Mohon tunggu...
Tsabita AmaliaHaq
Tsabita AmaliaHaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

"Penjelajah". Mungkin kata tersebut yang bisa menggambarkan diri saya. Berjelajah waktu, tempat, situasi, dan moment untuk bisa mengisi detik waktu yang ada dalam diri saya. Menyukai berkuliner, menerjang tantangan, dan menulis kalimat hati dalam kata yang terbaca. Semoga hasil buah bincang dalam pikir ini dapat membrikan manfaat juga berkah. Enjoy reading!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Foya-Foya Berkedok "Self Reward", Penjajahan Sosial dalam Bentuk "Impulsive Buying"

10 Juni 2022   12:53 Diperbarui: 21 Juni 2022   00:45 2121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belanja dengan gaji pertama. (Dok. Shutterstock/Luis Molinero) 

Situasi pandemi membuat terjadinya perubahan di berbagai aspek; sosial, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. 

Adanya pandemi menuntut kita untuk melakukan segala sesuatu di rumah saja mulai dari olahraga, berbelanja, bekerja, bahkan menempuh pendidikanpun harus dilakukan di rumah saja. 

Situasi yang mencekam seperti ini mau tidak mau menuntut kita untuk memutar otak dan membiasakan diri agar terbiasa melakukan segala sesuatu di rumah saja. 

Bukankah kondisi seperti ini memberikan kemudahan untuk kita menghemat dan menjadi seseorang yang minimalis? Benarkah demikian?

Tindakan "impulsive buying" mungkin terdengar asing, tetapi sekarang sudah merebak dimana-mana. Impulsive buying atau disebut juga perilaku konsumtif adalah salah satu perubahan karena adanya pandemi covid-19 yang merupakan dampak pada aspek sosial. 

Menurut Kharis (2011) perilaku konsumtif terjadi ketika seseorang tidak merencanakan suatu hal dalam aktivitas belanjanya, sehingga menimbulkan keinginan konsumen yang berubah-ubah dan terjadilah dorongan untuk berfoya-foya. 

Timbulnya tindakan impulsive buying ini semakin mencekik ketika para penjual menawarkan produk-produk dagangannya dengan harga yang sangat terjangkau ditambah lagi para penjual memberikan imbuhan diskon dan juga voucher cashback kepada konsumen. 

Hal ini dapat mengikat hati customers untuk membeli produk yang ditawarkan tersebut tanpa mempertimbangkan lebih jauh apakah produk tersebut benar-benar ia butuhkan atau tidak, sehingga ia membeli hanya untuk memenuhi rasa keinginan dan mencapai tingkat kepuaasan dalam dirinya. 

Apalagi karena situasi pandemi ini para penjual semakin mempermudah calon pembeli untuk berbelanja dengan memberikan pelayanan belanja online di e-commers. 

Melalui layanan belanja onlne ini masyarakat sebagai konsumen menjadi dimanjakan adanya kemudahan untuk melakukan transaksi jual beli. Hal tersebut mempermudah publik untuk melakukan kegiatan jual beli cukup hanya di rumah saja tanpa perlu repot-repot untuk pergi ke suatu tempat.

Para konsumen tidak lagi bingung bagaimana berbelanja di situasi yang masih terkurung adanya pandemi ini. Mereka tinggal klik saja barang yang mereka akan beli, kemudian barang tersebut akan diantarkan di rumah orang yang dituju.

Keberadaan e-commerce mencukupi apa saja kebutuhan selama kondisi yang menuntut untuk beraktivitas di rumah saja "berdiam di rumah" menjadi simple, terjamin, cepat, dan mudah. 

Namun, kondisi seperti ini secara tidak langsung membuat indivudu ataupun kelompok menjadi "gelap mata" yang berujung semakin beringas dalam membeli segala sesuatu.

Timbulnya impulsive buying ini karena adanya perubahan kebudayaan dan juga sosial. Hal tersebut didukung oleh pendapat Kotler dalam Suhari (2008) menyatakan bahwa pengaruh perilaku konsumtif karena adanya perubahan kebudayaan, sosial, personal, dan juga psikologi. 

Dari sini jelas bahwa keadaan yang timbul karena pandemi yang tak kunjung mereda mengakibatkan tindakan konsumtif itu sendiri.

Selain itu, orang-orang pada zaman sekarang lebih mudah terpengaruh oleh orang lain. Seperti ketika seseorang di media social memakai barang tertentu yang terlihat bagus, kemudian seseorang tiba-tiba ingin membeli barang yang sama, padahal barang tersebut belum tentu ia butuhkan. 

Fenomena semacam ini kerap kali terjadi di lingkungan digital seperti media social karena adanya promosi suatu brand atau produk yang dilakukan oleh influencer.

Berkembangnya media informasi juga sangat mempengaruhi karena melalui media ini barang mudah untuk dipromosikan sehingga menarik minat publik untuk membeli barang tersebut tanpa memperhatikan produk itu benar-benar ia butuhkan atau tidak.

Sebenarnya membeli barang-barang sesuai trend ataupun selalu membeli barang-barang yang diinginkan secara berlebihan bukan  malah terlihat kekinian, tetapi termasuk bentuk ketidakabnormalan seseorang dalam mengkonsumsi atau membelanjakan sesuatu, dimana hal tersebut harus dihindari dan tentunya tidak baik untuk diri sendiri kedepannya. 

Namun, realitanya masyarakat di luar sana banyak sekali yang bertindak demikian agar terlihat "kekininian" dan menjadi trendsetter masyarakat luas. 

Tidak dipungkiri lagi seseorang bahkan sampai berhutang sana sini untuk dapat mengikuti arus perkembangan zaman dengan membeli berbagai produk demi menutupi gaya hidupnya bak "crazy rich". 

Mereka gelap mata dan terjebak dalam situasi dengan gaya hidup hedon serta materilialis yang menjadikan mereka melakukan segala cara agar tetap terlihat kekinian atau tidak tertinggal arus perkembangan yang ada.

Di sisi lain adanya perilaku konsumtif atau bahasa kerennya yaitu impulsive buying secara ekonomi dapat mendorong gerakan ekonomi di Indonesia.

Memberikan tambahan pajak, memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, menyediakan wadah baru bagi para produsen suatu brand ataupun produk, serta memberikan peluang yang cukup besar untuk membuka berbagai usaha baru, dan juga mengembangkan usaha-usaha baru.

Jika ditilik lebih jauh para pengusaha e-commerce tidak ada salahnya melakukan tawaran-tawaran yang yang menarik dan menggunakan jasa influencer di berbagai platform untuk mempromosikan produk yang mereka usung. 

Karena pada sejatinya itu adalah hak mereka dalam aktivitas untuk meningkatkan pemasaran produk mereka agar konsumen tertarik akan produk tersebut. Di sisi lain, konsumen merupakan bagian yang krusial demi berjalannya suatu bisnis agar terus melejit.

Namun, di sini yang kurang tepat adalah tindakan dari para konsumen itu sendiri. Para konsumen tidak seharusnya membelanjakan sesuatu secara berlebihan apalagi barang tersebut tidak memiliki manfaat yang berarti bagi dirinya dan terkesan hedon. 

Sebagai konsumen yang baik tentunya harus memiliki sikap yang bijaksana dalam membeli sesuatu agar tidak terjerumus dalam tindakan impulsive buying. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:

1. Membuat skala prioritas barang yang akan dibeli. Atau dengan cara membuat rencana belanja.

2. Menentukan kebutuhan dengan cara menimbang-nimbang barang manakah yang benar-benar ia butuhkan dan barang manakah yang ia tidak butuhkan atau hanya sekedar mengikuti trend saja, tetapi tidak memiliki manfaat yang berarti.

3. Menyaring iklan ataupun bentuk promosi suatu produk, sehingga tidak tergiur begitu saja dengan iklan yang ditayangkan.

Dimulai dengan tindakan-tindakan ringan untuk membatasi diri dari mindset "konsumtif" kemudian mindset tersebut diganti menjadi "produktif" serta menahan diri untuk tidak berfoya-foya berkedok "self reward". 

Dari sini penjajahan sosial dalam bentuk tindakan impulsive buying dapat diminimalisir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun