Collin melihat keadilan lingkungan erat kaitannya dengan distribusi hak dan manfaat lingkungan secara adil diantara ras, kelas dan pendapatan masyarakat (Collin, 2008:414). Di tengah ancaman pemanasan global dan krisis iklim aspek lingkungan menjadi tumpuan dan pintu masuk dalam pembangunan. Tak jarang hutan ditebang dan dikonversi karena memberikan nilai tambah yang besar dibandingkan hanya dibiarkan tumbuh liar.Â
Hal ini menyebabkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan  sulit untuk diaplikasikan. Sementara itu, bisnis dunia yang memakai prinsip-prinsip lingkungan agar memacu ekonomi tak menimbulkan dampak bagi bencana lingkungan mempunyai biaya ongkos yang jauh lebih mahal ketimbang harga ekonomi dan kemajuan sehingga kegiatan ekonomi yang tak ramah lingkungan ini justru mendapat tempat dominan dalam memenuhi kebutuhan dan menyumbang anggaran kepada negara sehingga bukan suatu hal yang baru apabila situasi politik kita dicampuri dengan kepentingan semata. Keberpihakan pemerintah pada industri ekstraktif yang menjadi pemain dominan dalam sistem ekonomi kerap kali hadir dalam perumusan kebijakan di negara kita.
Disamping itu kegagalan dalam komunikasi kerap kali terjadi karena para pelaksana kebijakan tak bisa mendelegasikan aturan tentang keberlanjutan kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat pun menjadi rendah dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, kebijakan menjadi tertutup dari masukan-masukan dan suara publik yang terpapar langsung pembangunan yang tak lestari. Buntut dari kegagalan ini adalah tumbuhnya oposisi dan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada negara.
Indonesia dengan potensi kekayan alamnya sudah mendapat previllage sendiri seharusnya dapat akses kemudahan dalam mencapai tujuan keselarasan kologi dengan pembangunan berkelanjutan. Namun pandangan mengenai ekonomi yang tidak dapat berjalan selaras dengan lingkungan ini lah yang harus dibenahi bersama. Dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya turut disertai dengan evaluasi bersama. . Bersamaan dengan itu, perlu dipahami pandangan ontologis  sebagai padanan yang tak terpisahkan antara kehidupan dan lingkungan atau lingkungan dan makhluk hidup yang terkait dan memiliki kedudukan yang setara satu sama lain.
Oleh karena itu, pengambilan keputusan yang dinilai hanya melihat dari perspektif ekonomi ini tidak mencerminkan hakikat dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam sila ke lima Pancasila. Hakikat keadilan mengkaji pentingnya suatu hukum yang ditetapkan memiliki hubungan yang sistematis dengan peraturan hukum yang lainnya. Meski demikian, adanya dasar-dasar dalam pembuatan suatu kebijakan tetap harus ditinjau dari  aspek pertimbangan dalam pembuatan kebijakan tersebut.Â
Dasar-dasar tersebut pun hendaknya ditinjau dari berbagai substansi. Dalam hal lingkungan, sistem hukum lingkungan memerlukan keadilan yang menjadi landasan dalam penetapan kebijakan. Keadilan lingkungan ini diidentifikasi melalui lima elemen dasar yang meliputi hak individu untuk dilindungi dari pencemaran, preferensi terhadap pencegahan pencemaran, beralihnya beban pembuktian pada mereka atau mereka yang membuang limbah emisi, dan perbedaan pembagian risiko diatasi dengan tindakan dan sumber daya yang tertarget (targeted action and resources) (Bullard, 1994;10).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI