"bapak yang nakal apa kamu, nduk ? tuh ndesah-desah gtu ?" ibu makin menyindir ku dan tawa yang tertinggal pula.
Pak giran yang tak menghiraukan kehadiran ibu di antara kami kembali memberikan sebuah kecupan ringan di bibir manis ku, yang membuat wajah ku kembali bersemu merah. Pak giran pun melangkah keluar dari dapur menuju ruang tengah meninggalkan kami berdua di dapur.
" salah kah aku, bu ?" tanya ku pada ibu yang kini sedang membantu ku di dapur.
" tergantung nduk.." jawab ibu datar.
" tergantung kamu melakukan itu berdasarkan sekedar nafsu atau karena ada rasa yang lain di hati mu." tambah ibu yang tahu kemana arah pembicaraan ku.
" kalau boleh jujur ..." jawab ku terputus sejenak..
" katakan saja nduk pada ibu, ibu tak akan marah pada mu." ibu menimpali dengan cepat.
" berawal dari rasa kagum kemudian timbul rasa nyaman yang hadir di hati ku, Â bapak dan ibu memberikan kenyamanan terhadap kami baik aku, anak-anak dan mas andi. Kenyamanan itu yang membuat ku tak bisa menolak bapak dan bapak memberikan ruang atas sikap manja ku yang tak diberikan oleh mas andi." jelas ku pada ibu.
" ibu sudah tahu malam itu saat kita duduk di teras, ibu bisa melihat dari mata dan sikap maupun aura yang terpancar dari diri mu. Ibu tak marah karena kita sesama wanita, lagi pula kamu lebih muda dari ibu  jadi wajar kalau bapak tertarik sama kamu, nduk." ibu menjelaskan balik kepada ku.
Kami saling berpelukan, pelukan seorang wanita yang mengizinkan suaminya untuk berhubungan dengan wanita lain. Sungguh berjiwa besar dan terbuat dari apa hati ibu yang begitu kuat untuk membuka ruang bagi ku di antara dia dan suaminya.
**