Mohon tunggu...
Newbie
Newbie Mohon Tunggu... -

Aliran Naturalisme

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Part VI] Di Balik Sebuah Cerita

29 November 2016   03:21 Diperbarui: 3 Desember 2016   04:28 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mbah giran (sumber : rikyarisandi.blog.widyatama.ac.id/)

POV Istri

ilustrasi rina (sumber: kapanlagi.com)
ilustrasi rina (sumber: kapanlagi.com)
Malam kian beranjak dewasa udara malam pun semakin dinding menelusup di celah-celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Entah kenapa malam ini aku masih belum bisa memejamkan mata ini.

Pikiran yang terus bergerak untuk mengeksploitasi setiap kejadian yang tak terduga beberapa hari ini, kejadian yang bila diingat-ingat akan membuat senyum-senyum sendiri karena semua kejadian itu diluar dugaan dan tak menyangka bisa menjadi sebuah cerita lain dalam diri ini.

Malam ini aku sedang terduduk dipinggir dipan sambil memandang ke arah balai yang ada di kebun samping, seketika terlihat pak giran sedang menarik kreteknya dengan wajah santai melirik kearah ku dan tersenyum dan aku pun membalas tersenyum kepadanya.

Entah kenapa seperti ada sesuatu yang menarik dan membimbing ku untuk beranjak menemui pak giran yang sedang bersantai di balai itu.

Ilustrasi mbah giran (sumber : rikyarisandi.blog.widyatama.ac.id/)
Ilustrasi mbah giran (sumber : rikyarisandi.blog.widyatama.ac.id/)
Ku lirik sejenak ke arah mas andi dan beserta kedua buah hati yang masih tertidur dengan lelapnya, ku kecup kening adit dan anis dan mengambil sweater yang tergantung di dinding anyaman bambu karena udara malam yang kian dingin membuat ku membutuhkan sweater agar tidak terlalu dingin.

Aku beranjak ke arah pintu kamar, langkah kaki yang ringan tanpa beban yang memberatkan langkah maupun hati ku seakan alam merestui langkah kaki ini untuk berjumpa dengan pak giran.

Ada rasa grogi dan deg-deg an yang mulai meresapi, aku di buat bingung oleh perasaan yang bergejolak di hati bagaikan seorang gadis yang baru jatuh cinta.

Ku buka pintu utama yang tak terkunci, kaki pun melangkah ke arah kebun samping dimana pak giran sedang duduk dengan santai di balai tanpa lampu cuma ada sinar rembulan yang menerangi langkah ku.

"sini nduk.. duduk di samping bapak", pak giran menyadari kehadiran ku.

"iya pak.." aku pun menempatkan diri disamping pak giran.

"coba lihat nduk..", seru pak giran sembari tangannya menuju ke arah rembulan.

"indah .. seindah kamu nduk.. desa ini penuh keindahan sama seperti diri mu yang memiliki aura keindahan yang mampu menarik perhatian bapak, nduk" terang pak giran.

Aku hanya terdiam sejenak melirik beliau, bibir tuanya masih asyik menghisap kretek. 

" tapi pak.. aku takut mengkhianati mas andi.." ujar ku sambil tertunduk, pandangan ku kosong tanpa arah.

" iya nduk bapak tahu, kamu adalah wanita baik-baik, seorang istri yang setia terhadap suami dan seorang ibu yang penyayang bagi anak-anak mu. namun bapak tak bisa membohongi perasaan yang bapak rasakan sejak berjumpa dengan mu". terang pak giran.

" pak .. kalau aku boleh jujur..." aku terdiam sejenak, untuk meyakinkan diri bahwa ada rasa yang sedang bergejolak di hatiku.

" aku juga memiliki rasa yang sama pak, aku juga menyukai bapak. Rasa nyaman dan kasih sayang yang telah bapak berikan beberapa hari ini telah berhasil menggoyahkan hati ku yang selama ini setia terhadap mas andi.

Sejauh ini tak ada yang pernah berhasil untuk merebut hati ini dari mas andi, tetapi aku bingung dengan bapak aku tak bisa menahan rasa ini pak. Bapak, ibu dan desa ini telah membuat aku menjadi betah tinggal disini, seperti ada sesuatu yang berat untuk aku tinggal pergi." jelas ku pada pak giman.

Suasana hening sejenak aku mencoba meresapi kebersamaan kami malam ini, aku sudah pikirkan baik-baik bahwa yang ku katakan barusan adalah benar.

Biarkan pak giran mengetahui apa yang kurasakan, tak sanggup aku untuk menahan perasaan ini terlalu lama lagi. Gejolak perasaan yang terus mendorong di dalam hati, bila lebih lama lagi akan menyiksa diri sendiri.

Pak giran tak menjawab atas pernyataan ku barusan, namun ku rasakan tangan kirinya mulai merangkulku, dan beliau berbisik.

" dingin, nduk ? " bisik pak giran, yang di sahut anggukan oleh ku.

Pak giran menarik pinggang ku untuk merapatkan posisi duduk kami, tangan tuanya mulai mengelus dengan lembut punggung ku yang hanya berbalut daster dan sweater ini.

Tangan kanannya meraih daguku dan membuat kami saling bertatapan satu sama lain, tanpa perlu di minta dengan lembutnya bibir tua itu mulai menciumi bibirku.

Ciuman lembut namun tegas itu membuat aku lupa bahwa aku masih berstatus sebagai seorang istri dari mas andi dan seorang ibu dari anak-anak ku.

Disela-sela berciuman tangan kanan pak giran pun tak tinggal diam, tangan itu kini telah mendarat di salah satu bukit kembarku.

Tangan tua itu merabanya dengan penuh kelembutan namun intens berkombinasi dengan remasan lembut di bongkahan pantatku.

Pak giran adalah salah satu lelaki dewasa yang mampu mengerti keinginan dari wanita baik itu di ranjang maupun tidak.

Di atas balai sederhana yang berselimutkan dingin malam dan diterangi sinar rembulan menjadi saksi bisu dari bersatunya kedua jiwa, aku telah menyerahkan hati dan diri ini kepada pak giran.

Hubungan ini bukan karena sebatas nafsu belaka namun ada sesuatu yang membuat hati kami saling menarik satu sama lain, ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika bila menyangkut permasalah ini. 

Pak giran mulai membaringkan tubuhku di atas balai yang terbuat dari bambu ini, sembari menatap mata ku seakan untuk meminta persetujuan melanjutkan ketingkat lebih jauh.

Aku membalas tatapan itu dengan sebuah anggukan yang menandakan aku menyetujui untuk melanjutkannya.

Aku tak merasakan keraguan sedikit pun atas apa yang akan terjadi selanjutnya, aku telah siap bila harus menanggung resiko dari perbuatan kami.

Aku telah membuat pilihan dan aku tak akan mundur dari keputusan yang telah aku buat.

Kami kembali berciuman, seakan pak giran tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran ku dan ciuman ini sedikit demi sedikit membuatku lebih tenang dan kembali menikmati cumbuan pak giran.

Tangan tua pak giran menjelajahi tubuhku yang masih berpakaian lengkap, ujung daster yang mulai ditarik perlahan keatas sehingga terlihatlah pahaku yang jenjang.

Aku hanya mampu mendesah dan pasrah menerima cumbuan pak giran, terasa tangan pak giran sedang menjelajahi bagian paha dalamku yang membuat aku makin mendesah dan merasakan cd ku kini telah basah.

Pak giran yang menyadari itu hanya tersenyum dan melanjutkan kembali aktivitasnya, pak giran memposisikan kepalanya tepat di hadapan kemaluanku terasa lidahnya mulai bermain sejenak disana dan aku pun tak tahu sejak kapan cd ku telah menghilang dari tempatnya. 

Kepala ku mendongak ke atas sembari tangan meremas dan paha pun ikut mengapit kepala pak giran, aku kembali merasakan orgasme yang kedua.

Pak giran membiarkan ku sejenak untuk meresapi orgasme yang baru berlangsung tadi dan beliau mulai memposisikan dirinya untuk bersiap-siap melanjutkan dan merasakan ada sesuatu yang menempel tetap di pintu kemaluanku.

Beliau kembali menatapku untuk meminta persetujuan apa dilanjutkan atau tidak, dan aku membalas tatapan pak giran dengan sebuah anggukan dan menarik salah satu tangannya dan menepatkan di salah satu bukit kembar.

"lanjutkan pak, aku sudah siap." ujar ku bercampur desahan.

Aku sadar bahwa seharusnya yang melakukan ini adalah mas andi sebagai suami dan ayah anak-anak kami namun malam ini tugas itu dilakukan oleh pak giran.

Pak giran pun melakukannya dengan lembut, perlahan tapi pasti aku mulai mengapit kaki ku ke punggung pak giran dan merasakan kembali orgasme yang mungkin malam ini yang terbaik ku rasakan selama berhubungan badan dengan suamiku.

Pak giran yang masih menggoyangkan pinggulnya, lelaki tua ini masih memiliki stamina yang cukup kuat dan mampu bertahan lama.

Aku yang larut dalam suasana mulai ikut menggoyangkan pinggul sembari tanganku memeluk beliau dan memastikan bibir saling berpagutan, tangan pak giran pun dengan gemesnya meremas lembut bukit kembarku.

Terasa goyangan pak giran makin cepat yang menandakan bahwa beliau akan segera sampai pada puncaknya, yang tak terasa membuat pinggulku mengikutinya dan kembali kaki ku mengapit di punggungnya seakan memberikan kode bahwa keluarkan saja di dalam.

Pak giran masih berada di atas tubuhku, kami saling berpandangan dan tangannya mengelus pelan kepala sembari mencium kening ku.

" apa kamu menyesal, nduk?" celutuk pak giran diantara kesunyian yang menghinggapi kami.

"tidak pak, aku sudah memikirkan semuanya dengan matang dan siap menanggung semua resiko dari perbuatan kita malam ini." ujar ku

"benarkah ?" ujar pa giran yang tak percaya.

Aku tak menjawabnya namun sebuah ciuman ku daratankan di bibirnya dan sejenak kami saling berpangutan. 

***

*bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun