Masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 telah berakhir sejak kemarin (Senin, 30 September 2019) dan hari ini (Selasa, 1 Oktober 2019) merupakan awal bagi anggota DPR periode 2019-2024 melaksanakan tugasnya. Perlu diketahui bahwa jumlah anggota DPR paripurna sebanyak 560 orang, sedangkan jumlah anggota DPR baru sebanyak 575 orang.
Anggota DPR periode 2019-2024 sendiri tidak semuanya wajah baru, ada sebanyak 298 orang berwajah lama yang terpilih kembali menerima mandat dari rakyat. Maka artinya mereka yang berwajah baru sejumlah 277 orang, lebih sedikit dibanding yang berwajah lama.
Bukan bermaksud menihilkan kekecewaan rakyat selama ini, ungkapan rasa terima kasih patut diberikan kepada para anggota DPR periode 2014-2019, khususnya mereka yang tidak lagi menjabat untuk lima tahun ke depan.
Sementara bagi para anggota DPR periode 2019-2024 wajib dititipkan harapan yang lebih besar, salah satunya adalah semoga kinerja yang akan mereka torehkan jauh lebih baik dibanding periode sebelumnya.
Namun, di balik berakhirnya tugas anggota DPR periode 2014-2019 dan dimulainya tugas anggota DPR periode 2019-2024, ada satu hal yang pantas dipertanyakan oleh rakyat yakni pemberian uang pensiun bagi anggota DPR paripurna.
Tidak hanya uang pensiun, anggota DPR paripurna turut diberikan uang tunjangan hari tua (THT). Dasar hukum pemberian kedua jenis 'uang' tersebut adalah Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010.
Entah berapa jumlah uang pensiun per bulan dan THT para anggota DPR di periode-periode sebelumnya, untuk periode 2014-2019 diketahui masing-masing sejumlah Rp 11.184.423 THT (sekali terima) dan Rp 3,2 juta uang pensiun per bulan. Khusus mereka yang menjabat lebih dari satu periode, uang pensiun lebih besar, sekitar Rp 3,8 juta.
"Untuk anggota DPR satu periode uang pensiunnya Rp 3,2 juta. Untuk yang lebih dari dua periode besarannya Rp 3,8 juta. Uang pensiun dibayarkan perbulan sampai dia (anggota DPR) meninggal. Kalau ada istrinya dilanjutkan ke istrinya," kata Iqbal Latanro, Direktur Utama PT. Taspen.
Memperjelas apa yang dikatakan Iqbal, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menegaskan bahwa pemberian uang pensiun merupakan bentuk apresiasi negara, seperti yang berlaku bagi aparatur sipil negara (ASN).
"Hampir sama semua ketentuannya persis mirip dengan ASN, PNS sama persis. Rata-rata kalau yang menjabat penuh rata-rata sekitar Rp 3,7 juta," kata Indra.
Betapa enaknya jadi anggota DPR, ternyata di samping mendapat THT dan tunjangan-tunjangan lain selama menjabat (di antaranya tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan pemeliharaan rumah, biaya perjalanan dinas, dan sebagainya), masih juga diberi uang pensiun.
Baiklah bahwa THT dan tunjangan-tunjangan lain tadi merupakan hak yang pantas diterima anggota DPR, akan tetapi untuk uang pensiun rasanya tidak masuk logika. Jabatan sebagai anggota DPR bukanlah jabatan sejenis di birokrasi yang wajib memenuhi syarat-syarat tertentu agar layak mendapat uang pensiun.
Jabatan DPR adalah jabatan politis, semacam jabatan kontrak yang diamanat rakyat dalam periode terbatas. Mengapa disamakan dengan status ASN? Anggota DPR itu bukan pensiun tetapi memang masa kontraknya habis (jika tidak terpilih kembali).
Benar apa yang dikatakan Fahri Hamzah, uang pensiun itu lebih tepat diberikan kepada para birokrat yang telah mengabdi puluhan tahun untuk negara.
"Sebenarnya saya punya teori bahwa yang layak dapat pensiun birokrat. Karena dia kerjanya di dalam struktur negara lebih lama. Kalau politisi itu cuma 5 tahun," ujar Fahri.
Mari dihitung, kalau dirata-rata Rp 3,2, total jumlah uang yang rutin wajib diberikan per bulan kepada 298 "pensiunan DPR" sebesar Rp 953,6 juta atau hampir menyentuh angka Rp 1 miliar.
Bukan berangkat dari aturan Kemenkeu dan Surat Edaran Setjen DPR saja, dasar logika apa lagi mengenai alasan pemberian uang penisun kepada anggota DPR?
Bagaimana mungkin orang yang memiliki masa kerja hanya 5 tahun dan tidak berstatus ASN atau birokrat tetap "memakan" uang rakyat secara cuma-cuma?
Kontribusi apa yang akan disumbangkan oleh "pensiunan DPR" kepada rakyat? Adakah negara menitipkan sebuah tugas baru kepada mereka sehingga rakyat tidak merasa sakit hati?
Uang sejumlah Rp 3,2 juta memang tampak kecil di mata para anggota DPR (seperti yang diakui Fahri Hamzah bahwa uang itu jauh lebih kecil dibanding penghasilan isterinya), tapi tidak di mata rakyat kecil.
Semoga negara (pemerintah) dan para anggota DPR lebih peka lagi melihat kondisi rakyat.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI