Kesadaran akan Fakta.
Kala itu, telah timbul kesadaran dari para anak muda NU Kota Pekalongan akan fakta yang mengungkapkan; baik itu partisipasi masyarakat yang berjalan (disaat itu) maupun para pengambil kebijakan yang mengolah partisipasi masyarakat, keduanya adalah sebatas "partisipasi daun salam", hanya dibutuhkan saat memasak dan langsung dibuang begitu masakan matang.
Diantara para pemuda yang dimaksud adalah Abdul Basyir, Zaenal Muhibin, Aminudin Aziz, dan H. Ahmad Rofiq. Mereka terdorong untuk merealisasikan kebermanfaatan NU secara nyata.
Zainal Muhibin berkata: "Sudah cukup lelah NU hanya 'dimanfaatkan' untuk kepentingan-kepentingan politik. Sudah saatnya NU Pekalongan berbuat lebih nyata untuk warganya sendiri melalui program kerjanya,"
Diantara harapan yang ada pada masyarakat NU selain ingin membawa NU netral secara politik, terdapat juga harapan agar program-program NU menjadi lebih nyata, menukik, menyentuh kebutuhan, mengayomi, menenangkan dan membela warga NU yang notabene mayoritas di Kota Pekalongan.
Pada saat itu, NU Kota pekalongan memiliki 4 Pengurus Majelis Wakil Cabang NU (yakni bergerak pada tingkat kecamatan) dan memiliki 47 Pengurus Ranting NU (yakni bergerak pada tingkat kelurahan). Dengan semua yang telah disebutkan, disusunlah berbagai program yang semua program itu diharapkan mampu menjawab kebutuhan warga NU.
Akan Tetapi, ternyata warga NU Kota Pekalongan belum bisa merasakan kiprah pengurus (pada semua tingkatan tersebut) secara langsung. Sehingga dampaknya masih banyak terdapat warga NU yang hidup dibawah garis kemiskinan, sehingga orangtua-orangtua miskin tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya dan tidak mampu mendapatkan hak hidup sehat.
Maka untuk menghadapi kondisi dan kenyataan tersebut, dibentuklah tim kerja yang akan bergerak sebagai ujung tombak dari organisasi NU dan seluruh lembaga, lajnah dan badan otonom yang dimiliki organisasi NU. Tim kerja inilah yang disebut dengan Nahdliyyin Center. Ini adalah bentuk ikhtiar dalam mengembalikan hak umat atas pelayanan pemerintah.
Selama rentang tahun 2007, Abdul Basyir, Zaenal Muhibin, Aminudin Aziz, dan H. Ahmad Rofiq akhirnya menjadi tim kecil dalam merumuskan model-model gerakan yang akan digunakan untuk menjawab kegelisahan-kegelisahan yang ada dan tentang bagaimana menuntaskan harapan agar NU menjadi lebih baik. Aminuddin Aziz menceritakan bahwa mulai saat itu dirinya dan mereka selalu saling berdiskusi, sekaligus merangkul para sesepuh NU, seperti KH Mustaffa Bakri, KH Zakaria Anshor dan KH Zaenuri.
Dan pada diskusi-diskusi yang terjadi diantara mereka, tibalah saat dimana mereka bertemu dengan pegiat PATTIRO. Para pengurus NU pada pertemuan itu mengkonsultasikan teknis program mereka kepada pegiat PATTIRO yang memiliki program penguatan ormas Islam dalam proses pembanguan daerah, melalui Internalisasi kesadaran advokasi kebijakan publik.
Mulai saat itu, PATTIRO selalu melibatkan NU dan ormas Islam lainnya pada setiap pelaksanaan kegiatan program-program advokasi anggaran. Keterlibatan-keterlibatan NU dan ormas islam lainnya dalam diskusi, workshop dan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan masalah perencanaan dan penganggaran daerah sangatlah membantu penguatan internal ormas Islam.