"Jadi budak korporat kayaknya seru deh, apalagi dengan ke-hectic-annya"
"Seru banget kerja duduk depan komputer, terus nanti break bisa ambil cemilan sepuasnya,"
"Pasti asik kerja kantoran, sok sok-an sibuk dari Senin sampai Jumat, terus weekend nya dibuat healing deh,"
Kalian pernah terlintas pikiran-pikiran tersebut?
Jika iya, berarti kita sama!
Kerja kantoran masih memiliki stigma yang baik di masyarakat, seperti kerjaan yang nggak terlalu melelahkan, menyenangkan, bahkan gajinya yang terbilang sudah pasti. Sebenarnya, stigma tersebut nggak ada salahnya, tapi adanya stigma tersebut membuat para gen Z pada khususnya yang berbondong-bondong mengejar title sebagai pekerja kantoran.
Namun, pada realisasinya tidak semua pekerjaan itu menyenangkan. Semua pekerjaan pasti ada plus minusnya, termasuk pekerja kantoran. Oleh karena itu, muncullah istilah Bernama "Budak Korporat atau Budak Korporasi".
Apa itu Budak Korporat?
Budak korporat sendiri awalnya sebuah lelucon atau candaan anak muda yang merasa bahwa dirinya dieksploitasi oleh perusahaannya sendiri. Pada hakikatnya, hanya orang-orang itu sendiri yang tahu, apakah betul dirinya sudah menjadi budak perusahaan, dengan tingkat kontribusi yang melebihi batas wajar.
Apa aja sih Bentuk Eksploitasinya?
Ada beberapa bentuk eksploitasi yang aku dan teman-temanku juga ngerasain secara langsung, jadi ini riil tjuy :)
- Hari Libur Tetap Dihantui Oleh Pekerjaan
Alih-alih pengen healing di hari libur, eh malah di telpon atasan suruh beresin beberapa pekerjaan. Atau bahkan ada kejadian, kita juga harus tetap pergi ke kantor untuk menyelesaikan urusan-urusan kantor. - Gaji Nggak Sesuai dengan Beban Kerja
Gajinya sih udah pasti sesuai kontrak. Tapi, dengan tambahan ini itu di luar jam kerja, kadang nggak nambah gaji kita sama sekali. Ini rentan dialami khususnya sama para fresh graduate nih. Berbekal "noted, noted" doang, tapi gaji gak sepadan. - Susah Banget Minta Cuti
Disclaimer dulu ya, ini nggak semua perusahaan ya! Ada juga perusahan yang bener-bener mensejahterakan karyawannya. Tapi bagi yang perusahaannya nggak mau rugi nih, biasanya minta cuti itu susah, kecuali memang kejadian-kejadian tak terduga yang masih bisa ditoleransi. - Atasan yang Bikin Geleng-Geleng Kepala
Atasan yang suka semaunya sendiri nih yang kadang bikin kita geleng-geleng kepala. Rasanya nggak bisa sedikit mereka melihat pada karyawannya nyantai. Tugas A belum kelar, ditambah tugas B, C, D. Mau nolak takut ngaruh ke gaji, nggak ditolak nge dumel-dumel sendiri.
Gimana nih para budak korporat? Ada yang relate? Atau buat kalian yang bercita-cita jadi budak korporat, masih pengen jadi karyawan?
Lalu Mengapa Justru Budak Korporat Menjadi Impian Para Gen Z?
Menurut Melody Wilding seorang pelatih eksekutif dan pekerja sosial berlisensi mengatakan bahwa budak korporat mirip dengan workaholic atau gila kerja. Tapi budak kerja lebih ke seseorang yang memakai kesibukan itu sebagai sebuah lencana kehormatan. Mereka adalah orang yang membanggakan diri karena lembur, merasa menjadi orang yang mampu melakukan segalanya.
Mereka merasa bahwa menjadi budak korporat adalah orang yang paling produktif. Lisa Orbe, psikolog yang fokus menangani karier para profesional menilai budak korporat berpotensi mengarah pada sindrom penyemu atau impostor syndrome. Singkatnya sindrom ini menyebabkan seseorang menganggap bahwa dirinya istimewa dalam beberapa hal sehingga mencari validitas eksternal agar menjadi seorang yang spesial.
Apa yang Harus Kita Lakukan? Apakah Kita Nggak Perlu Jadi Pegawai Kantoran?
Kerja kantoran itu sama sekali nggak salah. Banyak orang diluar sana yang menginginkan posisi kita. Yang keliru adalah ketika kita ngerasa terbebani dengan apa yang diberikan perusahaan, sehingga berpengaruh juga pada kesehatan mental kita.
Jika kita selalu percaya diri bisa menyelesaikan setiap pekerjaan dan selalu memenuhi target, maka kita nggak akan merasa diperbudak perusahaan. Tunjukkan saja performa yang memang bagus dan berguna untuk kemajuan perusahaan. Siapa tahu setelahnya kita dianggap pantas memperoleh hak yang memang sewajarnya dapatkan, misalnya cuti, kenaikan gaji, atau dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.
Mulai buat lingkungan kerja yang positif. Ini bisa kita ciptakan dari hal-hal kecil, misalnya dengan mempraktikkan budaya work and life balance, atau membuat acara liburan dengan rekan kerja sekantor, atau merayakan waktu teman kerja ada yang ulang tahun, atau saat berhasil menyelesaikan proyek baru. Lingkungan kerja yang positif akan membuat semangat kerja yang tentunya positif juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H