Mendekati Pilpres 2019 yang tinggal beberapa hari lagi, suasana di tanah sepertinya bertambah panas. Suasana panas tersebut tidak hanya dialami oleh para elit atau para pejabat, namun juga menyasar masyarakat.
Pesta demokrasi yang seharusnya dinikmati penuh gembira justru hadir menakutkan. Para elit dan masyarakat biasa kini terbelah ke dalam dua kubu besar dan saling bersitegang.
Seakan tidak ingin kehilangan kesempatan karena saatnya memang sudah semakin dekat, masing-masing pihak berlomba unjuk kelebihan (kampanye) para calon presiden dan calon wakil presiden idola mereka. Bahkan lomba tersebut kerap melewati batas dan aturan-aturan yang ada.
Para penyelenggara pemilu sampai dibuat pusing menyaksikan berbagai aksi yang kelihatan makin tak karuan. Wajarkah hal itu terjadi? Ya, sangat wajar. Yang membuat tidak wajar adalah ketika kemudian menimbulkan benturan dan menyisakan jejak perpecahan.
Pertanyaan, benarkah ajang kampanye dilakukan secara wajar dan dampaknya selama ini masih dalam taraf wajar juga?
Kita tahu kesempatan masa kampanye yang diberikan oleh pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup panjang, sekitar tujuh bulan, di mana nanti akan berakhir pada 13 April 2019. Apakah kita sudah benar-benar memanfaatkan masa tersebut untuk menimbang pasangan capres-cawapres mana yang nantinya akan kita pilih pada 17 April mendatang?
Semoga saja kita sudah memiliki pilihan masing-masing yang diputuskan berdasarkan pertimbangan hati nurani, bukan karena pengaruh, tekanan atau pun iming-iming. Ingat, waktu tujuh bulan cukup buat kita untuk segera mengambil keputusan.
Atau barangkali sampai detik ini di antara kita ada yang belum punya pilihan karena terlalu larut memikirkan sosok sempurna di antara para pasangan calon?
Bukankah cukup waktu buat kita untuk mengenal mereka sejak jauh-jauh hari? Atau mungkin malah ada yang sebenarnya tidak ingin (golput) atau belum berkesempatan menggunakan hak pilihnya tetapi memanfaatkan masa kampanye ini untuk memojokkan dan mengolok-olok pihak lain?