Lalu apa hikmahnya buat Facebook dan para pengguna?
Pertama, Facebook sebagai penyedia layanan mesti patuh pada peraturan yang ada, baik yang bersifat umum maupun yang terkait dengan perlindungan data pribadi. Bahwa para pengguna percaya sudah diberi jaminan privacy, bukan berarti Facebook berhenti melakukan langkah-langkah lanjutan.Â
Kedua, Facebook wajib membentengi diri dari perusahaan-perusahaan lain yang bermaksud jahat meraup keuntungan namun tidak terdeteksi secara langsung. Entah itu untuk urusan komersil atau pun politik.
Belakangan muncul sebuah aplikasi bernama FaceApp dan itu ditengarai bakal berpotensi mencuri data. Aplikasi semacam ini harus diantisipasi.
Ketiga, Facebook mestinya membatasi informasi apa saja yang wajib dicantumkan oleh para pengguna ketika mendaftarkan akun. Jadi tidak semua hal diminta. Kalaupun informasi harus rinci, maka semua akun wajib tervalidasi dan terverifikasi, biar tidak sembarang orang membuat akun.
Umpamanya akun seseorang baru bisa diproses dan siap digunakan bila sudah mendapat "centang" biru, hijau atau sejenisnya. Dengan demikian pengguna memperoleh jaminan dan berhak menuntut Facebook jika suatu saat data pribadinya disalahgunakan atau bocor.Â
Keempat, sebaiknya para pengguna yang data pribadinya bocor atau disalahgunakan diberi insentif, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral pihak Facebook. Misalnya saja mereka yang menjadi korban Cambridge Analytica.
Karena para pengguna akan bertanya, uang yang sebesar Rp 70 triliun tersebut di kemanakan oleh FTC? Bukankah harusnya diberikan kepada para korban?
Kelima, para pengguna juga tentu harus lebih hati-hati lagi ke depan. Jangan sembarang mencantumkan data pribadi. Karena terkadang ada yang suka memamerkan nomor kontak, alamat e-mail dan sebagainya.Â
Keenam, semoga Bu Susi Pudjiastuti konsisten menuntut saham 10 persen Facebook jika berhasil memenangkan lomba dayung (paddle) melawan Mark Zuckerberg, tanpa merasa kasihan karena nasib perusahaan itu sedang apes.
***