Mohon tunggu...
wiezkf
wiezkf Mohon Tunggu... Human Resources - Open Observer

Pengamat bebas dengan imajinasi liar, penulis lepas yang tangannya sering nyasar ke keyboard, data analyst yang suka ngulik angka sampai mau minta cuti, dan reviewer jurnal bereputasi yang hobi debat sama teori!. Cukup dengan laptop, kopi, dan rasa ingin tahu, analisis data serta ulasan jurnal jadi petualangan epik penuh plot twist, di mana statistik sering menyerah bilang, “Skip, aku nyerah!” 😂☕

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berselimut dibawah Teriknya Matahari

26 Januari 2025   09:40 Diperbarui: 26 Januari 2025   10:10 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pria paruh baya sedang berjualan dagangannya di sebuah Pasar Tradisional, Semarang (Unplash/Visual Kursa)

"Sebuah Satire: Dalam bayang-bayang janji politik dan teriknya realitas, cerita ini menggambarkan potret rakyat Indonesia pasca 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Memancarkan berbagai warna-warni perjuangan moral, tantangan sosial, dan harapan yang tak pernah padam, kisah ini menyentuh nilai-nilai kebangsaan dengan sentuhan religi dalam upaya mewujudkan keadilan serta kesejahteraan."

Pasar itu Penuh dengan Suara

Di bawah langit berwarna merah muda, seperti kanvas raksasa, Dianasari berdiri di tengah keramaian pasar rakyat di pinggiran Jakarta. Hari itu adalah hari ke-105 pemerintahan Prabowo-Gibran. Gelombang harapan, yang dulu menghempas layaknya ombak raksasa, kini terasa seperti kabut tipis yang perlahan memudar di bawah terik mentari.

Pedagang yang berteriak menawarkan dagangan, anak-anak berlari riang, serta lantunan doa dari masjid kecil di sudut jalan. Namun, di balik semua itu, ada keheningan yang tak kasat mata. Wajah-wajah pedagang terlihat lelah, mencerminkan kenyataan pahit bahwa lapangan pekerjaan yang dijanjikan masih jauh dari cukup.

Di bawah terik matahari yang menyengat, Dianasari membantu seorang pedagang tua menyusun sayurannya. Wajah Pak Halis tampak muram, kerutan di dahinya semakin dalam, seolah menggambarkan beban yang dia pikul.

“Bu Dianasari, kapan ya janji itu ditepati? Anak saya, Mordani, belum juga dapat kerja sejak lulus tahun lalu,” ucapnya dengan suara serak, menatap sayuran yang beliau tata seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Dianasari menghentikan tangannya, menatap Pak Halis dengan mata yang sarat simpati.
“Pak Halis… saya mengerti betapa beratnya ini,” ucapnya perlahan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil meskipun hatinya terasa berat. “Tapi percaya, ya, Pak… saya akan terus menyuarakan ini. Kita tidak boleh menyerah.”

Pak Halis mengangguk, tapi tatapannya kosong. Beliau menunduk, mengusap keringat di dahinya dengan ujung sarung lusuh yang melingkar di bahunya.

“Saya sudah lama bersabar, Bu… tapi rasanya seperti menunggu hujan di musim kemarau,” lirihnya. Beliau menatap Dianasari dengan mata yang basah. “Bagaimana nasib anak saya kalau begini terus?”

Dianasari menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia mencoba tersenyum, meski hatinya terasa sesak.

“Pak, saya paham rasa kecewa ini… tapi janji saya, kita akan cari jalan bersama,” katanya sambil menepuk bahu Pak Halis dengan lembut.

Pak Halis hanya mengangguk kecil, menghela napas panjang. Di belakang mereka, suara pedagang lain masih berteriak, anak-anak berlarian di antara kerumunan. Namun, di antara mereka berdua, keheningan berbicara lebih banyak.

Dianasari hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Dia tahu bahwa janji kampanye para politisi-politisi yang pernah menggema kini hanya menjadi gema samar yang memudar.

Pemerintahan dan Kebijakan

Dalam 100 hari pertama, Prabowo dan Gibran memperkenalkan berbagai kebijakan, salah satunya adalah program Bersama Membangun Nusantara yang bertujuan menciptakan 5 juta lapangan kerja baru. Namun, birokrasi yang berbelit dan korupsi yang mengakar membuat program ini berjalan tersendat, seperti melangkah di lumpur. Data terbaru menunjukkan tingkat pengangguran justru meningkat sebesar 3%.

Di kantor pemerintahan pusat, Gibran, sebagai wakil muda penuh semangat, meluapkan kegelisahannya kepada tim.

“Kita harus memperbaiki sistem ini! Bagaimana bisa kita bicara soal lapangan kerja kalau izin investasi saja bisa tertahan berbulan-bulan?” serunya di ruang rapat yang sunyi.
Prabowo, dengan sikap tenang namun tegas, menimpali, “Ini soal mentalitas bangsa. Kita perlu revolusi karakter sebelum segalanya bisa berjalan.”

Namun, di luar gedung-gedung megah itu, rakyat seperti Dianasari dan Pak Halis tidak melihat revolusi yang dijanjikan. Yang mereka saksikan hanyalah harga-harga yang terus melambung dan janji-janji yang terasa seperti layang-layang kehilangan angin.

Teknologi dan Tantangan Sosial: Fiksi

Di sudut lain di Kota Djogdja, seorang pakar dan ilmuwan muda tersohor Dr. S. Hanafi  tengah mengembangkan proyek ambisius bernama Matahari Nusantara, jaringan panel surya pintar yang dirancang untuk mengurangi ketergantungan pada energi impor dan menciptakan lapangan kerja di sektor energi terbarukan. Namun, proyek ini terhambat oleh oknum yang memanfaatkan anggaran untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Di laboratoriumnya, Dr. S. Hanafi  menatap layar komputer yang penuh dengan grafik dan data-data.
“Jika saja manusia lebih peduli pada sesamanya daripada kantongnya sendiri, teknologi ini sudah bisa mengubah nasib ribuan desa,” gumamnya.

Sementara itu, di desa-desa terpencil yang jauh dari kemegahan Ibu Kota, rakyat tetap hidup dalam keterbatasan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan masih terasa seperti mimpi yang jauh. Meski begitu, mereka tetap saling membantu, seperti keluarga besar yang berbagi satu payung di tengah hujan deras.

Teriknya Matahari di Monas Jakarta (Pexels/Tom Fisk)
Teriknya Matahari di Monas Jakarta (Pexels/Tom Fisk)

Refleksi Moral Kebangsaan

Di malam hari, ditemani secangkir kopi dan buku filsafat Islam, Dianasari sering merenung. Ia yakin bahwa bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan ekonomi. Bangsa ini membutuhkan kebangkitan moral.

“Bukankah Rasulullah mengajarkan pentingnya amanah? Bukankah kejujuran adalah fondasi segala kebaikan?” pikir Dianasari.

Di sebuah masjid, Ustaz Muh. Mansur, seorang ulama muda, menyampaikan pesan yang menggugah hati. “Kita tidak bisa hanya berharap pada pemerintah. Kita, sebagai rakyat, harus menjadi bagian dari solusi. Mulailah dari hal kecil: bantu tetangga, hormati perbedaan, dan jaga akhlak. Itulah jihad di zaman ini.”

Epilog

  • Di bawah teriknya matahari, rakyat Indonesia terus berjuang. Sebagian berselimut harapan, sebagian lagi berselimut kekecewaan. Namun, seperti matahari yang selalu terbit setiap pagi, ada keyakinan bahwa esok hari bisa lebih baik.
  • Dianasari menatap pasar yang perlahan mulai sepi. Dia sadar bahwa perubahan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab setiap individu.
  • Di langit, panel-panel surya proyek Matahari Nusantara mulai dipasang di beberapa wilayah. Meski perlahan, proyek ini membawa harapan bahwa teknologi dan moralitas dapat berjalan beriringan.

Silahkan, buatlah keyboard anda sibuk di kolom komentar dengan mendeskripsikan karakter ”Siapakah Dianasari?”😆🤣

Ternate, 26 Januari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun