Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Regenerasi Petani, Sebuah Keharusan

28 April 2019   13:56 Diperbarui: 28 April 2019   16:57 2696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua siswi saya sedang memanen cabai. Gambar: Dokumentasi Pribadi

Patut dianggap aneh bila pada suatu waktu, anak-anak desa yang sudah lulus, entah dari sekolah menengah atau pun tinggi pada akhirnya lebih memilih menganggur karena tidak diterima di tempat kerja daripada memutuskan untuk bertani. Mereka sudah punya modal awal, yakni pengetahuan dan rasa bagaimana bertani, jadi tidak boleh merasa asing dengan yang namanya dunia pertanian.

Gambar: qureta.com
Gambar: qureta.com

Peranan orangtua dalam mengarahkan dan memotivasi anak-anak mereka juga penting. Orangtua tidak seharusnya menganjurkan semua anak-anaknya bercita-cita menjadi pekerja kantoran. Kalau semua harus kerja di kantor, lalu siapa lagi yang akan mengelola lahan pertanian warisan mereka?

Mengubah Mindset yang Salah
Mindset atau pola pikir anak-anak harus diubah, memilih profesi petani pun bukanlah pilihan terakhir, misalnya ketika cita-cita di luarnya tidak berhasil diraih. Anak-anak wajib diberi pemahaman bahwa, saat ini lapangan kerja belum tentu memenuhi jumlah kebutuhan. Oleh sebab itu, menciptakan lapangan kerja sendiri, contohnya di bidang pertanian akan sangat berharga dibanding berharap menjadi seorang pekerja.

Sekadar informasi, di kampung halaman saya, ada banyak pemuda pengangguran, padahal mereka rata-rata sudah lulus sekolah, bahkan ada yang lulus dari perguruan tinggi dengan jurusan pertanian. Aneh, bukan?

Mengapa hal itu terjadi, karena bagi mereka, bekerja di kantor lebih bergengsi daripada bertani. Mereka semua berharap jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan tidak heran ketika ada informasi tentang pembukaan CPNS, jumlah pelamar sampai membludak. Padahal yang akan diterima jumlahnya sangat sedikit.

Gambar: tirto.id
Gambar: tirto.id

Fakta yang cukup menggelikan lagi, bagaimana mungkin harga beras dan sayuran di kampung bisa sampai lebih mahal daripada harga yang berlaku di kota? Ini kan aneh. Harusnya dua bahan pokok dan kebutuhan sejenis tidak mungkin mahal karena bisa diproduksi dalam jumlah yang cukup.

Tentu akan ada pula yang mengatakan, sekarang ini adalah masa di mana perkembangan teknologi begitu pesat, jadi anak-anak sudah semestinya menekuni hal-hal yang berbau teknologi. Pertanyaannya, apa yang akan didigitalisasi jika materi dasar tidak ada? Apakah semuanya harus menjadi pembuat aplikasi e-marketing produk pertanian misalnya, sedangkan bahan yang digunakan atau dijual untuk itu tidak ada? Semua mau menjadi penjual, lalu pembuat produknya siapa?

Pemerintah Sudah dan Sedang Berperan
Wajib dipahami, harapan masyarakat untuk diberi perhatian di sektor pertanian sangat didukung oleh pemerintah. Pemerintah tidak pernah berpangku tangan, karena sektor pertanian dianggap merupakan sektor andalan dalam meningkatkan perekonomian. Lihat saja, berdasarkan data BPS 2018, sektor pertanian berhasil menyumbang peningkatan PDB sebesar 13,63 persen. Apakah jumlah ini dinilai sedikit dan tidak perlu diperhatikan optimal?

Minimal empat tahun terakhir, pemerintah banyak mengeluarkan program-program besar, entah berupa sarana edukasi atau fasilitas yang langsung menyasar keperluan pertanian warga. Mulai dari kegiatan penyuluhan, pembukaan sekolah-sekolah vokasi (menengah dan tinggi), penggelontoran dana desa triliunan rupiah, pembangunan akses jalan, pembangunan waduk untuk irigasi, pemberian dana dari kredit usaha rakyat (KUR), distribusi alat mesin pertanian (Alsintan) canggih, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun