Merespon hal tersebut Presiden Joko Widodo menanggapi terkait dampak lingkungan bukan maksud untuk mengabaikan melainkan pemerintah memang tengah fokus meningkatkan laju perekonomian yang sempat anjlok akibat pandemi global Covid-19. Hal tersebut diungkapkan melalui keterangan pers di kanal YouTube Sekertariat Presiden.Â
Presiden juga mengungkap alasan dibalik penerbitan Omnibus Law ialah untuk merevisi banyak undang-undang sekaligus membuka investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Apa yang disampaikan presiden dalam keterangan pers tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwasannya pemerintah bukannya tidak paham mengenai dampak lingkungan melainkan pemerintah memang menutup mata dan telinga dari perspektif dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya peraturan baru dalam UU Cipta Kerja demi perbaikan kondisi ekonomi. Gelagat pemerintah yang ingin memperbaiki kondisi ekonomi melalui kebijakan ini malah berpotensi menimbulkan masalah baru yang menyangkut kemanusiaan. Alhasil UU Cipta Kerja yang telah ditetapkan ini justru berat sebelah.
Setelah menuai perdebatan yang panjang dan melibatkan banyak ahli dari berbagai bidang yang memberikan pandangannya, maka dapat ditemukan banyak kekeliruan yang terkandung di dalam UU Cipta Kerja ini.Â
Munculnya perdebatan pasca pengesahan UU Cipta Kerja ini, membawa kita kembali pada tahun 1992 yang mana pada tahun tersebut telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brasil.Â
Dilaksanakannya konferensi yang dihadiri 178 negara dan 2.400 perwakilan organisasi non pemerintah tersebut karena melihat keresahan dari pesatnya kegiatan industri  yang berdampak negatif pada rusaknya lingkungan. Konferensi ini sekaligus menjadi konferensi pertama yang membahas isu-isu lingkungan, kelangkaan air serta energi alternatif yang diwujudkan dengan upaya pembangunan berkelanjutan. Upaya tersebut yakni terdiri dari melindungi keanekaragaman hayati, melestarikan hutan, pengelolaan pemukiman manusia dan pencegahan perubahan iklim.Â
Pada KTT Bumi diperkenalkan jargon "Think Globaly, Act Locally" sebagai bentuk sosialisai mengenai pentingnya menjaga semangat kebersamaan antara upaya pembangunan oleh kelompok developmentalis dan upaya menjaga kelestarian lingkungan oleh environmentalis sehingga terbentuk sinergitas untuk menjaga bumi dari polusi dan kerusakan lingkungan. Dengan rangkaian buah pemikiran yang telah dipetakan sedemikian rupa lantas, mengapa kebijakan yang dirumuskan pemerintah masih abai terhadap pembangunan berkelanjutan yang lestari?
Meninjau persoalan lingkungan tentu akan mengajak kita meratapi kondisi ekonomi. Kerap kali kondisi seperti ini memaksa kita berhadapan pada pilihan untuk bersikap idealis atau pragmatis. Idealis dengan mempertahankan kelestarian lingkungan atau pragmatis dengan melihat realitas depan mata yang menunjukkan jatuhnya perekonomian hingga kemiskinan.Â
Sementara itu menempatkan keadilan diantara ekonomi dan ekologi sekilas terdengar tidak masuk akal. Hal ini dikarenakan adanya dalil dari ekonomi tradisional yang berfokus pada pengeluaran ekonomi saja atau transaksi antar pembeli dan penjual. Pola ekonomi tradisional tersebut menyebabkan adanya kesalahpahaman pengertian antara ekonomi dan lingkungan yang tidak dapat berjalan secara bersamaan di mana artinya mendapatkan salah satu berarti harus merelakan yang lain.Â
Untuk mengoreksi kesalahpahaman tersebut maka pada tahun 1987 terdapat sebuah istilah yang diperkenalkan yaitu Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengajak kita untuk melihat dari perspektif yang lebih luas melalui keterkaitan antara tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial yang harus dicapai secara bersama-sama.
Elim Salim, menyebutkan konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam serta sumber daya manusia dengan menyerasikan keduanya dalam pembangun. Keselarasan hasil yang diberikan ekologi akan tercapai bila hakekat keadilan yang diterima itu seimbang dengan apa yang diambil.Â
Hakekat keadilan ekologis yang tereduksi akibat disahkannya UU Cipta Kerja mengakibatkan konsep pembangunan berkelanjutan atau suistainable development yang telah disepakati dalam Suistainable Development Goals (SDGs) seolah tertinggal jauh. Penegakkan dalam sistem hukum lingkungan memerlukan salah satu unsur penegakkan hukum yaitu, keadilan.Â