Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Debat Cawapres dan Tantangan Reformasi Pendidikan

17 Maret 2019   15:24 Diperbarui: 17 Maret 2019   15:54 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukankah ketika seseorang terdidik dan terlatih artinya sudah bisa menghidupi dirinya sendiri? Mengapa masih ada pengangguran, bahkan disumbang oleh mereka yang dianggap telah terdidik dan terlatih? Bagaimana mungkin jumlah pengangguran sebesar 6,87 juta jiwa di dalamnya termasuk orang-orang berpendidikan tinggi?

Mengapa kemiskinan di Indonesia masih berada pada angka 9,66%? Bukankah angka buta huruf 2,07% setidaknya turut menekan persentase kemiskinan?

Masih ingatkah kita peristiwa seorang siswa memukul gurunya di dalam kelas? Atau seorang siswa yang mempersekusi temannya hanya gara-gara beda pendapat atau pun status sosial?

Yang terbaru dan sedang hangat, mengapa seorang pejabat dengan pendidikan memadai bisa melakukan korupsi? Bukankah cara menjauhi sikap tamak dan rakus seharusnya sudah diajarkan di bangku sekolah atau di rumah?

Maka menurut saya, akan sangat baik bagi kedua cawapres nanti untuk membahas mutu pendidikan, yang mana rencana menambah jumlah sekolah atau menggaungkan program OK-OCE sesungguhnya jauh dari cukup untuk menjawab persoalan ini.

Kedua, Komersialisasi Pendidikan. Harus diakui bahwa meski sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia cukup banyak, keadilan dalam mengenyam pendidikan layak belum dirasakan mayoritas warga. Mengapa? Karena akses dan biaya yang diperlukan tidak terjangkau. Belum lagi lembaga pendidikan "mediocre" malah lebih banyak ketimbang yang serius menjadi tempat pendidikan berkualitas.

Betul bahwa untuk lebih berkualitas, maka sekolah atau perguruan tinggi butuh fasilitas dan sarana dengan biaya besar. Oleh sebab itu tidaklah salah ketika beberapa lembaga pendidikan tertentu tampak eksklusif hanya menerima calon peserta didik yang berasal dari kalangan mampu. Ya meski hal ini juga wajib menjadi refleksi dan pertimbangan bagi mereka untuk memahami kembali bahwa pendidikan seharusnya berorientasi sosial, bukan profit.

Bukankah ketika anggaran 20% dari APBN kurang ampuh mengangkat status lembaga pendidikan formal (pemerintah) dari "mediocre" ke "excellence" dan terjangkau masyarakat bisa ditinjau ulang untuk ditambah lagi?

Saya pun berharap, mudah-mudahan kedua cawapres tidak menjawab masalah komersialisasi pendidikan ini dengan hanya menawarkan penambahan jumlah dana dan kuota penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau sejenisnya.

Ketiga, Inkonsistensi Kurikulum. Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan, kurang lebih sudah sebelas kali terjadi perubahan kurikulum yang diterapkan di lembaga pendidikan. Antara lain, Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947), Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952), Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 (CBSA) dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP), Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2015.

Bagi masyarakat awam, perubahan-perubahan kurikulum di atas sepertinya hanya mengganti tahun saja. Atau mungkin oleh masyarakat yang mengaku cerdas pasti menjawab karena menyesuaikan zaman. Apa pun alasannya, kadang fakta implementasinya jarang sesuai dengan apa yang seharusnya tercantum pada desain kurikulum. Belum lagi pola yang diinginkan kurikulum bertolak belakang dengan apa yang sedang terjadi dan diinginkan masyarakat (orang tua, siswa dan guru).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun