Lagi ramai perseteruan antara Prabowo Subianto dan pihak Kementerian Keuangan gara-gara persoalan utang negara yang dinilai terus membengkak. Prabowo menyebut menteri keuangan sebaiknya diganti namanya menjadi menteri "pencetak utang". Prabowo punya alasan karena menteri keuangan punya andil dalam menambah utang negara. Masuk akal memang, jabatan menteri keuangan artinya bendahara negara. Seorang bendahara seharusnya mampu mengendalikan perputaran uang, termasuk di antaranya menjaga agar pengeluaran tidak lebih tinggi dibanding pemasukan.
Mendengar usulan label dari Prabowo, pihak Kementerian Keuangan sontak bereaksi agak keras. Mereka merasa tersinggung dan terhina.
"Siapa pun tidak sepantasnya melakukan penghinaan atau mengolok-olok nama sebuah institusi negara yang dilindungi oleh undang-undang, apalagi seorang calon presiden," unggah Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, di Facebook.
Nufransa menyampaikan bahwa utang negara yang selama ini ada jelas digunakan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan, yang ujung-ujungnya demi kemajuan ekonomi dan kemakmuran rakyat. Lagi pula, keputusan pemerintah menambah utang tidak diambil sepihak, melainkan disepakati bersama anggota wakil rakyat di parlemen. Kesepakatan tersebut juga tertuang dalam undang-undang APBN.
Berapa sih sebenarnya utang Indonesia, sampai-sampai di mana pun berkesempatan berbicara, Prabowo selalu menyinggung masalah utang luar negeri kita? Ya maklum, sebagai calon presiden, beliau ingin menawarkan solusi jitu buat rakyat agar tidak terlilit beban karena utang negara. Meskipun solusi yang disampaikan juga sampai saat ini belum bisa 'dikunyah' warga.
Menurut catatan Bank Indonesia (BI), posisi utang luar negeri Indonesia pada kuartal III 2018 sebesar US$ 359,8 miliar, yang terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 179,2 miliar dan utang swasta termasuk BUMN sebesar US$ 180,6 miliar. Mengacu pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar kemarin (28/01/2019), nilai 1 Dollar Amerika Serikat setara dengan Rp14.063, dan jika dikalikan dengan jumlah utang artinya sudah mencapai Rp5.059,8 triliun. Angka yang cukup fantastis!
Hampir di setiap kesempatan juga pemerintah, melalui pejabat Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa jumlah utang luar negeri tersebut masih dalam kondisi aman. Besarannya tidak akan sampai membuat negara bangkrut. Pemerintah membandingkannya dengan angka Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang kurang lebih US$ 1.003 atau Rp13.588,8 triliun. Artinya posisi utang luar negeri Indonesia baru 37,23% dari PDB. Sedangkan persentase maksimalnya adalah 60%. Secara logika, betul masih sangat tergolong aman.
Aman dan tidak aman kita percayakan saja kepada pemerintah. Termasuk tafsiran dan penilaian objektifnya kita serahkan kepada pihak yang lebih kompeten.
Mengapa saya mengatakan utang itu 'oli' pembangunan? Ya bukan meniru-niru ucapan salah seorang politisi yang pernah berujar bahwa korupsi itu merupakan 'oli' pembangunan. Saya tidak ingin menyebutkan nama politisi tersebut. Dan juga sama sekali tidak ada kesamaannya. Cuma mirip-mirip karena menggunakan istilah 'oli', minyak pelumas. Jika maknai, 'oli' yang dimaksud di sini adalah semacam alat atau bantuan untuk memperlancar.
Semua pihak pasti tahu, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak memiliki utang. Negara sekelas Amerika Serikat pun punya utang. Bahkan disebut-sebut sebagai negara dengan utang terbesar di dunia. Utang Amerika Serikat saat ini sudah mencapai lebih dari Rp324.000 triliun atau 105,4% dari PDB mereka. Mengerikan! Tapi faktanya Amerika Serikat belum juga punah alias bangkrut. Kok bisa?
Setiap negara punya strategi dan tujuan mengelola utang. Indonesia punya dan Amerika Serikat serta negara lain pun demikian.
Mengapa sebuah negara memerlukan utang?
Ada banyak alasan, misalnya karena keterbatasan dana atau karena ada sesuatu target besar sehingga perlu uang dalam jumlah banyak. Dana yang diperoleh bisa jadi digunakan untuk menstabilkan perekonomian, meningkatkan pembangunan, membayar utang-utang sebelumnya dan sebagainya. Ingat, masing-masing negara punya batasan dan aturan dalam mencetak uang. Tidak sesederhana yang kita pikirkan.
Sebuah negara bisa diandaikan semacam rumah tangga, yang penuh dinamika dan impian. Tidak ada negara atau pun rumah tangga yang ingin tetap berada dalam kondisi stagnan. Keduanya sama-sama ingin berubah dan semakin baik.
Pertanyaannya, adakah rumah tangga yang tidak punya utang? Minimal utang budi kalau sampai utang dalam bentuk uang tidak ada.
Kita fokus pada utang dalam bentuk uang. Bukankah sebuah rumah tangga punya alasan tertentu ketika harus berutang?
Misalnya begini, sebuah keluarga memiliki banyak cita-cita yang ingin diraih dan memerlukan uang. Sebut saja seorang anak di dalam keluarga tersebut ingin sekolah yang lebih tinggi, sedangkan uang orang tuanya tidak cukup untuk membiayainya. Orang tuanya punya rumah dan sawah. Dalam hal ini ada tiga pilihan yang akan diambil: lanjut sekolah, menganggur sementara, atau tidak sekolah sama sekali. Untuk pilihan pertama dan kedua jelas butuh uang. Sedangkan pilihan ketiga tidak.
Orang tua yang baik tentu akan mempertimbangkan pilihan pertama dan kedua, anaknya harus sekolah, apa pun yang terjadi. Dan jika dipertimbangkan lebih lanjut, pilihan pertama yang akan sekuat tenaga diperjuangkan. Orang tua pasti tidak ingin anaknya menganggur, apalagi dalam waktu yang lebih lama. Usia akan bertambah dan motivasi akan berkurang. Belum lagi kondisi keluarga yang ke depannya tidak menentu.
Pilihan berikutnya berlanjut. Supaya anak bisa langsung sekolah, apa langkah yang mesti diambil?
Hanya ada dua pilihan, menjual sebagian atau seluruh harta yang ada, atau meminjam uang dari orang lain. Orang tua nekat sudah pasti tertarik dengan pilihan pertama, sedangkan orang tua bijak akan mengambil pilihan yang kedua, berutang. Bagaimana tidak, menyekolahkan anak itu sama artinya sedang berinvestasi buat keluarga. Hasilnya belum tergambar dan prosesnya penuh resiko. Lalu apa salahnya bertaruh untuk bertarung demi masa depan anak? Berutang resikonya lebih kecil dibanding menjual harta.
Keinginan anak terpenuhi dan utang menanti untuk dilunasi. Apakah ketika anak sedang berproses di bangku sekolah tanpa ada iringan nasihat dan motivasi dari orang tua? Jelas ada! Orang tua akan terus memacu semangat anaknya meraih kesuksesan agar kelak bisa membantu melunasi utang biaya sekolah. Dan apakah orang tua juga berdiam diri menunggu kapan saatnya utang dibayar lunas oleh anaknya? Tentu tidak! Orang tua akan terus pula bekerja keras untuk menyicil utang, syukur-syukur lunas sebelum anaknya berhasil.
Mari kita kembali ke persoalan utang negara. Pemerintah tentu punya pertimbangan matang dan lengkap, mengapa negeri ini harus berutang ke negara lain. Pemerintah sudah memastikan bahwa penggunaannya diarahkan pada hal-hal produktif dan jumlahnya juga masih dalam taraf wajar. Pemerintah berkomitmen tidak akan berutang melebihi jumlah PDB kita. Mari kita kawal itu terus-menerus tanpa lelah.
Berutang sebaiknya dipandang juga sebagai sarana relasi dan kerjasama dengan negara lain; sama-sama saling membantu, berkompetisi dan menguntungkan. Letak persoalannya hanya pada pengelolaan saja. Apakah dikelola untuk keperluan produktif atau konsumtif, kepentingan jangka pendek atau jangka panjang, menyasar kebutuhan masyarakat luas atau segelintir orang saja; itulah yang harus dipertimbangkan.
Utang sebaiknya dijadikan sebagai 'cambuk' untuk terus berbenah, bukan 'momok' penghambat mimpi.
Negara yang takut berutang adalah negara yang ingin berada di zona nyaman dan aman, takut menghadapi resiko, dan tidak menyukai tantangan. Kalau sudah demikian, bagaimana negara kita bisa maju?
Pertanyaan terakhir, apakah kita mau dipimpin oleh orang penuh ambisi tetapi jauh dari optimisme? Semoga tidak.
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H