Di langit pertama ini, Rosul bertemu dengan Nabi Adam. Lalu di langit ke dua beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan Isa. Kemudian di langit ke tiga bertemu dengan Nabi Yusuf. Langit ke empat dengan Nabi Idris. Langit ke lima dengan Nabi Harun. Langit ke enam bertemu Musa. Di langit ke tujuh beliau bertemu dengan Ibrahim. Di tempat itu pula Rosul melihat Malaikat maut Izrail, yang sedang mencatat nama-nama mereka yang lahir dan yang mati dalam buku besar.
Dalam sekejab, ia sudah berada di hadapan ‘Arys untuk menghadap Allah SWT., dengan jarak sepajang dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi. Ia sudah dapat melihat Allah dengan persepsinya, diluar jangkauan akal manusia yang dapat menangkapnya. Seketika itu juga nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya. Rasa tenang dan damai yang membawa kenikmatan. Selanjutnya Allah SWT., mewahyukan kepada Rosul agar umatnya melaksanakan kewajiban salat sebanyak lima puluh kali.
Ketika Rosul kembali turun dari langit, beliau bertemu Musa dan Musa meminta agar Muhammad kembali meminta kepada Allah untuk mengurangi jumlah salat, karena umatnya tak akan mampu melakukannya. Rosulpun mengikuti saran dari Musa, hingga jumlah salat dikurangi sebanyak empat puluh. Namun Musa menganggap hal itu masih diluar kemampuan manusia, hingga nabi berkali-kali meminta kepada Allah untuk dikurangi sampai akhirnya menjadi lima waktu.
Perjalanan Rosullulah dalam peristiwa Isra Mi’raj lebih dimaknai sebagai perjalanan antar dimensi. Hal ini karena ada fenomena fisik yang dikenal dengan dimensi ruang dan waktu serta ada juga fenomena non fisik di luar dimensi ruang dan waktu.
Dimensi merupakan suatu kerangka acuan yang menggambarkan alam yang berupa garis dengan gerak maju atau mundur, jauh/dekat, masa lalu/masa depan, lama/sebentar, besar/kecil. Dalam memahami perjalanan ini, mekanismenya diluar kemampuan sains. Rosullulah bersama dengan Jibril keluar dari dimensi ruang dan waktu yang membatasi pola pikir manusia pada jarak dan waktu.
Peristiwa Isra Mi’raj tidak bisa dianalisa dengan teori relativitas yang beranggapan Rosullulah berjalan dengan kecepatan cahaya bersama Buraq.. Sebab, jika menggunakan teori relativitas, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Berdasarkan teori tersebut, pada kerangka yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya tercatat menjadi lebih lambat.
Dengan pengertian, manusia yang berjalan mendekati kecepatan cahaya akan merasa lebih muda serta waktu yang dialaminya terasa lebih singkat. Dibandingkan dengan orang yang ditinggalkannya.
Gambaran logika sains dalam perjalanan Rosullulah sebagai perjalanan antardimensi, merupakan upaya untuk menerangkan jika Isra Mi’raj memang benar terjadi dan dilakukan bukan hanya sekedar mimpi atau perjalanan dengan ruh, namun juga beserta fisiknya.
Walaupun peristiwa ini tidak bisa dimungkinkan secara eksprimen, namun konsep dimensi fisik yang dikenal dalam ruang dan waktu yang dikenal dalam sains, dapat menguatkan aqidah kita tanpa harus berasumsi berdasarkan sains yang semu, sebab ‘ilm dan qudrat Allah SWT., dapat meliputi dan menjangkau segala sesuatu.