Mohon tunggu...
Tubagus Rangga Efarasti
Tubagus Rangga Efarasti Mohon Tunggu... lainnya -

Tubagus Rangga Efarasti Aku cuma ingin belajar menulis, karena aku cuma gelas kosong yang bervolume. Akulah anak kunci yang mencari lubang kepastian, bukan yang tergantung pada paku berkarat. Karena akulah pria yang memberimu kesan pada sebuah kesetiaan. Terus menulis dan menulis terus hingga kutemukan dunia ini tidak selebar celana kolor... *^_^*

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FPK] Sosok Rapuh dalam Kerinduan

29 Oktober 2011   02:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:20 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam Perhelatan Akbar Festival Puisi Kolaborasi (FPK) Fiksiana Community

Tema: Kasih Sayang Anak kepada Ayah

Judul: Sosok Rapuh dalam Kerinduan

Penulis: Tubagus Rangga Efarasti & Elsa Khairun Nissa

No. Peserta: 181

***

.

.

Sosok Rapuh dalam Kerinduan

.

.

Ayah…

Andai waktu bisa kuputar kembali

ingin aku mengatakan bahwa aku pun sayang ayah…

Ya Rabbi…

kenapa dulu aku terlalu egois

selalu ingin menang sendiri….

padahal harusnya aku tahu

Ayah berbuat seperti itu karena sayang padaku

.

Ayah….

mungkin itu yang akan membuat kita saling merindukan….

Kenapa waktu itu aku terlalu egois

Tak dapat merasakan rasa sayang yang kau curahkan

Ku merasa engkau sangat membenciku

padahal itu adalah bentuk sayangmu padaku

Setiap kali kita bertemu selalu saja ada perselisihan

Sampai aku menginginkan

lebih baik aku pergi saja dari rumah

pergi jauh darimu….

mungkin itu akan mengurangi pertengkaran kita…

.

Engkau dengan watak kerasmu sebagaimana watakku

Engkau tetap teguh bagai karang dengan pendapatmu…

Aku pun teguh dengan keputusanku…

tak ada jalan tengah di antara kita

.

Tapi petaka itu datang

engkau sakit terbaring di rumah sakit

ingin ku berkata maaf

tapi bibir ini terasa kelu….

ku masih ingat…

Walaupun engkau sakit…engkau masih memperhatikanku

.

Aku tak tahu kalau itu adalah perhatian terakhir darimu….

kalau aku tahu aku pasti akan lebih memperhatikanmu juga

.

.

hamba yang seberangi kolam jiwa

bergelora dalam sajak

air mata perak

lalu pulang lewati jengkal-jengkal luka

bisikan menyeruak

batang hidungku menyulap isak jadi gelak

sepasang mata membeliak

ruang lirih pun menyulang ketidakberdayaan

.

hamba yang berteriak-teriak hanyutkan lara

pada riak kerongkonganku kosong beriak

mengibas parau-parau batas malam

menambal paru-paru lebih dalam

darahku campuran cengkeh dan kopi

belum tahu aku siapa gerangan?

sosok samar menembus sepi

.

lelaki tangguh yang dengan tangannya melindungiku

bertaruh nyawa keriput wajah dalam beku

.

.

lelaki dengan sejuta kesabaran

walau kesal sering kuperlihatkan

tak sedikit pun kau protes aku

.

Diammu menoreh luka di hatiku

ku tak tahu apa kau sayangkan aku

Sampai semuanya berakhir

Saat Malaikat Maut datang menjemputmu

Saat itu aku hanya bisa berteriak

beri aku waktu…

.

Berjanjilah Ayah untuk bisa bertahan hidup

Agar bisa kubawa Kau ke Mekkah

Ku akan turuti semua inginmu

Ku akan merawatmu

Ku takkan sia-siakanmu…

.

.

apa kau tahu perasaannya?

yang dirundung sedih, di sini, di tepi lautan

ketika camar-camar kembali ke sarang

langit tak jua mendengar sementara mengelam

memalamkan sepi cuma debur tak tenang

nelayan-nelayan hendak berperang

membaca lentera-lentera di permukaan

serupa lilin-lilin yang terombang di luas lautan

tak ada batas bertahan

.

sesal serta kesal terdampar pada perahu siang

dingin benamkan kakinya

dalam pasir tercium anyir

ia bingung tak temukan bulan

yang biasa tersenyum malu saat hujan

ia bimbang tak dapati bintang

yang kemarin berekor panjang

ia juga tak merasakan ada yang datang

dari laut pasang

.

mata airnya jadi air mata

yang dirundung gelisah, di sini, di kaki karang

berkecamuk jutaan galau dan bimbang

aku ingin selalu bersama lelaki itu

sosok rapuh yang tak lagi tangguh

sosok yang kurindukan hingga beku waktu

apa kau tahu perasaanku?

.

.

Rabbi…

Kenapa sesal itu selalu datang terlambat

ya… di penghujung tahun

Engkau dipanggil-Nya….

Masihkah engkau saat itu mendengarkan permintaan maafku…?

Ketika engkau berjuang untuk tetap hidup….

ku hanya berharap engkau bisa mendengarku

.

Rabbi….

Bukan ini yang aku inginkan…

Bukan jauh seperti ini yang aku inginkan

.

Rabbi…

Maafkan hamba-Mu yang dhoif ini…

Ku tak ingin menggugat takdir-Mu

Ku hanya menyesal kenapa perpisahan itu harus seperti ini…

Ku belum mendengar permintaan maafku diterimanya

.

Rabbi….

Ampuni hamba-Mu ini yang berlumuran dosa

Aku tahu dosaku begitu banyak…

Betapa sering aku mendengar…

Dosa besar jika durhaka kepada orang tua…

.

Rabbi….

Ku hanya mengharap kemurahan-Mu

untuk mengampuni segala dosa-dosaku….

Karena Aku yakin dengan Janji-Mu

bahwa Engkau akan memaafkan dosa hamba

walaupun dosa hamba sebanyak buih di lautan

.

aakkkkhhhhhhhhhh.........

sampai kapan penyesalan ini kan berakhir...

bisakah aku melihatmu tersenyum di sana

mungkin itu kan mengobati luka dan sesalku

.

.

lantas kusadari inilah hidup yang kekal

ketika sang kelana meminta jiwa,

ketika malam telanjangi rasa

pada larik-larik berikutnya

ketika aku sudah tak bisa bertahan

dan menahan

.

inginku laik dirinya

dinginku layak mencintainya

sosok rupa sang lelaki

tangguh pijakkan kaki

.

.

Hanya satu pintaku kepada-Nya

Di sana Kau bahagia

Kau dapat keluarga pengganti yang lebih baik

sesuatu

yang bisa dibaca malam adalah sepi

adalah dingin yang bisa dibawa hujan

yang bisa dibaca aroma adalah api

adalah peti yang bisa dibawa nisan dari situ

.

sesuatu

yang aku cinta adalah ia, lelaki yang kupanggil ayah

Tuhan, maafkan hamba giat aniaya dan membantah

aku berserah kini doa terpanjat lesat

terkirim untuknya dalam bayang kasat

maafkan aku ayah

.

.

.

Serang, Banten - Bandung, Jawa Barat, 18 - 25 Oktober 2011

.

.

.

*) Keterangan:


  • Kiri : Elsa Khairun Nissa
  • Kanan : Tubagus Rangga Efarasti

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun