" dingin, nduk ? " bisik pak giran, yang di sahut anggukan oleh ku.
Pak giran menarik pinggang ku untuk merapatkan posisi duduk kami, tangan tuanya mulai mengelus dengan lembut punggung ku yang hanya berbalut daster dan sweater ini.
Tangan kanannya meraih daguku dan membuat kami saling bertatapan satu sama lain, tanpa perlu di minta dengan lembutnya bibir tua itu mulai menciumi bibirku.
Ciuman lembut namun tegas itu membuat aku lupa bahwa aku masih berstatus sebagai seorang istri dari mas andi dan seorang ibu dari anak-anak ku.
Disela-sela berciuman tangan kanan pak giran pun tak tinggal diam, tangan itu kini telah mendarat di salah satu bukit kembarku.
Tangan tua itu merabanya dengan penuh kelembutan namun intens berkombinasi dengan remasan lembut di bongkahan pantatku.
Pak giran adalah salah satu lelaki dewasa yang mampu mengerti keinginan dari wanita baik itu di ranjang maupun tidak.
Di atas balai sederhana yang berselimutkan dingin malam dan diterangi sinar rembulan menjadi saksi bisu dari bersatunya kedua jiwa, aku telah menyerahkan hati dan diri ini kepada pak giran.
Hubungan ini bukan karena sebatas nafsu belaka namun ada sesuatu yang membuat hati kami saling menarik satu sama lain, ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika bila menyangkut permasalah ini.Â
Pak giran mulai membaringkan tubuhku di atas balai yang terbuat dari bambu ini, sembari menatap mata ku seakan untuk meminta persetujuan melanjutkan ketingkat lebih jauh.
Aku membalas tatapan itu dengan sebuah anggukan yang menandakan aku menyetujui untuk melanjutkannya.