Saya punya kebiasaan khusus, tiap kali berkenalan dengan siswa-siswi saya, terutama mereka yang baru masuk, saya selalu bertanya apa cita-cita mereka kelak. Mengapa saya lakukan demikian, karena menurut saya, dengan punya cita-cita sejak dini, seorang siswa akan punya arah hidup, semangat, komitmen belajar dan daya juang mewujudkan impiannya.
Bahkan terkadang ketika ada di antara siswa-siswi yang belum tahu apa cita-citanya, saya sedikit memaksa dan memberinya waktu untuk berpikir, kemudian segera mengutarakannya kepada saya. Saya juga meminta supaya cita-cita yang diungkap lebih dari satu, alasannya adalah bisa suatu waktu cita-cita tersebut berubah, seiring perubahan minat, hobi dan bakat.
Saya merasa senang jika akhirnya semua siswa-siswi saya mampu mengungkapkan cita-cita mereka. Dari sekian banyak yang mereka ungkap, memilih berprofesi di sektor jasa dan industri cukup dominan. Misalnya, pekerja kantoran, direktur, guru, arsitek, pengacara, hakim, desainer, pengusaha, dan sebagainya. Saya pun mendorong mereka supaya tetap berusaha mengejarnya, dengan cara apa pun, selama itu baik dan tidak merugikan orang lain.
Ketika Tak Satupun di antara Mereka Mau Jadi Petani
Namun di balik rasa senang, ada satu hal yang juga membuat saya sedih yaitu bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang bercita-cita menjadi petani. Kok saya sedih, bukankah mereka itu bersekolah di kota besar dan harus menyesuaikan cita-citanya dengan kebutuhan wilayah dan zaman? Bagaimana mungkin mereka mau jadi petani sedangkan mereka tinggal di ibukota? Sekadar informasi, saya mengajar di sebuah sekolah di Jakarta.
Saya paham dan maklum atas pilihan profesi masa depan siswa-siswi tersebut. Oleh sebab itu saya tidak mau menawarkan, apalagi memaksa mereka untuk memilih menjadi seorang petani. Karena bagi sebagian banyak orang, terutama yang tinggal di kota-kota besar, petani adalah profesi pilihannya orang-orang yang tinggal di perdesaan. Di samping itu, keputusan memilih sebuah profesi merupakan hak setiap orang, tidak terkecuali siswa-siswi saya.
Betulkah Hanya Orang-orang Desa yang Bisa Bertani?Â
Menjadi petani dengan lahan luas mungkin betul, karena cuma di desalah atau setidaknya di pinggiran kota ada yang seperti itu. Lalu bagaimana bila akhirnya bertani bisa dilakukan juga di perkotaan, namun sistem, pola dan prosesnya tidak dilakukan persis dengan yang ada di perdesaan, misalnya untuk mengantisipasi sempitnya lahan?
Tidak perlu beralasan bahwa yang mampu melakukan sistem pertanian di perkotaan hanya negara-negara maju sekelas Jepang, Tiongkok, Kanada, dan Inggris, akan tetapi di Indonesia pun bisa. Sekarang ada banyak warga misalnya di Jakarta yang sudah memanfaatkan lahan sempit dan terbengkalai untuk bertani, antara lain digunakan untuk menanam sayuran. Bahkan ada pula yang sengaja memanfaatkan pekarangan rumahnya.
Mengembangkan sistem pertanian kota cukup menjanjikan dan bernilai ekonomis. Sistem ini kerap disebut urban agriculture atau urban farming, yang penerapannya bisa dilakukan secara vertical indoor farming atau bertani dengan lahan bertingkat, hidroponik dan bentuk lainnya untuk mengirit lahan.
Sistem pertanian kota juga diharapkan dapat menjadi solusi ketahanan pangan di masa depan. Perlu diketahui bahwa hampir semua kebutuhan bahan pokok yang diperlukan oleh masyarakat kota berasal dari desa atau juga dari hasil impor.
Artinya, sangat bergantung pada suplai dari luar yang terkadang jumlah dan harga-harga belum tentu stabil. Produk-produk pertanian kota juga bisa menjadi alternatif ketika suplai dari desa kurang karena akibat gagal panen.
Pandangan bahwa bertani identik dengan sawah dan padi perlu diluruskan. Kegiatan bertani itu sangat beragam, tidak hanya melulu soal tanaman padi, namun ada banyak. Menanam sayuran, buah-buahan, dan tanaman pangan lainnya adalah bagian dari kegiatan bertani. Jadi ketika tanaman padi tidak mungkin diterapkan di perkotaan, jenis tanaman lainnya bisa menjadi alternatif.
Bertani Merupakan Bagian dari Pelestarian Lingkungan Hidup
Selain untuk kepentingan ekonomi dan ketahanan pangan, pengembangan pertanian kota akan sangat bermanfaat pada pemeliharaan lingkungan hidup. Bayangkan, di kota-kota besar setiap harinya puluhan hingga ratusan ton sampah diproduksi, dan sebagian di antaranya berupa sampah organik.
Sampah dengan jenis ini sebenarnya bisa diolah menjadi pupuk atau kompos untuk menyuburkan tanaman yang sedang dibudidayakan. Jadi tidak harus berakhir di tempat pembuangan sampah.
Dengan masyarakat kota punya kebiasaan menanam dan mengolah sampah, bukan tidak mungkin habitus baru, yakni kepedulian pada kebersihan lingkungan akan terbentuk. Masyarakat pasti enggan membuang sampah sembarangan, mereka bakal terbiasa memilah sampah-sampah berdasarkan jenisnya.
Kebiasaan memilah sampah ini memang sudah dimulai di beberapa tempat terutama di area-area fasilitas pelayanan publik, namun hal tersebut dirasa belum maksimal mengedukasi warga. Aksi pemanfaatan sampah sendiri kurang sukses digalakkan yang diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat. Selama ini sampah dianggap tidak berguna, padahal jika pemanfaatannya ditekuni sungguh-sungguh, sampah akan berubah menjadi berkah, bukan bencana semata.
Mengapa Generasi Muda Enggan Berwirausaha Tani
Di atas saya sebut bahwa keprihatinan saya baru terlihat dari kesan pribadi terhadap siswa-siswi yang berada di kota. Sementara hal ini bisa saya maklumi, di atas juga sudah saya uraikan alasannya. Akan tetapi saya kurang menerima jika minimnya pilihan pada profesi petani berasal juga dari siswa-siswi yang berada di perdesaan.
Anak-anak yang bersekolah di desa seharusnya sadar bahwa di lingkungan mereka dibesarkan dan dididik, ada potensi besar yang wajib dikelola, yaitu sektor pertanian. Belum lagi bila anak-anak tersebut lahir dari keluarga petani, di mana orangtua mereka berprofesi sebagai petani. Mereka harus paham bahwa profesi orangtua mereka bukanlah profesi rendahan, bertani tidak identik dengan pekerjaan orang-orang miskin.
Patut dianggap aneh bila pada suatu waktu, anak-anak desa yang sudah lulus, entah dari sekolah menengah atau pun tinggi pada akhirnya lebih memilih menganggur karena tidak diterima di tempat kerja daripada memutuskan untuk bertani. Mereka sudah punya modal awal, yakni pengetahuan dan rasa bagaimana bertani, jadi tidak boleh merasa asing dengan yang namanya dunia pertanian.
Peranan orangtua dalam mengarahkan dan memotivasi anak-anak mereka juga penting. Orangtua tidak seharusnya menganjurkan semua anak-anaknya bercita-cita menjadi pekerja kantoran. Kalau semua harus kerja di kantor, lalu siapa lagi yang akan mengelola lahan pertanian warisan mereka?
Mengubah Mindset yang Salah
Mindset atau pola pikir anak-anak harus diubah, memilih profesi petani pun bukanlah pilihan terakhir, misalnya ketika cita-cita di luarnya tidak berhasil diraih. Anak-anak wajib diberi pemahaman bahwa, saat ini lapangan kerja belum tentu memenuhi jumlah kebutuhan. Oleh sebab itu, menciptakan lapangan kerja sendiri, contohnya di bidang pertanian akan sangat berharga dibanding berharap menjadi seorang pekerja.
Sekadar informasi, di kampung halaman saya, ada banyak pemuda pengangguran, padahal mereka rata-rata sudah lulus sekolah, bahkan ada yang lulus dari perguruan tinggi dengan jurusan pertanian. Aneh, bukan?
Mengapa hal itu terjadi, karena bagi mereka, bekerja di kantor lebih bergengsi daripada bertani. Mereka semua berharap jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan tidak heran ketika ada informasi tentang pembukaan CPNS, jumlah pelamar sampai membludak. Padahal yang akan diterima jumlahnya sangat sedikit.
Fakta yang cukup menggelikan lagi, bagaimana mungkin harga beras dan sayuran di kampung bisa sampai lebih mahal daripada harga yang berlaku di kota? Ini kan aneh. Harusnya dua bahan pokok dan kebutuhan sejenis tidak mungkin mahal karena bisa diproduksi dalam jumlah yang cukup.
Tentu akan ada pula yang mengatakan, sekarang ini adalah masa di mana perkembangan teknologi begitu pesat, jadi anak-anak sudah semestinya menekuni hal-hal yang berbau teknologi. Pertanyaannya, apa yang akan didigitalisasi jika materi dasar tidak ada? Apakah semuanya harus menjadi pembuat aplikasi e-marketing produk pertanian misalnya, sedangkan bahan yang digunakan atau dijual untuk itu tidak ada? Semua mau menjadi penjual, lalu pembuat produknya siapa?
Pemerintah Sudah dan Sedang Berperan
Wajib dipahami, harapan masyarakat untuk diberi perhatian di sektor pertanian sangat didukung oleh pemerintah. Pemerintah tidak pernah berpangku tangan, karena sektor pertanian dianggap merupakan sektor andalan dalam meningkatkan perekonomian. Lihat saja, berdasarkan data BPS 2018, sektor pertanian berhasil menyumbang peningkatan PDB sebesar 13,63 persen. Apakah jumlah ini dinilai sedikit dan tidak perlu diperhatikan optimal?
Minimal empat tahun terakhir, pemerintah banyak mengeluarkan program-program besar, entah berupa sarana edukasi atau fasilitas yang langsung menyasar keperluan pertanian warga. Mulai dari kegiatan penyuluhan, pembukaan sekolah-sekolah vokasi (menengah dan tinggi), penggelontoran dana desa triliunan rupiah, pembangunan akses jalan, pembangunan waduk untuk irigasi, pemberian dana dari kredit usaha rakyat (KUR), distribusi alat mesin pertanian (Alsintan) canggih, dan sebagainya.
Pemerintah sadar bahwa ketersedian bahan pangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, akan tetapi bisa dimanfaatkan untuk menggeliatkan kegiatan ekspor. Dari hasil ekspor, devisa negara diperoleh.
Meregenerasi Petani, Mulai dari Mana?
Mulai dari mana, ya jelas dari diri sendiri. Tanpa kepekaan dan kesadaran, semua hal omong kosong. Semua pihak harus terlibat untuk memikirkan masa depan bangsa ini. Masa depan bangsa tidak hanya akan bergantung pada sektor industri, teknologi, perdagangan, namun juga di sektor pertanian. Bangsa ini tidak akan mampu bertahan hidup ketika hanya sibuk mengurus komputer, jaringan, kertas dan robot kalau bahan pangan untuk mengisi perut diabaikan.
Pihak mana saja yang harus terlibat? Ya semua pihak, pribadi per pribadi, orangtua, badan usaha, lembaga pendidikan dan pemerintah.
Maka ketika saya diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah sekolah (SMP) di tempat kerja saya 5 tahun lalu, saya menginisiasi kegiatan ekstrakurikuler yang berlaku wajib bagi seluruh siswa, yaitu Menanam. Jenis tanaman yang kami tanam di sana adalah sayuran, berupa tomat, kangkung, terung, cabai.
Karena keterbatasan dana, untuk keperluan pupuk, kami membuat kompos sendiri, yaitu dari dedaunan yang jatuh. Bagaimana hasilnya? Ternyata usaha kami tidak sia-sia, kami bisa memanen beberapa jenis sayuran tadi tiap tiga bulan.
Saya tahu, saat ini saya berprofesi sebagai guru, bukan petani, namun bukan berarti upaya saya untuk menyadarkan generasi muda agar sadar bertani tidak bermanfaat. Semoga siswa-siswi saya terinsipirasi, meski mereka adalah anak-anak perkotaan.
Sekian dan terima kasih.
***
Pustaka: [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H