Di pojok kebun terlihat ada sebuah balai yang berukuran kecil yang berfungsi untuk beristirahat atau bisa juga digunakan untuk duduk-duduk menikmati pemandangan di pagi atau sore hari. Pak giran mengajak rina duduk di balai untuk mememandangi pemandangan pagi ini sedang ibu mengajari anak-anak untuk belajar menanam. Rina yang pagi itu mengenakan kebaya yang biasa dikenakan oleh oleh anak bu giran, rambut panjangnya dibiarkan tergerai dan lipstik tipis mewarnai bibirnya yang indah.
"coba lihat kesana nduk " ? ujar pak giran sembari menunjuk kearah matahari yang sedang terbit.
rina mengikuti arah yang di tunjuk oleh pak giran, matanya sejenak terdiam mencoba mengabadikan apa yang sedang dilihat saat ini. Pak giran yang duduk di samping rina melirik ke arahnya dan tersenyum karena mengetahui apa yang dirasakan oleh rina saat ini.
"indah banget ya pak" ujar rina yang masih fokus memandang ke arah terbit matahari dan mengeluarkan hapenya untuk memotret.
"iya nduk, sama indahnya dengan kamu" balas pak giran spontan yang juga sedang menikmati pemandangan wanita manis disampingnya.
"... maksudnya pak?" ujar rina yang terkaget mendengar jawaban pak giran sembari melirik kearah pemilik suara itu.
Pak giran tak mencoba menjawab terlebih dahulu namun pak giran menatap mata rina dan tangan kirinya dengan pelan mengelus rambut panjang yang tergerai.
"iya nduk.. kamu memang indah" tegas pak giran
"aura keindahan yang terpancar dari kesederhanaan dan kepribadian mu yang menarik bagi bapak". tambah pak giran
"... masak iya, pak ?" rina kikuk sejenak.
"terima kasih, pak" bisik rina tetapi lebih terdengar seperti desahan.
"terima kasih untuk apa, nduk?" pak giran balik bertanya.
"terima kasih untuk keindahan, kenyamanan dan semua hal ini pak" ujar rina
"kamulah yang menjadikannya lebih indah nduk, matahari terbit ciptaan Tuhan dan kamu juga ciptaan Tuhan. Maka ciptaan Tuhan itu indah semua nduk". jelas pak giran
" hehee .. bapak bisa aja gombalnya ", jawab rina sembari mencubit pinggang pak giran dan di sambut tawa oleh ibu yang membuat kaget mereka.
"eheeeem.. eheeeem", ibu mencoba menggoda kami.
"udah kayak sepasang kekasih aja nih, tapi cocok sih" tambah ibu sembari tertawa.
"ibu bisa aja deh." ujar ku tertawa tertahan sembari memperbaiki posisi duduk karena merasa malu pada ibu.
"adit dan nisa dimana, buk ?" ujar ku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"ada di dalam tuh sama andi di meja makan, hehe" ujar ibu yang masih tertawa dan tersenyum melihat kami berdua.
"ibu ganggu aja nih, orang bapak lagi asyik, heheh" timpal pak giran yang juga ikut tertawa.
"nduk...." bisik bapak di telinga ku
" iya pak.. " jawab ku pelan.
Tanpa kami sadari ibu mengambil posisi tetap di samping ku, hingga tangan bapak yang sedang berada di pinggang tak terlihat bila ada yang datang. Aku masih tak masuk akal kenapa ibu membiarkan bapak melakukan hal ini dan juga ikut menggoda saat bapak menggoda sedang menggoda.
"biar aman kalo ada yang lewat " ujar ibu sekena saja.
Aku terkejut ketika bapak mulai membaui telinga sebelah kanan dan dengan bersamaan tangannya mulai merabai perutku yang agak sedikit berlemak karena faktor yang sudah memiliki dua anak ini. Aku kembali di buat tak berdaya dengan segala perlakuan pak giran yang memang telah menanamkan rasa kenyamanan terlebih dahulu sejak kemarin.
"pak.. " desah kuÂ
" iya nduk.. kenapa?" jawab bapak pelan
"ada ibu pak, aku malu.. gak enak pak" bisik ku di telinga bapak.
Pak giran dengan spontan mencium keningku dan menghentikan perbuatanya namun tangannya mengelus rambut ku dengan lembut, matanya memandang dalam ke arah mata ku yang ingin menunjukkan bahwa beliau tak sekedar nafsu atau mencabuli diri ku namun ada rasa lain yang belum bisa ku pahami saat ini.Â
" yuk makan.. ntar keburu dingin masakannya" ujar ibu memecah kebisuan.
Kami pun bertiga turun dari balai dan menuju ke rumah utama milik pak giran, di ruang makan memang telah ada adit, nisa dan mas andi yang menyambut kami dengan tawa dan senyum. Adit dan nisa berhamburan ke arah ku sembari mencium pipi mereka berdua dan kemudian menuju ke arah mas andi untuk mencium kening suami ku tercinta, aku hanya berharap suami ku tak pernah tahu apa yang terjadi di antara istrinya, ibu dan pak giran.
" cantik sekali kamu hari ini, sayang?" ujar suami ku yang sedang makan.
" heheh.. terima kasih sayang", jawab ku sekenanya sembari tersenyum.
" Ini baju anaknya pak giran mas, bagus gak ?" tambah ku sembari bergaya di depan mas andi.
" bagus kok sayang, cocok dan pas di badan kamu kok" jawab suami ku sembari merangkul ku dan kembali ku cium keningnya.
Pak giran yang berada di sebrang hanya melihat dan memandang ke arah ku dengan pandangan penuh makna yang mungkin hanya aku dan beliau yang tahu makna dari tatapan itu. Tatapan yang sedang menyelami sebuah hati yang berpenghuni namun ada celah kecil yang telah di temukan, beliau telah berhasil menemukan celah kecil menuju pintu hati ini. Rasa kagum terhadap sikap dan kepribadian lelaki tua. Aku harus jujur bahwa lelaki tua ini telah berhasil membuat ku tak berdaya dengan kenyamanan yang telah disematkan pada balik celah kecil pintu hati yang kapan saja bisa menjadi celah besar bila lelaki tua itu tepat mengenai dan mengeksekusinya.
***
*bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H