Yang sering digunakan juga bagi kaum ekstrimis dalam agama dan politik (yang mungkin beberapa adalah closet supporter teroris itu sendiri) adalah standar argumen 'mereka adalah saudara, kawan, dan lainnya.' masuk dalam argumen ini. Keluarga korban juga wajar mendapat penyakit argumen emosi seperti ini, seperti keluarga Imam Samudera dan Amrozi CS yang menanggap mereka tidak bersalah atau mungkin menganggap mereka martir (untuk yang martir saya mendapat info dari blogspot jadi saya belum tahu pasti).Â
Â
Dengan demikian, para orang yang berteriak HAM perlu memberikan argumen logis SECARA AKADEMIK DAN RASIONAL tentang bagaimana cara yang lebih lembut dapat secara optimal mencegah terorisme. Kita bisa berteriak HAM secara teori, tapi praktik tentu saja beda. Orang2 seperti Komnas HAM tentu sebagian besar hampir tidak pernah merasakan pertempuran di garis depan atau risiko yang memungkinkan saat operasi anti-terorisme. Â Hal ini membuat komnas HAM tampak 'naif'
Mungkin pembaca tertarik mengecek dilema seperti ini :
Anggap dalam satu kasus ada teroris yang bernama 'Budi' (saya gunakan nama pasaran, mohon yang bernama Budi tidak tersinggung) hanya dia yang tahu dimana operasi bom selanjutnya dilakukan, bom ini dapat berpotensi membunuh sekitar 500 orang dan tidak ada intelijen yang tahu. Dia memiliki psikologi yang kuat dan tidak mudah diinterogasi, sementara operasi bom ini sudah dijalankan. Salah satu cara yang mungkin dapat membuat dia mengaku adalah siksaan/torture. Kira-kira apa yang anda lakukan?
Saya membayangkan banyak orang yang berteriak 'HAM!!' ini mungkin akan ragu untuk menyiksa si 'Budi' atas nama HAM sementara waktu bukanlah teman di sini (orang USA bilang we don't have the luxury of time). Keraguan dan positive thinking dalam hal ini tentu akan membuat anda berpotensi melanggar HAM 500 orang jikalau memang dengan menyiksa satu orang psikopat yang memang tidak pantas mendapatkan simpati anda. Ini juga salah satu hirarki moral. Saya anti sekali dengan penyiksaan, dan menganggap hal ini adalah benar-benar opsi terakhir. Tapi naif kalau anda mengatakan tidak akan menyiksa teroris ini karena alasan klise seperti HAM.
Demikian pula dengan eksekusi teroris, meskipun tindakan terorisme Densus 88 dapat dipertanyakan, tapi 'penyiksaan' kecil seperti menutup wajah dan menginjak badannya di lantai adalah untuk menerapkan emotional damage agar willpower teroris itu berpotensi rapuh. Hal ini dapat membantu interogasi agar mereka dapat berkooperasi dengan polisi. Sekali lagi, ini memiliki potensi menyelamatkan nyawa ratusan orang tak bersalah. Eksekusi di tempat saya rasa dapat masuk ke dalam kategori ini, mengingat teroris yang nekad dan 'menyerah' dapat meledakkan bom yang dapat berpotensi melenyapkan satu tim sel anti-terorisme (dan secara tidak langsung membunuh atau menyiksa warga sekitar). Apa anda akan percaya begitu saja melihat psikopat nekad yang mengangkat tangan tiba-tiba? Tentu saja tidak.
Dengan demikian, kesimpulan dari tulisan ini adalah saya tidak dapat 100% setuju dengan konsep HAM yang diterapkan secara hitam putih dalam pencegahan terorisme. Tentu, teroris yang menyerah dan kooperatif dapat dihargai nyawanya, tapi untuk yang melawan (dan sering dikaitkan dengan HAM) untuk dihargai nyawanya adalah kewajiban bagi para pelopor HAM untuk memberikan argumentasi yang kuat dan membuktikan klaim mereka. Tentu saja reasoning dalam memikirkan HAM tidak boleh menggunakan bias ke teroris, dimana HAM mereka lebih dijunjung tinggi daripada HAM orang yang tidak bersalah seperti Densus 88 dan warga yang tidak berdosa.Â
Kecuali anda memang lebih percaya teroris daripada polisi -- ya, mungkin anda perlu pergi ke rumah sakit mental terdekat. Sebagai penutup, Burden of Proof untuk mengHAMkan teroris terletak pada teroris itu, bukan polisi atau warga yang harus percaya pada teroris.
24/01/2016
Â