Kami pun bertiga turun dari balai dan menuju ke rumah utama milik pak giran, di ruang makan memang telah ada adit, nisa dan mas andi yang menyambut kami dengan tawa dan senyum. Adit dan nisa berhamburan ke arah ku sembari mencium pipi mereka berdua dan kemudian menuju ke arah mas andi untuk mencium kening suami ku tercinta, aku hanya berharap suami ku tak pernah tahu apa yang terjadi di antara istrinya, ibu dan pak giran.
" cantik sekali kamu hari ini, sayang?" ujar suami ku yang sedang makan.
" heheh.. terima kasih sayang", jawab ku sekenanya sembari tersenyum.
" Ini baju anaknya pak giran mas, bagus gak ?" tambah ku sembari bergaya di depan mas andi.
" bagus kok sayang, cocok dan pas di badan kamu kok" jawab suami ku sembari merangkul ku dan kembali ku cium keningnya.
Pak giran yang berada di sebrang hanya melihat dan memandang ke arah ku dengan pandangan penuh makna yang mungkin hanya aku dan beliau yang tahu makna dari tatapan itu. Tatapan yang sedang menyelami sebuah hati yang berpenghuni namun ada celah kecil yang telah di temukan, beliau telah berhasil menemukan celah kecil menuju pintu hati ini. Rasa kagum terhadap sikap dan kepribadian lelaki tua. Aku harus jujur bahwa lelaki tua ini telah berhasil membuat ku tak berdaya dengan kenyamanan yang telah disematkan pada balik celah kecil pintu hati yang kapan saja bisa menjadi celah besar bila lelaki tua itu tepat mengenai dan mengeksekusinya.
***
*bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H