"Mulutmu adalah harimaumu".Â
Pepatah di atas kerap ditujukan kepada seseorang yang dinilai gemar mengumbar kata atau kalimat kasar serta mengandung ancaman terhadap orang lain. Pepatah tersebut memang semacam pengingat bagi setiap individu agar membatasi diri ketika hendak mengungkapkan sesuatu.
Jangankan ancaman; kritikan, makian dan hujatan saja kalau tak berdasar sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan karena efek buruknya bukan cuma tertuju terhadap diri sendiri melainkan juga orang terdekat, misalnya saudara, orangtua, teman kerja, atasan, dan sebagainya.
Umpamanya begini, bila pada suatu saat kita berselisih dengan orang lain, bukankah yang ikut terseret pula adalah orang-orang yang berada di sekitar kita?
Bukankah kemudian persoalan yang seharusnya menjadi urusan pribadi turut ditanggung oleh mereka-mereka itu?
Dengan demikian, "harimau" tadi pada akhirnya tidak hanya 'menerkam' satu atau dua pihak, tetapi akan ada banyak lagi yang terpaksa 'termangsa'.
Kita cukupkan uraian nasihat singkat ini.
Beberapa hari terakhir ramai di media online tentang berita seorang pemuda yang diketahui melontarkan ancaman "penggal kepala" terhadap Presiden Joko Widodo. Namanya tidak perlu disampaikan di sini, dia sudah terlanjur tenar di publik.
Berdasarkan informasi yang beredar, pemuda tersebut adalah salah seorang peserta aksi demonstrasi di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akibat ulah tak terukurnya, dia akhirnya mesti berurusan dengan pihak berwajib dan mendapat status sebagai tersangka. Tidak hanya itu, dia juga kemudian harus diberhentikan dari tempat kerja.
Ya itulah akibatnya ketika "mulut lebih cepat dibuka". Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sekali lagi, ini namanya konsekuensi "kehendak bebas".