Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Khilafah di Indonesia, Bisakah?

14 Mei 2016   20:09 Diperbarui: 4 April 2017   16:12 8298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin yakin bahwa revolusi Khilafah harus segera dikakukan di Indonesia. Bagi mereka, konsep Khilafah merupakan konsep yang sesuai dengan syariat Islam. Sementara itu konsep Republik yang kini dianut oleh Indonesia merupakan konsep thagut (sesuatu hal yang disembah selain Allah).

Menarik melihat bagaimana HTI menganggap bahwa Khilafah adalah sistem terbaik dan solusi atas segala permasalahan di Indonesia. Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan, konsep Khilafah semacam apa yang diinginkan HTI?

Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan Rasulullah dan para sahabatnya. Kekuasaan dipegang oleh seorang Khalifah secara absolut. Hal ini berarti fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipegang oleh seorang Khalifah. Memang sistem ini yang dipakai ketika zaman Rasul dulu. Namun orang-orang yang menjadi Khalifah merupakan orang-orang terpilih yang benar-benar memahami kitab Allah.

Tugas yang diemban seorang Khalifah sangatlah berat. Berjalan atau tidaknya keadilan di suatu wilayah bergantung di tangan seorang Khalifah. Oleh karena itu seorang Khalifah haruslah bijaksana, demokratis, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Ketika menjadi Khalifah, Ali bin Abi Thalib banyak mendapat kritikan dan bahkan serangan dari berbagai pihak karena prinsip keislamannya yang begitu kuat. Dua sahabat Ali, Thalhah dan Zubair, merupakan orang-orang yang membela Ali ketika mendapat berbagai kritikan dan serangan. Hingga pada suatu masa, Thalhah dan Zubair lelah menunggu karena Ali tak kunjung memberi mereka jabatan untuk membalas budi.

Semenjak Ali menegaskan bahwa tidak akan ada balas budi dalam bentuk jabatan kepada Thalhah dan Zubair, keduanya pun langsung berubah menjadi lawan Ali. Kemudian Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali agar bisa berangkat haji. Ali mengetahui bahwa mereka tidak akan berhaji, namun akan melakukan konsolidasi untuk nantinya berperang melawan Ali. Tapi toh tetap saja Ali memberikan izin kepada mereka berdua.

Secara logika politik, hal ini sungguh aneh. Ali memiliki kekuatan untuk melarang Thalhah dan Zubair pergi untuk memerangi dirinya. Jika ia melarang keduanya, maka tidak akan ada peperangan antara Ali dan kedua mantan sahabatnya tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan Ali.

Bagi Ali, mengkritik, mencaci, dan bahkan memerangi dirinya merupakan hak Thalhah dan Zubair sebagai warga negara. Jika Ali melarang keduanya untuk pergi, maka ia telah melakukan perbuatan tercela karena melarang dua orang warga negara menggunakan haknya. Sementara itu hak warga negara merupakan sesuatu yang ia lindungi dan pertahankan. Inilah bentuk kepemimpinan demokratis di tangan Ali.

Jika melihat dari kacamata politik, apa yang dilakukan Ali bukanlah sesuatu yang pandai. Jika ia mampu menjebloskan Thalhah dan Zubair ke penjara, maka tidak akan terjadi goncangan dan stabilitas pemerintahan akan tercipta. Meski begitu, kekuasaan politik bukanlah hal yang penting di mata Ali. Baginya ada hal yang lebih penting daripada sekedar empuknya kursi penguasa, yaitu menciptakan suatu peradaban Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Melihat sistem Khilafah dibawah kepemimpinan Ali memang sepertinya sistem ini akan mampu memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun sebagaimana yang tadi sudah dijelaskan, berjalan atau tidaknya keadilan dalam sistem Khilafah bergantung pada sosok seorang Khalifah.

Kini pertanyaan kembali muncul. Adakah seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan seperti Ali sehingga pantas kita jadikan seorang Khalifah?

Marilah kita kembali mengingat era Orde Baru. Di era tersebut, sistem Indonesia memang bukan Khilafah, namun Soeharto memegang kekuasaan absolut karena memimpin langsung lembaga eksekutif dan memiliki kekuataan untuk mengatur lembaga legislatif dan yudikatif. Akibatnya yang terjadi adalah kediktatoran. Lupakan saja izin untuk melawan pemerintahan seperti yang diberikan Ali, mengkritik rezimnya saja berpotensi kehilangan nyawa.

Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan absolut tidak bisa diberi ke sembarang orang. Tidak ada satu orang pun yang mampu memegang kekuasaan absolut di era saat ini. Sebab kekuasaan semacam ini justru akan menjerumuskan seorang pemimpin dan membuatnya memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dirinya sendiri, hal ini justru akan makin menjauhkan kita dari syariat Islam yang menjunjung tinggi keadilan.

Sesungguhnya sistem yang kini dianut oleh Indonesia jauh lebih baik untuk era saat ini. Pemimpin merupakan orang biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, rakyat yang memilihnya memiliki hak untuk mengkritik pemimpin tersebut tanpa takut kehilangan apapun. Kekuasaan pemimpin di Indonesia setelah reformasi tidak absolut sehingga ketika sang pemimpin melakukan kesalahan dan merugikan rakyat Indonesia, bukan tidak mungkin pemimpin tersebut dijatuhkan melalui mekanisme hukum yang ada.Dengan sistem ini, pemimpin dipaksa menjalankan kehendak rakyat dan nilai-nilai keadilan yang sesuai dengan syariat Islam lebih memungkinkan untuk terealisasi.  

Tsamara Amany

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun