Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Argumentasi HAM dalam Terorisme Rawan Sesat Pikir

24 Januari 2016   16:33 Diperbarui: 24 Januari 2016   16:33 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendengar revisi UU Terorisme, saya mendengar HAM lagi menjadi masalah dari revisi UU ini. Meskipun saya bukan orang hukum, saya sering melihat HAM menjadi alasan yang berujung pada banyak sesat pikir (logical fallacy). Mengingat Indonesia masih negara yang berkembang dan adat yang digunakan penuh dengan sikap Hitam-Putih pada penerapan moral, argumen HAM dalam menyusun RUU/UU terorisme dapat berpotensi menjadi bumerang bagi penegakan HAM tersebut. 

Konsep HAM dalam hukum adalah bukan sesuatu yang saya mengerti, jadi mohon orang hukum dapat menjabarkan hal ini lebih luas, tapi saya tahu dalam hukum ada hirarki moral. Ini bisa dijabarkan dengan contoh sbb :

"Membunuh itu dosa kecuali kalau kamu diserang tiba-tiba dan melakukannya tanpa tahu dan orang itu memang berniat membunuhmu" Dalam hal ini, membunuh tidaklah dosa atau melanggar hukum karena bela diri dan berpotensi menyelamatkan orang lain juga.

"Berbohong itu dosa dan salah, kecuali kepada tentara NAZI yang menanyakan apa ada orang Yahudi di gudang rumahmu."

Dalam hal ini, berbohong bukanlah salah paling tidak secara hukum, karena nyawa tentu lebih berharga dari kejujuran naif ke orang jahat.

Terkadang HAM yang dimaksud oleh kalangan yang 'radikal' menjabarkan HAM ini jika dipikirkan, malah membuat mereka secara tidak langsung melanggar 'HAM' itu sendiri, dengan membahayakan orang banyak. Berikut adalah argumen yang menjadi sesat pikir pencanang HAM yang sering dilakukan orang2 awam di Indonesia :

 

Kesesatan pikir yang mungkin dirasakan orang dalam pencegahan terorisme mayoritas adalah adalah Appeal to Emotion atau argumentasi berdasarkan emosi. Hal ini sama dengan contoh seperti berikut ;

"Aduh kasihan ya, bebek itu dibunuh kejam saat diambil dagingnya, maka saya tidak setuju orang menjual daging bebek"

"Aduh anjing itu lucu ya, maka saya nggak setuju daging anjing boleh dimakan/anjing tidak boleh dibunuh"

Argumentasi ini tidak hanya sesat pikir fatal, karena lebih berempati pada hal yang tidak membutuhkan itu dibandingkan memang orang yang butuh empati tersebut seperti korban bom dan penembakan. Tentu kalau ada orang yang membunuh orang banyak, kita harusnya lebih bisa berempati ke banyak orang yang memang pantas mendapatkan empati anda, anak-anak, ibu, saudara, ayah, dan lainnya adalah potensi korban tindak kejahatan terorisme ketimbang beberapa orang sosiopatik yang terbenam dalam delusi ideologi mereka.

Yang sering digunakan juga bagi kaum ekstrimis dalam agama dan politik (yang mungkin beberapa adalah closet supporter teroris itu sendiri) adalah standar argumen 'mereka adalah saudara, kawan, dan lainnya.' masuk dalam argumen ini. Keluarga korban juga wajar mendapat penyakit argumen emosi seperti ini, seperti keluarga Imam Samudera dan Amrozi CS yang menanggap mereka tidak bersalah atau mungkin menganggap mereka martir (untuk yang martir saya mendapat info dari blogspot jadi saya belum tahu pasti). 

 

Dengan demikian, para orang yang berteriak HAM perlu memberikan argumen logis SECARA AKADEMIK DAN RASIONAL tentang bagaimana cara yang lebih lembut dapat secara optimal mencegah terorisme. Kita bisa berteriak HAM secara teori, tapi praktik tentu saja beda. Orang2 seperti Komnas HAM tentu sebagian besar hampir tidak pernah merasakan pertempuran di garis depan atau risiko yang memungkinkan saat operasi anti-terorisme.  Hal ini membuat komnas HAM tampak 'naif'

Mungkin pembaca tertarik mengecek dilema seperti ini :

Anggap dalam satu kasus ada teroris yang bernama 'Budi' (saya gunakan nama pasaran, mohon yang bernama Budi tidak tersinggung) hanya dia yang tahu dimana operasi bom selanjutnya dilakukan, bom ini dapat berpotensi membunuh sekitar 500 orang dan tidak ada intelijen yang tahu. Dia memiliki psikologi yang kuat dan tidak mudah diinterogasi, sementara operasi bom ini sudah dijalankan. Salah satu cara yang mungkin dapat membuat dia mengaku adalah siksaan/torture. Kira-kira apa yang anda lakukan?

Saya membayangkan banyak orang yang berteriak 'HAM!!' ini mungkin akan ragu untuk menyiksa si 'Budi' atas nama HAM sementara waktu bukanlah teman di sini (orang USA bilang we don't have the luxury of time). Keraguan dan positive thinking dalam hal ini tentu akan membuat anda berpotensi melanggar HAM 500 orang jikalau memang dengan menyiksa satu orang psikopat yang memang tidak pantas mendapatkan simpati anda. Ini juga salah satu hirarki moral. Saya anti sekali dengan penyiksaan, dan menganggap hal ini adalah benar-benar opsi terakhir. Tapi naif kalau anda mengatakan tidak akan menyiksa teroris ini karena alasan klise seperti HAM.

Demikian pula dengan eksekusi teroris, meskipun tindakan terorisme Densus 88 dapat dipertanyakan, tapi 'penyiksaan' kecil seperti menutup wajah dan menginjak badannya di lantai adalah untuk menerapkan emotional damage agar willpower teroris itu berpotensi rapuh. Hal ini dapat membantu interogasi agar mereka dapat berkooperasi dengan polisi. Sekali lagi, ini memiliki potensi menyelamatkan nyawa ratusan orang tak bersalah. Eksekusi di tempat saya rasa dapat masuk ke dalam kategori ini, mengingat teroris yang nekad dan 'menyerah' dapat meledakkan bom yang dapat berpotensi melenyapkan satu tim sel anti-terorisme (dan secara tidak langsung membunuh atau menyiksa warga sekitar). Apa anda akan percaya begitu saja melihat psikopat nekad yang mengangkat tangan tiba-tiba? Tentu saja tidak.

Dengan demikian, kesimpulan dari tulisan ini adalah saya tidak dapat 100% setuju dengan konsep HAM yang diterapkan secara hitam putih dalam pencegahan terorisme. Tentu, teroris yang menyerah dan kooperatif dapat dihargai nyawanya, tapi untuk yang melawan (dan sering dikaitkan dengan HAM) untuk dihargai nyawanya adalah kewajiban bagi para pelopor HAM untuk memberikan argumentasi yang kuat dan membuktikan klaim mereka. Tentu saja reasoning dalam memikirkan HAM tidak boleh menggunakan bias ke teroris, dimana HAM mereka lebih dijunjung tinggi daripada HAM orang yang tidak bersalah seperti Densus 88 dan warga yang tidak berdosa. 

Kecuali anda memang lebih percaya teroris daripada polisi -- ya, mungkin anda perlu pergi ke rumah sakit mental terdekat. Sebagai penutup, Burden of Proof untuk mengHAMkan teroris terletak pada teroris itu, bukan polisi atau warga yang harus percaya pada teroris.

24/01/2016

 

Neo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun