Mengapa pola pikir ini muncul?
Pemikiran bahwa kita tidak pernah merasa cukup dapat disebabkan oleh beberapa aspek, beberapa diantaranya mungkin sudah menetap di dalam diri tanpa kita sadari:
1. Negativity bias
Sejak evolusi, otak manusia dirancang untuk memprioritaskan hal-hal negatif sebagai respons terhadap ancaman. Mekanisme ini penting untuk pertahanan diri dikarenakan otak kita lebih peka terhadap sinyal bahaya, termasuk emosi dan pengalaman negatif. Situasi ini biasa disebut dengan negativity bias. Menurut penelitian oleh John Cacioppo dalam artikel Psychology Today, hal negatif memiliki dampak lebih kuat dibandingkan hal positif karena otak akan menganggapnya lebih mendesak. Akibatnya, kita cenderung memusatkan perhatian pada kekurangan dibandingkan dengan kelebihan yang kita miliki.
2. Perfectionism
Perfectionism sering digambarkan sebagai upaya untuk mampu mencapai standar yang sangat tinggi. Namun, dibalik ambisi tersebut tersembunyi ketidakpuasan dan tekanan besar yang seringkali tidak disadari. Saat ekspektasi tersebut tidak tercapai, kita menjadi terlalu keras pada diri sendiri dan merasa tidak cukup baik. Menurut penelitian yang disampaikan oleh Kocian dari UW Medicine, perfeksionisme biasanya muncul karena pola pikir yang terus terfokus pada kekurangan diri dan kegagalan sehingga menciptakan rasa tidak pernah cukup.
3. Hedonic Treadmill
Hedonic treadmill merupakan suatu keadaan dimana kepuasan terhadap sesuatu memudar dengan cepat dan tergantikan oleh keinginan baru untuk terus mengejar hal-hal lain. Misalnya, ketika seseorang telah meraih suatu penghargaan, kebahagiaan yang dirasakan akan terasa sementara. Setelah itu, ia akan beradaptasi pada target yang baru dan merasa harus mengejar lebih banyak untuk mendapatkan kebahagiaan. Kondisi ini membuat seseorang terjebak dalam “treadmill” yang menciptakan lingkaran tanpa akhir. Seseorang akan terus merasa kekurangan dan mencari lebih banyak kekayaan, status, kekuasaan, atau sumber kepuasan eksternal lain meski sebenarnya ia telah memiliki banyak hal.
4. Social Comparison
Social comparison adalah proses membandingkan kemampuan, pendapat atau sifat kita dengan orang lain. Di era digital, perasaan ini lebih kerap timbul karena maraknya penggunaan media sosial. Tak dipungkiri kita sering terjebak dalam membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat lebih sukses dan bahagia, tanpa menyadari bahwa apa yang kita lihat hanyalah potongan kecil dari hidup mereka.
Apa Dampaknya bagi Hidup Kita?
Fokus berlebihan pada kekurangan dan hal negatif bisa membuat hidup terasa berat tanpa alasan yang jelas. Kita mulai meragukan kemampuan diri sendiri dan merasa apa pun yang dilakukan tidak pernah cukup. Padahal, jika kita melihat hidup dari sudut pandang yang lebih luas, mungkin kita sudah memiliki banyak hal untuk disyukuri. Terlebih lagi apabila pola pikir ini tidak segera diatasi, lambat laun dampaknya tidak hanya pada kelelahan emosional, tapi juga hubungan sosial, karier, produktivitas, bahkan kesehatan. Terlalu banyak memikirkan hal buruk dapat memicu stres berlebih, kecemasan, depresi, dan meluruhkan motivasi untuk mencapai tujuan. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi hambatan untuk kita dapat menikmati hidup dan mencapai potensi diri secara maksimal.
Bagaimana Cara Mengatasinya?
Tentunya, perasaan ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Dengan melakukan beberapa aktivitas dibawah ini, diharapkan dapat mengubah pola pikir Anda menjadi lebih baik:
1. Berbaik hati pada diri sendiri (Self-Compassion)
Daripada terus mengkritik kelemahan dan kekurangan diri sendiri, cobalah berbicara kepada diri Anda layaknya pada seorang sahabat. Akui upaya yang sudah Anda lakukan, hargai proses yang dijalani, terima segala kekurangan dan maafkan kesalahan yang sudah terjadi. Mulailah untuk menerima diri kita apa adanya.
2. Hindari membandingkan diri dengan orang lain terutama di media sosial
Apa yang Anda lihat di media sosial adalah versi terbaik dari kehidupan orang lain yang tidak selalu mencerminkan kenyataan. Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan memperburuk keadaan. Fokuslah pada perkembangan diri dan pencapaian Anda sendiri. Pilih dan sesuaikan konten yang memberikan inspirasi dan motivasi secara bijak.
3. Mindfulness dan meditasi
Latihan mindfulness seperti meditasi terbukti efektif dalam mengurangi pikiran negatif berulang (ruminasi) tanpa perlu terhanyut didalamnya. Praktik ini dapat membantu otak untuk menangkap momen positif di tengah kesibukan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa meditasi secara rutin dapat mengurangi aktivitas amigdala, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab atas respons stres.
4. Reframe pikiran negatif dan bersyukur
Reframing adalah teknik mengubah cara pandang kita terhadap situasi tertentu. Misalnya, daripada berpikir, "Saya belum cukup baik", coba untuk mengubahnya menjadi, "Saya sedang dalam perjalanan menjadi versi terbaik diri saya”. Iringi dengan rutin menulis tiga hal yang Anda syukuri setiap hari. Kebiasaan ini dapat membantu melatih otak lebih fokus pada aspek positif dalam hidup.
Kesimpulan
Perasaan "tidak cukup" adalah bagian alami dari kehidupan. Meski demikian, bukan berarti kita harus terus menerus terjebak di dalamnya. Dengan memahami penyebab dan melatih kebiasaan positif, kita dapat lebih menghargai diri sendiri untuk terhindar dari pikiran negatif.
Ingat, 'cukup' bukanlah standar yang ditetapkan orang lain, tetapi definisi yang Anda buat sendiri. Jadi, daripada terus mencari kekurangan dan mengejar kesempurnaan, fokuslah pada apa yang sudah Anda miliki dan syukuri setiap momen kecil dalam hidup ini.
Referensi
Norris, C. J. (2019). The negativity bias, revisited: Evidence from neuroscience measures and an individual differences approach. Social Neuroscience, 16(1), 68–82.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H