Bermain ibaratkan membangun sebuah proyek hingga tahap penyelesainnya.
(anak bermain sama halnya dengan memulai sebuah peristiwa hingga tahap selesai. Bermain lego, permaianan lego di ambil dari atas meja kemudia di bongkar, anak bermain hingga bosa dan kemudian memilih permainan yang lainnya. Adik mengabil puzzle di dalam almari, puzzle tersebut akhirnya dibongkar dan adik pun bermaian hingga bosan, llau mencari permaianan yang lainnya lagi. Begitu seterusnya).Â
Pernahkan kalian para orang tua mengalami hal yang serupa?
Selintas mendengar kata BERMAIN,,,
Seketika juga terngiang dengan apa yang ada dalam pikiran anda?? Mungkin aja sama dengan apa yang saya pikirkan.
Benar, dari keseluruhan,, saya yang notabenya sebagai seorang yang sedang belajar penulis. Sebelum menulis artikel kali ini, saya mewawancarai sedemikian orang-orang yang ada di sekitar atau lingkungan saya. Salah satunya ialah adik saya yang beranjak berumur 15 tahuh (sudah besar ya). Okeh, memang target saya ialah bertanya kepada orang-orang yang sudah besar hehe...
Dari kebanyakan orang tersebut, berpendapat bahwa bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan, lepas dari berbagai masalah, atau bisa dibilang Refreshing otak. Ada juga yang bilang bahwa bermain merupakan tempat buat canda-tawa, riang gembira, dan lain sebagainya.
Tak ada yang salah dengan apa yang kalian katakana. Banyak juga yang berpendapat dari berbagai ahli atau filisuf lainnya. Salah satunya Menurut Mayke S. Tedjasaputra yang berpendapat bahwa bermain yang penting dan yang pelru ada didalam kegiatan bermain ialah rasa senang yang ditandai oleh tawa (Nugroho, 2005).
Jean Piaget juga menjelaskan bahwa bermain (play) merupakan tanggapan yang diulang-upang sekedar hanya untuk kesenngan fungsional.
Dalam dunia pendidikan tidak melarang bermain sejak dini. Tidak melarang untuk anak melalukan sesautu yang berkaitan denganperkembangan anak didiknya. Guru maupun orang tua ynag sudah berpengalaman. Apalagi ibu-ibu yang sekarang sudah pandai bermain Handphone.