Mendengar keputusan Presiden Jokowi dan ungkapan Menteri Syafruddin, ternyata ada kabar bahwa sebagian besar ASN tidak setuju pemindahan ibu kota.Â
Data terkait hal itu berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia Development Monitoring (IDM) yang digelar pada 7 hingga 20 Agustus 2019, yang rilis hasilnya menyatakan ada 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan.Â
"Hasilnya sebanyak 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan. Sebanyak 3,9 persen setuju, sisanya abstain," ucap Direktur Eksekutif IDM, Harly Prasetyo.
Melihat fakta-fakta di lapangan, sebenarnya bukan cuma ASN yang mengajukan penolakan, tetapi juga sebagian wakil rakyat. Mereka meminta pemerintah mengurus terlebih dahulu dasar hukum pemindahan ibu kota.
Beberapa regulasi dalam bentuk Undang-Undang (UU) perlu diubah oleh pemerintah dengan persetujuan DPR RI. Antara lain misalnya UU tentang penyataan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru, UU perubahan UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota NKRI, revisi UU yang mengatur Provinsi Kalimantan Timur, dan revisi UU Kelembagaan Negara.
Persoalan anggaran pemindahan ibu kota yang sebesar Rp 466 triliun juga wajib dipertegas hitungannya melalui UU, sehingga siapa pun presiden yang bakal melanjutkan program tersebut terikat penuh, tidak boleh berubah pikiran untuk menghentikannya di tengah jalan. Mudah-mudahan UU yang diperlukan segera dirampungkan.
Baiklah kita fokus pada keluhan yang dialami para ASN. Bolehkah mereka melayangkan keluhan? Apakah mereka berhak menolak untuk dipindah ke lokasi pelayanan baru?
Keluhan para ASN wajar karena sepertinya mereka syok memikirkan nasib dan masa depan mereka. Namun merujuk pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Pasal 23 huruf H, para ASN tidak diperkenankan menolak dipindah jika negara berkehendak.
Bunyi Pasal 23 huruf H berbunyi: "Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia". Yang artinya siapa pun ASN harus patuh pada UU tersebut sebagai konsekuensi atas komitmen awal ketika berkeinginan mencalonkan diri sebagai ASN.
Sekali lagi aturannya jelas, ASN tidak boleh "membangkang". Lalu apakah penerapan aturan tersebut wajib ditegakkan keras meskipun ada persoalan khusus misalnya tadi mengenai kekuatiran akan nasib dan masa depan para ASN?
Saya memandangnya begini, mayoritas ASN menolak dipindahkan bukan karena "membangkang" atau ragu gaji mereka berkurang ketika berada di tempat kerja baru.