiun itu lebih tepat diberikan kepada para birokrat yang telah mengabdi puluhan tahun untuk negara.
"Sebenarnya saya punya teori bahwa yang layak dapat pensiun birokrat. Karena dia kerjanya di dalam struktur negara lebih lama. Kalau politisi itu cuma 5 tahun," ujar Fahri.
Mari dihitung, kalau dirata-rata Rp 3,2, total jumlah uang yang rutin wajib diberikan per bulan kepada 298 "pensiunan DPR" sebesar Rp 953,6 juta atau hampir menyentuh angka Rp 1 miliar.
Bukan berangkat dari aturan Kemenkeu dan Surat Edaran Setjen DPR saja, dasar logika apa lagi mengenai alasan pemberian uang penisun kepada anggota DPR?
Bagaimana mungkin orang yang memiliki masa kerja hanya 5 tahun dan tidak berstatus ASN atau birokrat tetap "memakan" uang rakyat secara cuma-cuma?
Kontribusi apa yang akan disumbangkan oleh "pensiunan DPR" kepada rakyat? Adakah negara menitipkan sebuah tugas baru kepada mereka sehingga rakyat tidak merasa sakit hati?
Uang sejumlah Rp 3,2 juta memang tampak kecil di mata para anggota DPR (seperti yang diakui Fahri Hamzah bahwa uang itu jauh lebih kecil dibanding penghasilan isterinya), tapi tidak di mata rakyat kecil.
Semoga negara (pemerintah) dan para anggota DPR lebih peka lagi melihat kondisi rakyat.
***