Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Serahkan Mandat Lewat Konpers, Komisioner KPK Langgar Etika dan Prinsip Profesionalitas

14 September 2019   00:34 Diperbarui: 14 September 2019   00:58 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif saat konferensi pers di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta (Jumat, 13/9/2019) | KOMPAS.com/ DYLAN APRIALDO RACHMAN

Menurut saya aneh ketika lewat konferensi pers yang dilakukan kemarin malam (Jumat, 13 September 2019), beberapa komisioner KPK periode 2015-2019 mengumumkan bahwa mereka menyerahkan mandat pengelolaan lembaga KPK ke tangan Presiden Joko Widodo.

Beberapa komisioner yang dimaksud bernama Agus Rahardjo (Ketua KPK), Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK), dan Laode M. Syarief (Wakil Ketua KPK). Lalu ke mana dua komisioner lain?

Saya kurang tahu, barangkali ada kesibukan lain sehingga tidak menghadiri konferensi pers. Khusus untuk Alexander Marwata, saya yakin beliau tidak mungkin ikut karena sudah terpilih lagi jadi komisioner untuk periode 2019-2023.

Apakah konferensi pers yang digelar merupakan keputusan bersama seluruh komisioner, saya juga kurang tahu. 

Bagi saya, menyerahkan mandat ke Presiden Jokowi tidak hanya melanggar etika tetapi juga menabrak prinsip profesionalisme.

Mohon maaf, saya terpaksa mengatakan bahwa para komisioner KPK yang sedang menjabat tidak punya rasa tanggung jawab. Mereka berniat 'menanggalkan jabatan' tapi melalui konferensi pers.

Bisa dipahami, penyebab 'ngambeknya' para komisioner karena dua hal, yakni keberatan revisi UU KPK dan kurang 'sreg' lolosnya beberapa calon komisioner periode 2019-2023 yang dinilai bermasalah.

Misalnya saja Firli Bahuri yang telah resmi dipilih oleh Komisi III DPR RI menjadi Ketua KPK yang baru. Bersama Firli, empat komisioner (wakil ketua) lain yaitu Alexander Marwata (petahana), Nurul Ghufron, Lili Pintouli Siregar, dan Nawawi Pamolango.

Khusus Firli yang saat ini masih menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel), beliau disebut melanggar etika karena pernah bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang atau TGB (nama asli Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, Lc., M.A.) beberapa tahun lalu, yang dikaitkan dengan kasus Newmont.

Firli yang menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada waktu itu pun membantah tidak ada kepentingan di balik pertemuan yang diakuinya spontan tersebut. Dan sampai pada tahun lalu saat ditarik dari KPK untuk dimutasi jadi Kapolda Sumsel, Firli diberhentikan dengan hormat.

Pertanyaannya, bukankah lolosnya Firli di semua tahapan penjaringan calon pimpinan KPK (komisioner), lewat proses yang dibuat oleh panitia seleksi (pansel)? Bukankah pula pansel selalu berkoordinasi dengan banyak pihak untuk mengetahui rekam jejak dan kapabilitas para calon komisioner?

Mengapa para komisioner aktif ini kukuh memaksakkan kehendak dan bertindak seolah-olah bagian dari keanggotaan pansel? Apa urusan mereka dengan proses seleksi komisioner baru?

Bahwa ingin berkontribusi menyampaikan pencerahan kepada pansel, itu wajar dilakukan. Tetapi kalau sudah sampai memberi penilaian "baik-buruk" atas kerja pansel, jelas bentuk intervensi. Presiden saja tidak sesuka hati 'mengumbar' penilaiannya.

Apalagi jika kemudian ada gerakan menolak komisioner baru, yang katanya inisiatif dari 500 pegawai KPK. Ini sangat berbahaya! Sejak kapan pegawai punya hak menolak pimpinannya?

Pihak yang diberi mandat oleh negara di KPK, komisioner atau para pegawai yang notabene hadir dan bekerja untuk memperlancar kegiatan administrasi? Kok para pegawai malah tampak sebagai penguasa lembaga? Menurut hemat saya ini cukup mengerikan.

Sama halnya dengan soal keberatan revisi UU KPK. Mereka (komisioner dan pegawai) mestinya tidak berlaku seperti 'pemilik' KPK. Pemilik lembaga tersebut adalah negara. Negara berhak mengatur lembaga yang dibentuknya.

Mau dibawa ke mana arah masa depan pemberantasan korupsi, terserah negara. Pembentukan KPK salah satu upaya yang dilakukan negara untuk menghalau korupsi. Sekali lagi, KPK bentukan negara, jangan terbalik.

Biarlah semua ikut bertanggungjawab menyelamatkan masa depan bangsa ini, bukan KPK saja yang mau tampil bagai "pahlawan tunggal", seakan paling benar sehingga gerak-geriknya tidak perlu diawasi.

Maka dari itu, kalau memang para komisioner saat ini mau mengundurkan diri sebelum akhir masa jabatan (21 Desember 2019), itu terserah pribadi mereka. Akan tetapi tidak dengan cara pamer ke publik. Mereka mau tampil seperti selebritis?

Mestinya tanpa harus dipanggil presiden, mereka inisiatif menghadap beliau dan mengungkapkan apa yang ingin dikeluhkan. Ingat, selain kepada DPR dan BPK, laporan apa pun dari para komisioner juga tertuju kepada presiden.

Jika ada yang tidak beres, para komisioner wajib menyampaikannya kepada presiden, bukan kepada wartawan, aktivis, individu atau pun kelompok tertentu. Harus dipahami, yang membentuk panitia seleksi pemilihan calon komisioner atau pimpinan KPK itu adalah presiden.

Selanjutnya, bagaimana mungkin mereka mencampuradukkan antara pandangan atau idealisme pribadi mengenai arah masa depan pemberantasan korupsi dengan tugas yang tengah diemban?

Mengapa para komisioner tidak fokus saja pada tugas pokok dan tanggungjawab mereka sampai akhir masa jabatan tanpa harus sibuk mengurus hal-hal di luar itu? Apakah mereka bertindak juga sebagai aktivis?

Seandainya mereka sungguh-sungguh mengundurkan diri dan bukan sekadar "menggertak" presiden, para komisioner terpilih bisa langsung dilantik secepatnya supaya tidak terjadi kekosongan jabatan.

Namun saya berharap tidaklah demikian. Saya yakin mereka cuma mencari perhatian dan meminta bantuan presiden. Mereka pasti masih punya "sense of belonging" terhadap KPK.

Sebagai penutup, saya mau menyampaikan bahwa maksud dari tulisan ini adalah supaya lembaga atau pribadi siapa pun yang terikat pada norma, sebaiknya jangan bertindak 'bablas' tak karuan.

Marwah lembaga sekelas KPK mesti dijaga baik-baik agar para koruptor tidak tertawa terbahak-bahak, misalnya karena adanya kegaduhan selama ini. Hilangkan ego, kedepankan kepentingan bersama.

Maukah kita KPK lebih baik dan negeri ini makin maju ke depan? Harus mau!

Oh ya, selamat menyiapkan diri untuk bekerja bagi para komisioner KPK periode 2019-2023, dan terima kasih juga atas kerja keras para anggota pansel.

***

[1] [2] [3]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun