Beribadah di surau dan masjid serta menghidupkan dengan wirid pengajian, adalah bentuk kegiatan memakmurkan masjid sekaligus membangun fisiknya.
Hebat dan terasa luar biasa. Ketika masyarakat mendengar di sebuah surau atau masjid ada kegiatan pengajian bersama Tuanku Bagindo, lautan masyarakat tak terbendung untuk datang ke masjid itu.
Terasa hebatnya, ketika sudah pengajian, dana yang terkumpul tak diambil oleh Tuanku Bagindo. Meskipun pengurus masjid dan surau memberi dia, tapi Tuanku Bagindo lebih memilih untuk tidak mengambil.
Dana yang terkumpul harus digunakan untuk bangunan surau. Begitu kira-kira ungkapnya untuk lebih banyak tidak menerima. Dia lebih banyak memberi.
Adakah tuanku pendakwah zaman sekarang seperti Tuanku Bagindo? Tentu sulit mencari ulama yang sepadan dengan dia.
Tuanku Bagindo mengabdikan dirinya secara total kepada Allah SWT. Pergulatan amal shaleh yang didasari dengan ilmu yang dituntutnya di Padang Gantiang, Tanah Datar dengan Syekh Talawi dan di Koto Tujuah, Tanjung Ampalu, Sijunjung dengan Syekh Muhammad Yasin, setidaknya memberikan pengaruh yang amat luar biasa baginya di kemudian hari.
Masyarakat VII Koto lama yang telah berusia 60 tahun atau lebih, sangat mengetahui kisah dan cerita Tuanku Bagindo ini.
Begitu banyak surau dan masjid yang selesai bangunannya, hidup suasana dengan semarak ibadah dan wirid pengajian, menjadikan Tuanku Bagindo tak luput dari ingatan banyak orang.
Ikhlas beramal. Ini yang kita tangkap dari spritualitas Tuanku Bagindo. Pengajian yang disampaikan dalam wirid, adalah kewajiban ulama untuk menyampaikannya, sebagai suluah bendang di tengah masyarakat.
Dan yang terpenting, pengajian harus di surau di lakukan. Bila surau belum selesai bangunannya, harus diselesaikan secara bersama, dia yang memulai dulu.
Tuanku Bagindo tidak sekedar menyampaikan kaji, tapi mengamalkan kaji yang dia dapatkan terlebih dulu.