Mohon tunggu...
Tsabit Abiyyu
Tsabit Abiyyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Allah Maha Esa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pencatatan Perkawinan

21 Februari 2024   21:23 Diperbarui: 21 Februari 2024   21:56 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Hukum Perkawinan Islam pada Masa Sebelum Kemerdekaan

1. Masa Penjajahan Belanda

            Di masa penjajahan Belanda hukum perkawinan yang berlaku adalah Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris menurut Islam.4 Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh VOC. Atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C. Hasselaar (1757-1765) dibuatlah kitab TjicebonsheRechtsboek.

2. Masa Penjajahan Jepang

            Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia, dan digantikan oleh Jepang. Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya. Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut "Sooryoo Hooim" dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut "kaikyoo kootoohoin".

Sejarah Hukum Perkawinan Islam pada Masa Setelah Kemerdekaan Sebelum Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

            Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Undang-undang ini ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7 pasal, yang isi ringkasnya sebagai berikut:

a) Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya diantaranya; Nikah yang dilakukan umat Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh menteri agam, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, yang berhak mengadakan pengawasan Nikah, Talak dan Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri Agama, bila PPN berhalangan dilakukan petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak dan Rujuk ditetapkan Menteri Agama.

b) Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN membuat catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan catatan kepada yang berkepentingan.

c) Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sanksi orang yang melakukan nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan PPN, sanksi orang yang melakukan Nikah, Talak dan Rujuk padahal bukan petugas.

d) Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran.

e) Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan undang-undang ditetapkan oleh Menteri Agama.

f) Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura.

g) Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk Jawa dan Madura.

            Undang-undang ini pertama-tama hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, yaitu mulai 1 Februari 1947. Baru sesudah tahun 1954 undang-undang ini diberlakukan secara menyeluruh di Indonesia. Yaitu melalui Undang-undang no. 32 tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.

            Undang-undang ini disahkan pada tanggal 26 Oktober 1954 oleh Presiden Soekarno dan terdiri dari 3 pasal, yang secara garis besar sebagai berikut:

a) Pasal 1, Undang-Undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.

b) Pasal 1 A, Perkataan Biskal-gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam pasal 3 ayat 5 Undang-undang RI No. 22 Tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negeri. 

c) Pasal 2, Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang tersebut dalam pasal 1 undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.

d) Pasal 3, Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Mengapa pencatatan perkawinan diperlukan? 

            Terkait makna perkawinan, perlu dipahami bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap manusia. Sesuatu yang penting biasanya akan diabadikan melalui tulisan atau gambar sebagai bukti atas diadakannya peristiwa tersebut. Salah satu cara membuktikan adanya perkawinan yaitu Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan perkawinan sangat penting, sebab buku nikah yang diperoleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu, baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah, mereka (suami-isteri) dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. 

            Perkawinan tidak tercatat memberikan gambaran bahwa tidak adanya bukti yang menjelaskan adanya suatu perkawinan berupa akta nikah, maka tidak ada pula kepastian hukum di dalam perkawinan tersebut. Sehingga, suami yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan dapat urnuk tidak mengakui anak dari istrinya itu. Hal ini temtu berdampak pada psikologis dan hak seorang anak. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum, pendidikan, ataupun kesejahteraan sosial.

Makna Filosofis, Sosiologis, Religius, dan Yuridis Pencatatan Perkawinan

a) Makna filosofis: Pencatatan perkawinan adalah pengamatan atau nalar yang menjelaskan bahwa undang-undang yang dibuat memperhatikan pandangan hidup, hati nurani, dan cita-cita hukum yang mengandung suasana mistik, serta falsafah pancasila dan pembukaan UUD 1945.

b) Makna sosiologis: Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh satu orang tentang peristiwa yang terjadi, yang sangat penting bagi kedua mempelai karena akta nikah yang mereka peroleh merupakan bukti nyata sahnya perkawinan tersebut, baik secara agama maupun secara nasional. Dengan adanya akta nikah, mereka juga dapat mengesahkan keturunan yang sah dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-hak ahli waris.

c) Makna religious: Pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif yang dilakukan oleh instansi yang berwenang (Kantor Agama bagi yang beragama Islam dan Dinas Catatan Sipil bagi yang non muslim) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditandai dengan diterbitkannya akta nikah atau buku nikah bagi pengantin. Pencatatan perkawinan ini pada dasarnya merupakan ketentuan hukum negara semata, sedangkan dalam islam tidak diwajibkan mencatatkan perkawinan, namun alangkah lebih baiknya dicatatkan sebagai alat bukti sahnya suatu perkawinan tersebut.

d) Makna yuridis: Pencatatan perkawinan adalah salah satu prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumberkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Prinsip ini terkait dengan dan menentukan kesahan suatu perkawinan, artinya selain mengikuti ketentuan masing-masing hukum agamanya atau kepercayaan agamanya, juga sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan mencakup tiga peristiwa dalam perkawinan, yaitu perkawinan, perceraian, dan rujuk.

Pandangan Kelompok mengenai Pentingnya Pencatatan Perkawinan, dan Dampak yang Terjadi bila Pernikahan tidak Dicatatkan (Sosiologis, Religius, dan Yuridis)

            Menurut hemat kami pencatatan perkawinan penting untuk dilakukan mengingat dalam hal ini juga diatur dalam Undang-Undang no.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 bahwasnay pencatatan perkawinan merupakan bagian intergral yang menentukan kesahan suatu perkawinan dimata negara, pencatatan perkawinan juga diperlukan agar perkawinan tersebut memndapat kepastian hukum yang menjamin perlindungan bagi pihak' yang terlibat di dalam perkawinan tersebut, maka apabila pasangan suami istri tidak melakukan pencatatan perkawinan maka negara tidak bisa menjamin kepastian hukum, selain itu perkawinan yang tidak dicatatkan tidak akan memiliki bukti yang autentik sebagai bentuk dari kepastian hukum. 

            Dari segi sosiologis akibat dari perkawinan yang tidak di catatkan  adalah tidak adanya pengakuan dr masyarakat terkait adanya perkawinan tsb, yang kemudian dapat menimbulkan cemoohan dr masyarakat kepada pihak' yang terlibat dalam perkawinan tersebut. 

            Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan menurut agama (religious), pada dasarmya perkawinan itu sah apibla memnuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan akan tetapi dapat menyebabkan permasalahan di kemudian hari, teruma bagi pihak wanita dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

            Secara yuridis, perkawinanyang tidak di catatkan akan menimbulkan akibat hukum, salah satunya status kelahiran anak dan juga dalam masalah waris, anak yang lahir dari pernikahan ini secara agama di anggap sah tetapi secara hukum tidak sah sebab perkawinan orangtuanya tidak tercatat  dan diakui oleh negara, maka anak ini secara hukum negara akan dianggap memiliki hubungan dengan ibunya saja.

Sumber:

Soejono dan Abdurahman, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Abdul Manan, 2006 Aneka Masalah hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, h 20

https://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/alhukuma/article/download/246/236

Muhammad Tsabit (222121134)

Muhammad Ainul (222121155)

Hanif Ula Mas'ud (222121122)

Umi Nasihatin (222121151)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun