Ada istilah pakar, ahli, jago, profesional, senior dan sejenisnya. Semuanya berusaha menggambarkan berapa ahli dan berpengalaman seseorang di bidang tertentu. Kalau menurut saya mah, istilah ahli udah yang paling tinggi tuh. Kata ahli itu menggambarkan pengalaman dan keahlian menghadapi semua kemungkinan gangguan.Â
Buat yang pernah baca komik Kenji (bagus banget ini komik), mungkin masih ingat ada ahli tombak yang melatih dirinya habis-habisan sampai 10.000 kali. Angka 10.000 ini juga pernah ditulis oleh seorang ahli di jurnal ternama, tapi maaf, jujur saja... saya lupa siapa beliau. Jadi bila seorang montir mobil memperbaiki mobil sampai 10.000 kali, dia bisa disebut seorang ahli. Semua 10.000 penyakit mobil tadi harus diselesaikan dengan baik.Â
Kasus gagal tidak dihitung disana. Satu lagi syaratnya, harus ada bukti catatan perbaikannya. Bukan hanya testimoni sepihak saja. Bayangkan sehari ada 1 mobil yang diperbaiki, artinya untuk mencapai predikat ahli, perlu waktu 27 tahun! Itu baru satu kasus montir mobil. Hal yang sama harusnya berlaku juga untuk bidang lain. Â
Untuk kasus di bidang kesehatan. Wah, aturannya harus lebih lengkap dan terstruktur karena berhubungan dengan kehidupan manusia. Seperti Anthony Fauci yang sedang ramai di televisi. Ia bukan hanya tenar karena Covid 19, tapi ia telah lama malang melintang di dunia kedokteran. Catatan dari wikipedia menyatakan bahwa beliau adalah penulis nomor 13 dari jutaan penulis dunia yang paling sering dikutip.Â
Fauci sejak tahun 1976 mempublikasikan penelitiannya, artinya sudah 43 tahun! Semua penelitiannya tercatat dan bisa di tracing bahkan diteliti ulang oleh peneliti lain. Jadi sudah sewajarnya kalau ia disebut seorang ahli.Â
Sedangkan di kita sini, kata ahli diobral murah bahkan gratis. Dengan kekuatan testimoni - apalagi yang ngasih testimoni pejabat populer atau artis. Wah sudah deh, langsung jadi ahli . Â Dan ini bukan kejadian pertama lho. Ahli tulang, ahli jantung, sampai ahli brainwash. Â Semuanya hanya didukung oleh testimoni belaka. Mengapa bisa begitu ya? Mengapa kita bisa percaya tanpa mencari tahu? Mengapa orang tidak kritis atau tergerak mencari tahu?Â
Menurut teori Newton, semua benda bersifat lembam atau malas bergerak. Mungkin berlaku juga untuk kemampuan berpikir. Kebiasaan skeptis memerlukan kemauan untuk mencari. Rasa penasaran yang rindu akan fakta.Â
Ditambah dengan kenyataan bahwa secara alamiah, manusia hanya akan " mendengarkan " yang ingin kita dengar atau yakini. Klop sudah. Â Terjadilah semua kekacauan. Saya bicaranya berantakan ya? Mari, saya permudah ya. Matematikanya tuh begini...Â
1. Orang malas berpikir
2. Orang merasa terdesak kondisi (sakit, keuangan, keyakinan)
3. Berita baru yang dianggap kabar gembira, penyelamat, hadiah surga
4. Dukungan testimoni orang-orang "penting"
5. Pengulangan yang dihembuskan terus menerus
Jumlah kelima variabel diatas menghasilkan false logic seperti di tulisan sebelumnya. Bila false logic ini ditularkan ke peer group nya Maka akan menjadi kesalahan berjamaah. Dengan istilah "the power of number", maka semua yang mayoritas akhirnya akan menguasai pendapat di mayoritas.Â
Masih bingung?Â
Ah ya tidak mengapa, ini hanya cobaan. Nanti juga paham kalau dibaca berulang kali. . Jadi bagaimana untuk membedakan mana ahli yang ahli sebenarnya? Latih kebiasaan skeptis.Â
Jangan percaya semua hal begitu saja. Mereka yang cara bicaranya meyakinkan belum tentu benar-benar ahli. Mungkin mereka baru ahli bicara seperti seorang ahli saja. (Ulangi: ahli bicara) Selalu jujur dengan diri sendiri bahwa tulisan apapun yang dibaca  belum tentu benar. Termasuk tulisan saya yang membingungkan ini. Karena saya jelas bukan ahli, cek saja jumlah artikel, jumlah view dan semua statistiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H