Kelompok militan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) sudah dinyatakan kalah total dan operasi militer terhadap mereka resmi berakhir. Hal ini diumumkan oleh Pasukan Demokratik Suriah atau Syrian Democratic Forces (SDF) pada Sabtu, 23 Maret 2019.
"Syrian Democratic Forces mendeklarasikan eliminasi total dari Khalifah dan kekalahan 100 persen wilayah teritori ISIS. Di hari spesial ini, kami memperingati ribuan martir yang berkat usaha mereka, membuat kemenangan adalah sesuatu yang mungkin. Setelah pengorbanan bertahun-tahun, dunia boleh berbangga karena negara Khalifah telah hancur dan kami memperbaharui ikrar untuk melanjutkan perang dan mengejar (Daesh) yang tertinggal hingga habis seluruhnya," tulis Mustafa Bali, Ketua Media SDF di akun Twitter-nya.
Pengumuman kekalahan ISIS dilakukan selepas SDF berhasil merebut Bhagouz, markas pertahanan terakhir ISIS.
Betulkah dunia patut berbangga atas berakhirnya kekuatan ISIS tersebut?
Negara-negara di berbagai belahan dunia pasti senang menyambut kabar baik ini, termasuk Indonesia. Saya sendiri demikian, ternyata ISIS akhirnya kalah juga. Satu di antara banyak hal yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia sukses dilumpuhkan.
Namun betul pulakah ISIS itu memang sudah hancur 100 persen seperti yang diklaim SDF?
Menurut saya kekalahan total ISIS yang dimaksud merupakan kekalahan secara secara militer. Dengan markas terakhir mereka dihancurkan, kemampuan ISIS untuk melanjutkan perjuangan berhenti sementara. Ingat, ISIS yang diserang adalah para militan bersenjata, belum menyasar mereka yang akan terus memelihara paham dan ideologi khilafah.
Kekalahan ISIS kelompok militan bersenjata belum tentu turut melemahkan semangat orang-orang yang sealiran dengan mereka untuk kemudian menghentikan penyebarluasan misi sesatnya. Para simpatisan dan pengagum ISIS masih hidup, yakni yang belum sempat bergabung ke dalam kelompok pejuang perang misalnya isteri dan anak-anak mereka.
Orang-orang tersebut sudah mengidap virus "zombie", dan sekarang sedang menjalani hidup di tengah masyarakat, di mana relasi yang mereka bangun diupayakan terlihat normal. Padahal sesungguhnya mereka sudah menjadi "zombie" yang pada suatu waktu siap menulari warga lainnya. Atau bahkan lebih daripada itu, mereka bisa saja akhirnya membangun kekuatan baru yang lebih dahsyat.
"Zombie-zombie" ISIS tidak hanya fokus berada di Irak dan Suriah. Mereka malah sudah tersebar di hampir semua negara. Merekalah yang akan menjadi ancaman besar berikutnya. Jangan dikira misi ISIS gagal, tetapi justru berhasil tercapai. Misi utama ISIS itu bukanlah perang fisik, namun perjuangan untuk menyebarkan paham dan ideologi yang mereka miliki. Aksi perang dan gerilya hanya salah satu dari banyak upaya untuk membuka 'jalan terjal' yang menghadang mereka.
Sehingga ketika muncul inisiasi mengizinkan kombatan dan keluarga ISIS kembali ke pangkuan negara asalnya, menurut saya itu sangat berbahaya. Mereka akan menjadi ancaman bagi negara dan warga banyak. Otak mereka yang terlanjur terinfeksi paham ISIS tidak mudah untuk dicuci bersih.
"Saya dengan empat anak dan keluar dari Baghouz. Kami ingin pulang ke negara asal kami, ke Indonesia," ungkap Maryam di Al Hol, Suriah Timur, pada pekan pertama Maret 2019 yang lalu.
Seandainya pun karena faktor kemanusiaan, solusi mengembalikan mereka dalam waktu cepat menyatu lagi bersama warga yang masih suci bukanlah sesuatu hal yang mudah. Solusi satu-satunya sementara ini adalah mengkonsentrasikan mereka ke sebuah lokasi yang mungkin belum berpenghuni, dengan tujuan memberikan kesempatan bagi mereka belajar untuk menjalani hidup ke arah normal, terutama yang masih anak-anak dan berpotensi bisa ditobatkan.
Nasib Maryam dan keempat anaknya (yang diketahui WNI asal Bandung, Jawa Barat) serta WNI lainnya memang memprihatinkan dan perlu dikasihani. Namun sebelum pemerintah memutuskan untuk menerima mereka, perlu ada masa pemulihan maksimal terhadap mereka. Mereka harus diobati dan 'divaksin' terlebih dahulu.
Sekali lagi WNI eks ISIS itu "zombie", jangan sampai mereka dibiarkan pulang ke tanah air dalam waktu cepat, apalagi kemudian disambut dengan tari-tarian. Jangan sampai pula mereka melakukan reuni bersama saudara sealiran mereka untuk selanjutnya menyusun rencana serangan kecil-kecilan menyusul peristiwa di Lampung dan Sibolga.
Salam waspada!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H