Apakah emosi negatif ditingkatkan atau dilepaskan? Kenapa?
Oleh: Try Gunawan Zebua
Gunungsitoli, Senin, 24 April 2023
Emosi merupakan bukan suatu hal atau produk yang baru dan sama sekali baru. Sebelum saya menulis ini pun sudah begitu banyak yang telah mengatakannya, menuliskan menjadi sebuah buku dan bahkan melakukan penelitian terkait hal tersebut. Bahkan ada yang menyebutkan emosi tersebut menjadi salah satu jenis kecerdasan, dibandingkan dari sekian banyak jenis kecerdasan seperti kecerdasan matematika, kecerdasan musik, kecerdasan olahraga, dan berbagai kecerdasan yang lain. Kecerdasan yang kaitannya dengan sebuah emosi, disebut sebagai kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional berdasarkan berbagai penelitian, ternyata sangat menentukan kesuksesan atau keberhasilan dari seseorang. Semakin seseorang bisa menguasai, mengendalikan dan mengarahkan suatu emosi, maka kemungkinan, seseorang itu cerdas, lebih baik dan cenderung menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Bahkan jumlah persentasinya lebih dari 50%, menentukan tingkat keberhasilan seseorang, dibandingkan dengan jenis kecerdasan yang lain.
Bahkan matematika pun, atau dengan kata lain kecerdasan matematika yang dianggap paling menentukan kesuksesan seseorang ternyata tidak juga. Saya tidak mengatakan kecerdasan matematika tidak baik, apalagi kecerdasan yang lainnya, semua penting dan ada bagian yang perlu kita ambil sebenarnya, tapi tidak semua. Malah lebih baik jika semua kecerdasan, paling tidak yang paling penting bagi kita dalam menjalani kehidupan lebih baik, dengan istilah lain adalah menciptakan sebuah keseimbangan.
Dengan seseorang dapat mengetahui seperti apa dan bagaimana emosi itu, dia dapat mengendalikan pada dirinya sendiri jika berlebihan, bahkan dapat mengendalikan jika terlihat dari orang lain. Istilahnya dapat mengenai hati, dari hati dan ke hati.
Suasana atau kondisi yang tadinya agak terlihat panas, sebelum terjadi, dan bahkan hampir agak memanas, dapat dikendalikan dan bahkan dibuat dari kondisi panas menjadi dingin. Situasi apa pun saat rapat, kerja, belajar dan sebagainya itu dapat lebih nyaman, aman, terkendali dan kondusif. Bisa terjadi atau terciptanya sebuah kesepakatan dan mencapai target untuk kepentingan bersama-sama. Semua merasa setuju, kendatipun sebenarnya dari awal tidak setuju sama sekali.
Emosi tersebut ada berbagai jenis dan tergantung dari mana kita melihatnya. Jika, kita melihat dari segi jenis kelamin, maka ada itu emosi laki-laki dan emosi perempuan. Emosi laki-laki adalah emosi yang berasal dan terjadi oleh seorang laki-laki. Emosi perempuan adalah emosi yang berasal dan terjadi oleh seorang perempuan. Diantara laki-laki dan perempuan, jika di lihat sebagai hal berupa marah, maka dikatakan bahwa laki-laki lah yang cenderung menjadi jenis kelamin yang dominan (suka marah).
Hal tersebut dapat kita lihat, dimana orang yang cenderung lebih bersifat agresif dan emosional adalah seorang laki-laki. Mulai dari yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga katanya, mulai dari orang yang suka mengeluarkan berbagai hewan yang terlepas dari kebun binatang, siswa yang selalu maju di depan dan menjadi pelaku demonstrasi yang ada, dan bahkan juga orang-orang yang cenderung memukul dan membanting-banting sesuatu katanya.
Kalau perempuan katanya terlihat diam, tenang dan bahkan memendam sesuatu katanya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka adalah makhluk yang paling menderita dan di siksa katanya. Itu terlihat dari wanita yang adalah katanya penyabar, penenang, pendamai dan bahkan yang suka mengalah katanya. Apalagi waktu dulu tidak setara laki-laki dan perempuan, sampai bermunculan tokoh-tokoh kesetaraan perempuan dan laki-laki, kendatipun tidak dapat kita pungkiri dan bisa kita temukan dimana saja bahwasanya ada perempuan yang harusnya feminim menjadi tidak ada bedanya dengan seorang laki-laki.
Tidak segan dan berani memukuli seorang laki-laki yang bahkan terlihat galak, seram dan menakutkan. Selain, dari segi jenis kelamin, sebuah emosi dapat dilihat dari segi tingkatan usia. Dimana jika bayi disebut sebagai emosi bayi, jika remaja disebut sebagai remaja, emosi orangtua disebut sebagai emosi orangtua, hingga kepada generasi di atas sampai kakek dan nenek, dimana disebut sebagai emosi kakek dan emosi nenek, atau bisa juga disebut sebagai emosi lansia.
Bayi jika mewujudkan emosi bisa dalam bentuk menangis, teriak-teriak, dan bahkan bergerak-gerak tidak tenang. Remaja dalam mewujudkan emosinya biasanya dikatakan menggebu-gebu, memanas dan mengerikan. Karena remaja katanya masih dalam tahap perkembangan dan sedang mencari jati dirinya sebenarnya. Suka berpetualangan dan menerima segala jenis tantangan katanya.
Sedangkan orangtua dalam mewujudkan emosinya, apalagi yang dewasa dan mestinya bijaksana, dikatakan akan cenderung diam, menenangkan dan mendinginkan suasana. Sehingga jika orangtua disebut dengan istilah lainnya sebagai seseorang yang dewasa. Dewasa dimana dalam artian sudah punya anak, sudah menikah kendatipun belum punya anak, punya pekerjaan tetap dan bahkan lebih dari 50 tahunan katanya. Jika tidak sesuai dengan itu, maka katanya bukan dewasa atau masih anak-anak dan remaja.
Tapi, pada kenyataannya hal tersebut di lapangan malah terbalik. Malah yang seharusnya katanya orangtua, punya anak dan banyak makan asam garam katanya dalam kehidupan ini dibandingkan yang lain, tapi masih diragukan kedewasaannya. Sehingga jika ada orangtua dan mau kita katakan sebagai orang yang dewasa, kita malah disuruh pikir-pikir dulu.
Apalagi jika orangtua dikatakan sebagai seseorang yang bijaksana, dimana seharusnya semasa hidupnya sudah mengalami banyak tantangan dan masalah, sehingga seharusnya tahu mana yang baik atau buruk itu, apa keputusan yang terbaik bagi sesama dan menguntungkan bersama. Namun, katanya agak berat mengklaim orangtua adalah seorang yang dewasa dan bijaksana.
Terkadang ada yang sudah semestinya dewasa, bahkan seharusnya sudah punya cucu, malah tidak ada bedanya dengan bayi dan anak-anak katanya. Gak tahu sih apa benar dan bagaimana itu. Tapi, yang saya dengar tidak tentu seorang yang merupakan orangtua adalah seorang yang dewasa dan bahkan bijaksana. Tergantung katanya, malah ada yang mengatakan bahwa ada anak dan remaja yang bisa dikatakan dewasa dan bijaksana, dibandingkan di atasnya.
Nenek dan kakek dalam mewujudkan emosinya katanya cenderung netral, menenangkan dan menyejukkan situasi. Kendatipun katanya ada yang agak melenceng dari seharusnya. Tapi, pada kenyataan yang saya lihat bisa jadi benar dan di satu sisi bisa jadi salah. Mungkin bisa kita lihat langsung yang terjadi di sekeliling kita, termasuk juga dengan orangtua itu sendiri.
Selain dari segi jenis kelamin dan tingkatan usia, ada juga itu dari segi tingkat pendidikan. Hal tersebut dapat kita lihat dimana katanya jika semakin banyak ilmu seseorang dengan semakin meningkatnya pendidikan yang dia terima, bagaikan sebuah padi yang semakin berisi akan semakin menunduk katanya (filosofi padi).
Tapi pada kenyataannya ada yang bahkan tingkat pendidikannya belum tentu semua orang bisa dapatkan, malah melenceng dari kebenarannya. Kita tidak usah menyebut dan mengklaim siapapun, yang penting pasti ada karena sebuah teori pun pada kenyataannya saat dipraktekkan akan berbeda. Begitu juga, suatu temuan tertentu di suatu daerah, di suatu waktu, dan di tangan seseorang katanya benar dan berhasil, tetapi di daerah lain, waktu dan di tangan yang lain pasti paling tidak ada saja 1 (satu) dan bahkan beda sekali 100% dengan sebelumnya. Jadi, pada intinya sebenarnya tidak ada yang baku dan kaku, melainkan elastis dan mengalir saja seperti air.
Lalu, selain dari tiga jenis pembagian emosi tersebut, sebuah emosi juga dapat dibedakan jika dilihat dari segi dampak atau manfaat yang ditimbulkannya.
Emosi tersebut adalah emosi negatif dan positif, dimana emosi negatif adalah emosi yang berdampak buruk dan cenderung untuk di hindari, sedangkan emosi positif adalah emosi yang berdampak baik dan cenderung di inginkan oleh semua orang.
Emosi negatif, yang dikatakan negatif karena buruk dan merusak, misalnya marah, dendam, iri, cemburu, membunuh, mengejek, membuli, tekanan, tuntutan, khawatir, takut, dan lain-lain sebagainya. Dimana seharusnya berdampak buruk dan membahayakan, di satu sisi bisa berdampak baik kelihatannya, tapi sebaiknya seharusnya dihindari.
Kenapa emosi negatif harus dihindari, sedangkan biarpun dikatakan berdampak buruk dan merusak, bisa menjadi baik atau ada makna positif dibaliknya? Kenapa? Karena jika tidak ada tekanan katanya hidup tidak menggairahkan, tidak ada kekhawatiran katanya tidak ada alarm untuk berhati-hati, bahkan jika sepasang lawan jenis katanya jika tidak cemburu maka tidak normal katanya, dan lain-lain sebagainya, terus kenapa harus dihindari? Misalnya dalam hal tekanan, sebenarnya tekanan itu berbahaya, karena sifatnya yang menekan. Dimana-mana katanya kalau menekan ya tidak akan baik hasilnya ke depan.
Coba kita tekan sebuah balon yang penuh angin dan besar sekali, pasti akan menimbulkan ledakan. Orang yang bahkan tidak tahu saat kita tekan balon tersebut sampai menimbulkan ledakan, akan bisa jadi dan kemungkinan besar mengalami serangan jantung. Bagi kita biasa dan menyenangkan, tetapi bagi oranglain mematikan.
Apalagi jika tidak dapat dikendalikan dan pada tempat yang tidak tepat. Sedangkan jika kekhawatiran melanda, bisa baik jika diarahkan kepada hanya sekedar sebagai alarm saja. Tapi, jika orang yang bahkan keseringan bisa menimbulkan trauma, apalagi jika tidak dapat diatasi karena dianggap biasa, bisa jadi akan menyebabkan sesuatu yang disebut sebagai gila, atau masuk rumah sakit jiwa, bahkan sampai parahnya bisa berujung pada kegiatan mengkonsumsi narkoba, mabuk dan bahkan sampai meminum racun yang berujung pada yang disebut sebagai meninggal dunia.
Begitu juga kecemburuan yang dikatakan sebagai hal yang wajar, katanya baik karena harus. Itu katanya wajar sebagai bukti katanya cinta dan kesetiaan. Tetapi, apa haruskah cemburu itu? Apa mesti harus cemburu? Tanpa di tes pun seseorang yang begitu cinta, dapat dilihat saat dia ada di waktu bukan hanya senang saja, melainkan di saat sedih sekalipun, itu sebenarnya sudah cukup membuktikannya. Belum lagi di saat yang sebenarnya kita lapar dan tidak memberitahukannya, tetapi tiba-tiba pasangan datang tanpa di duga membawa sejumlah makanan apalagi yang begitu kita sukai, apakah itu juga masih kurang membuktikan. Begitu juga jika yang lain dia berani lawan dan terlihat ganas, tetapi kepada yang ini malah cenderung mengalah dan bisa diatur. Apakah masih kurang?
Dari situ saja masih kurang puas, sampai-sampai harus berkelahi dan membunuh oranglain kah untuk membuktikannya? Terlihat sepertinya orang tersebut tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya dari hal-hal yang bahkan bersifat kecil dan baik, malah dianggap masih kurang. Apakah orang tersebut sebenarnya kamu cintai, atau malah sebenarnya tidak, masih kurang puas, atau malah mau mencari oranglain sebenarnya. Masih tidak merasa aman, nyaman dan menyenangkan kah? Itu kayaknya terlihat konyol dan menyedihkan sekali. Tapi, kembali pada penilaian bagi setiap orang yang membacanya. Silahkan bebas berargumen, saya tidak akan melarang. Toh, negara kita adalah negara demokrasi.
Baiklah, masuk kita pada pembahasan selanjutnya, emosi positif yang dikatakan positif karena berdampak baik bagi siapapun. Emosi positif tersebut, misalnya tenang, santai, rileks, ketawa, senyum, bahagia, dan lain-lain sebagainya. Hal tersebut adalah hal yang baik dan menguntungkan dibandingkan dengan emosi negatif. Bahkan banyak kita lihat temuan dan tertulis di Alkitab orang Kristen, dimana hati kita yang senang, gembira, bahagia, dan sebagainya (emosi negatif) adalah sesuatu yang dapat menjadi obat dari berbagai dan bahkan semua jenis penyakit.
Hati yang gembira adalah obat yang paling manjur katanya. Jadi, jika kita bahagia, senang, tertawa, dan sebagainya (emosi positif), kalaupun kita sakit dan butuh pengobatan, maka itu sebenarnya tidak perlu. Tidak perlu lagi kita ke dokter, psikolog, psikiater, dan bahkan pada seoarng konselor sekalipun.
Asalkan itu benar-benar dan pasti itu adalah kita dalam keadaan senang, bahagia, gembira, dan sebagainya (emosi positif), bukan sebuah hanya sekedar perkataan atau hal yang dibuat-buat saja. Bahkan bisa jadi kita akan memiliki umur yang panjang, dan bahkan hal sekecil apapun, misalnya nasi yang kita makan hanya satu butir saja dan air yang kita minum hanya satu tetes saja, itu dapat dan mesti kita syukuri, di bandingkan mereka yang di tempat-tempat mewah dan berkelas bintang yang bahkan 100 bintang sekalipun jika ada, dimana belum tentu dia disana karena memang hal yang wajar dan hasil keringatnya sendiri dari usahanya.
Begitu juga biarpun kita sakit dan lalu datang berobat ke dokter, psikiater, psikolog, konselor, atau mungkin ada yang lain, saat mungkin bagian pendaftaran yang cemberut tidak ramah, kayak sedang marah-marah, waktu menunggu berobat yang lama sekali karena harus menunggu antrian, dan bahkan begitu nyampai dengan orang yang katanya memberikan solusi kepada kita, tetapi pengobatannya bagi kita biasa saja, maka bukannya sembuh atau berkurang sedikit, yang ada malah kita emosinya meningkat dan bahkan makin parah penyakit yang kita alami itu.
Begitu juga yang katanya sekalipun ahli penyembuh dan kesehatan, berpengalaman, bersertifikat dan jam terbang tinggi, bisa jadi dapat membuat kita tidak sembuh. Bisa jadi penyakit kita yang berupa jantung, dengan kita hanya senyum dan tertawa, apalagi dengan meminum air putih biasa, tapi hati kita sangat bersyukur dan bahagia, akan dapat menurunkan sedikit, dan bahkan sampai dapat menyembuhkan dengan biaya yang bahkan gratis.
Hal tersebut saya lihat langsung dari seorang dokter, yang menuliskan sebuah buku, dimana dia menceritakan bahwa dia bisa dikatakan adalah seorang dokter hebat, terbukti punya uang banyak dan dapat membeli apapun yang bahkan bagi kita tidak dapat kita beli, tetapi tetap saja dia dalam hatinya masih merasa kosong dan apapun yang dia dapatkan dan beli masih belum dapat memuaskan dia sama sekali. Tetapi begitu dia bertemu Tuhan Yesus, dia bahkan merasa terkejut, dimana saat ada yang berobat dan lalu dia bertanya kepada Yesus bagaimana cara mengobati pasiennya tersebut, malah hal aneh terjadi, dimana yang bahkan seharusnya harus masuk meja operasi sekalipun, dia hanya memberikan segelas air putih atau permen saja, malah bisa sembuh.
Padahal ilmu pengetahuannya banyak sekali, tapi dari hal yang kecil dan bahkan tidak terduga dapat menjadi penyembuh bagi yang sakit. Satu penyakit, misalnya penyakit jantung, yang seharusnya mesti dengan cara A, atau mungkin ada B, bisa jadi malah cara C yang tidak kita duga sama sekali. Mungkin bagi kita tidak mungkin, tapi itulah kenyataannya dan memang benar adanya. Bisa jadi kita sakit jantung, karena makanan, katanya, tetapi mungkin saja penyebabnya adalah pikiran, bukan makanan. Karena pikiran yang negatif dan buruk, dapat menyebabkan penyakit jantung yang katanya mungkin karena makanan dan minuman ini dan itu. Buku tersebut bisa kita temukan di berbagai media dan kalau saya sendiri menemukannya di aplikasi tokopedia. Judul buku dokter ajaib dan penulisnya Reginald Cherry, M.D. kalau tidak salah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa emosi negatif seharusnya atau semestinya dilepaskan, karena pada intinya adalah merusak, membahayakan, bahkan sampai bisa terjadi kematian jika parah. Demikian saja, semoga bermanfaat dan menjadi berkat. Ya'ahowu dan Syallom. Tuhan Yesus Memberkati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H