Aku kesal, aku jengkel. Aku tak suka di paksa-paksa. Mami Sarah seharusnya sudah tahu hal itu. Ia sudah mengenalku cukup lama. Kalau aku sudah bilang tidak, itu artinya aku tidak mau. Apapun alasannya aku tak akan pernah mau. Begitulah aku. Tapi, mami Sarah terus menerus menggedor kamarku. Dengan sangat terpaksa, ku buka pintu kamar.
“Mamiiii…Aku kan udah bilang aku gak ma…” Suaraku terhenti oleh sesosok pria yang berdiri di hadapanku. Mami Sarah tersenyum, dan kemudian berlalu.
Pria ini sangat ganteng, wajahnya hampir mirip dengan Tora Sudiro, hanya saja badannya tidak sekekar Aktor film yang badannya penuh dengan tatto tersebut. Kulitnya putih, badannya tinggi. Penampilannya sungguh rapi, penampilan khas eksekutif muda. Memakai kemeja lengan panjang yang di padukan dengan celana hitam berbahan kain. Sepatunya terbuat dari kulit dan bermerek. Di lengan kirinya terdapat sebuah jam berwarna silver dengan motif emas buatan Swiss. Tangan kanannya memegang sebuah ponsel terbaru dan canggih. Ponsel berlambang buah apel. Badannya sungguh wangi, bukan farfum murahan pastinya. Aku sungguh yakin, tidak ada satu perempuanpun yang mampu menolaknya. Setiap perempuan pasti akan bertekuk lutut di hadapannya. Dia tersenyum melihatku. Senyuman yang sangat indah, senyuman yang selama ini aku rindukan. Senyuman yang selama ini telah hilang dari hidupku.
“Aku sudah tidak terima tamu lagi, aku mau pulang. Aku sedang tidak enak badan.” Aku berkata kepada pria itu. Suaraku menjadi parau, berat dan bergetar. Ada air mata yang sedang berlomba untuk segera keluar dari pelupuk mataku. Tapi aku menahannya.
“Aku hanya ingin bicara Mir…” Jawab pria itu sambil tersenyum.
“Mau bicara apa? Aku tak punya waktu..” Jawabku ketus.
“Sebentar saja Mir, 10 menit saja. Aku mau bicara tentang kita Mir..”
Aku terdiam sejenak, dadaku langsung terasa sesak. Inikah hal yang aku takutkan terjadi? Inikah yang sejak tadi membuat perasaanku tidak enak? Air mata yang sedari tadi memang memaksa ingin keluar, semakin mendesak mataku untuk memberi jalan keluar. Tapi otakku masih memerintahkan untuk tidak memberikan jalan dahulu. Aku harus bisa menahannya.
“Masuk..!” kataku. Kupersilakan pria itu untuk masuk ke dalam kamarku yang sempit dan kotor. Hanya ada kipas angin kecil, sebuah cermin yang kacanya sudah retak dan kasur kecil berbahan kapuk yang sangat jauh dari nyaman.
Pria itupun masuk kedalam kamar yang di sekat menggunakan triplex. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, matanya memperhatikan kondisi kamar tempat para pria hidung belang melampiaskan nafsunya padaku. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak pernah memasuki tempat seperti ini. Aku maklum, aku sungguh maklum. Bagi pria seperti dia, masuk ke tempat seperti ini mungkin menjadi hal yang sangat tabu dan menjijikkan.
“Ada apa? Gak suka ya sama kamarnya? Kalau gak suka ya silakan pergi..!” Ujarku.