Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Wajib Dengar Keluhan ASN Soal Pemindahan Ibu Kota

28 Agustus 2019   20:27 Diperbarui: 28 Agustus 2019   20:30 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ASN | tribunnews.com

Pemerintah telah memutuskan bahwa ibu kota baru negara resmi akan dialihkan ke Kalimantan Timur, persisnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi pada Senin, 26 Agustus lalu di Istana Negara, Jakarta.

"Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur," ungkap Jokowi.

Ada beragam alasan yang melatarbelakangi urgent-nya pemindahan ibu kota, antara lain beban yang ditanggung DKI Jakarta terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, bisnis, perdagangan dan jasa.

Selain DKI Jakarta, beban Pulau Jawa juga turut dipertimbangkan, yaitu faktor pertumbuhan penduduk yang terpusat di mana mencapai 50 persen atau sekitar 150 juta penduduk, serta mendominasi produk domestik bruto (PDB) hingga 58 persen.

Lokasi ibu kota baru akhirnya yang dipilih adalah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara karena wilayahnya strategis berada di tengah-tengah Indonesia, minim resiko bencana (letusan gunung berapi, kebakaran hutan, gelombang tsunami, tanah longsor, gempa bumi dan banjir), dekat dengan dua kota besar (Balikpapan dan Samarinda), infranstruktur relatif lengkap, dan lahan yang tersedia milik pemerintah sudah cukup yakni seluas 180.000 hektare.

Tentu, di samping alasan-alasan di atas, barangkali masih ada pertimbangan-pertimbangan lain lagi yang dipikirkan oleh pemerintah. Namun satu hal yang patut dimatangkan lagi adalah bahwa pemindahan ibu kota bukan sekadar beralihnya lokasi pusat pemerintahan, pembangunan gedung, tapi termasuk pula pindahnya sejumlah manusia, dalam hal ini para aparatur sipil negara (ASN).

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengaku sudah mendata berapa jumlah ASN yang akan ikut pindah ke Kalimantan Timur nantinya.

Menteri PANRB Syafruddin mengatakan jumlah ASN yang dipindahkan sekitar 180 ribu orang, khususnya mereka yang tengah mengabdi di lembaga pemerintahan pusat.

"Kita sudah data, yang akan pindah itu ASN yang bertugas di lembaga kementerian pusat, bukan yang di daerah, bukan yang tugas di DKI dan sebagainya. Kita sudah data, yang berada di kementerian/lembaga dan badan-badan itu yang di tingkat pusat itu jumlahnya 180 ribu ASN," kata Syafruddin.

Mayoritas ASN yang akan pindah yakni yang usianya muda dan masa kerjanya masih panjang. Sebanyak 30 persen ASN tidak akan ikut pindah. Dari sumber lain menyebutkan bahkan tidak hanya 180 ribu orang, tetapi sampai 600.00 ribu orang. Sila baca di sini.

"Jadi tentu, yang akan menduduki posisi posisi yang baru itu tentu ASN-ASN yang muda. Nah, sekarang ASN kita ini ada sangat andal terutama periode perekrutan 2017-2018," lanjut Syafruddin.

Mendengar keputusan Presiden Jokowi dan ungkapan Menteri Syafruddin, ternyata ada kabar bahwa sebagian besar ASN tidak setuju pemindahan ibu kota. 

Data terkait hal itu berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia Development Monitoring (IDM) yang digelar pada 7 hingga 20 Agustus 2019, yang rilis hasilnya menyatakan ada 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan. 

"Hasilnya sebanyak 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan. Sebanyak 3,9 persen setuju, sisanya abstain," ucap Direktur Eksekutif IDM, Harly Prasetyo.

Melihat fakta-fakta di lapangan, sebenarnya bukan cuma ASN yang mengajukan penolakan, tetapi juga sebagian wakil rakyat. Mereka meminta pemerintah mengurus terlebih dahulu dasar hukum pemindahan ibu kota.

Beberapa regulasi dalam bentuk Undang-Undang (UU) perlu diubah oleh pemerintah dengan persetujuan DPR RI. Antara lain misalnya UU tentang penyataan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru, UU perubahan UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota NKRI, revisi UU yang mengatur Provinsi Kalimantan Timur, dan revisi UU Kelembagaan Negara.

Persoalan anggaran pemindahan ibu kota yang sebesar Rp 466 triliun juga wajib dipertegas hitungannya melalui UU, sehingga siapa pun presiden yang bakal melanjutkan program tersebut terikat penuh, tidak boleh berubah pikiran untuk menghentikannya di tengah jalan. Mudah-mudahan UU yang diperlukan segera dirampungkan.

Baiklah kita fokus pada keluhan yang dialami para ASN. Bolehkah mereka melayangkan keluhan? Apakah mereka berhak menolak untuk dipindah ke lokasi pelayanan baru?

Keluhan para ASN wajar karena sepertinya mereka syok memikirkan nasib dan masa depan mereka. Namun merujuk pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Pasal 23 huruf H, para ASN tidak diperkenankan menolak dipindah jika negara berkehendak.

Bunyi Pasal 23 huruf H berbunyi: "Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia". Yang artinya siapa pun ASN harus patuh pada UU tersebut sebagai konsekuensi atas komitmen awal ketika berkeinginan mencalonkan diri sebagai ASN.

Sekali lagi aturannya jelas, ASN tidak boleh "membangkang". Lalu apakah penerapan aturan tersebut wajib ditegakkan keras meskipun ada persoalan khusus misalnya tadi mengenai kekuatiran akan nasib dan masa depan para ASN?

Saya memandangnya begini, mayoritas ASN menolak dipindahkan bukan karena "membangkang" atau ragu gaji mereka berkurang ketika berada di tempat kerja baru.

Mereka agaknya ingin mendapat kejelasan atas beberapa hal berikut, di luar gaji dan suasana kerja yang nyaman. Apa itu? Nasib hidup keluarga mereka.

Para ASN yang sudah berkeluarga pasti akan kesulitan beradaptasi, menemukan lokasi tempat tinggal yang nyaman, mencari lembaga pendidikan berkualitas bagi anak-anak mereka seperti yang ada di DKI Jakarta.

Belum lagi fasilitas-fasilitas publik yang cukup lainnya, yang tidak mungkin tersedia lengkap dalam waktu dekat di ibu kota baru. Inilah yang menurut saya perlu dipikirkan pemerintah.

Pemerintah tidak boleh memakai "kacamata kuda" dan memandang masalah pemindahan ibu kota hanya sebatas memindahkan gedung pemerintahan. Pemerintah mestinya mempersiapkan lebih awal kebutuhan-kebutuhan primer para ASN tadi.

Semoga pemerintah mempertimbangkannya.

***

[1] [2] [3] [4] [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun