Sore menjelang senja saat ini kami bersantai bersama-sama di taman samping, aku dan bapak terduduk berdampingan di atas balai sedangkan adit dan nisa bermain bersama ibu dan mas andi.
Aku merasakan kedamaian dan kenyamanan suasana yang tak pernah ku dapat sebelumnya, melihat suami ku bercengkrama dengan bahagianya dengan anak-anak, memandang senja yang tersaji dengan indahnya di hadapan ku.
" indah ya nduk, indah seperti kamu.." bapak berisik di sela-sela menarik kreteknya.
" emmm.. apa pak ? ", ujar ku mencari tahu apa yang di ucapkan bapak.
" kamu .. memang indah. Tak bosan bapak memandang kamu, nduk". ujar bapak dengan diikuti rangkulan di pundak ku.
"gombalnya bapak ini.. ah", balas ku sembari wajah yang bersemu merah.
" indah apanya pak ? aku juga wanita biasa, dua anak bukan perawan lagi." tambah ku.
" indah itu bukan perawan atau sekedar fisik, nduk. Tapi, kepribadian dan kesederhanaan mu itu nduk yang membuat kamu indah dimata bapak." jelas bapak sembari menarik ku lebih dekat ke arahnya, mau tak mau aku kembali menyadarkan kepala ku di pundaknya.Â
Tangan pak giran kembali "bekerja" di punggungku yang berbalut sweater berkombinasi daster ini, sesekali tangannya mengelus kepala ku dengan lembut yang membuat rasa kenyamanan yang di salurkan oleh lelaki tua ini sampai menerobos pintu hati ku.
Aku yakin bila rasa nyaman yang terus menerus di transfer oleh pak giran akan menjebol pertahanan yang memang sudah rapuh, terbukti kala aku tak berdaya menerima cumbuannya tadi siang di dapur.Â
Mas andi yang tanpa sengaja melihat ke arah kami, hanya melempar senyum dan berlanjut bermain dengan anak-anak seakan tak terjadi yang aneh antara aku dan pak giman.