Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Jonru Ginting, Crusader Anti Jokowi

5 Januari 2016   09:59 Diperbarui: 5 Januari 2016   09:59 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Link : https://www.facebook.com/jonru.page/posts/10152811494409729

Dari postan dia saja sudah mengakui kalau BBM naik : Hidup makin susah. Dan ia tidak 'peduli' dengan intelek2 yang berargumen secara akademik. Padahal dalam penelitian bonafide dalam sains, Perusahaan terkemuka, dan institusi/organisasi komersil maupun nonkomersil, divisi-divisi berisi orang intelek itu dibutuhkan. Sifat Jonru Ginting yang agak anti-akademik merupakan tipikal argumen 'simple-minded'. Contohnya anda menolak obat karena obat itu 'pahit', bukan karena anda tidak percaya pada obat itu, atau menggunakan argumen logis lainnya. 

Yang kita tahu, meskipun ini masih debatable apakah kenaikan BBM baik atau tidak, substansi argumen penolakan BBM naik ini bisa diragukan. Dengan analisis amatir saja kita tahu dampak kenaikan BBM adalah dampak reaksi berantai menimbulkan Inflasi (harga naik) dan inflasi menimbulkan kemiskinan. Tapi kalau anda googling data kemiskinan, kemiskinan menurun MESKIPUN ada kenaikan BBM. Dan kita tahu bahwa orang2 timur seperti Papua malah cenderung pro kenaikan BBM (penghapusan subsidi) karena alokasi dana subsidi BBM yang dinikmati banyak orang Jawa dan Sumatra dapat dipakai untuk mengobati kemiskinan di desa underdevelop yang mayoritas berada di daerah timur. Kalau orang Jawa dan Sumatra yang semiskin-miskinnya masih bisa nonton TV dan makan gorengan tidak mau mengalah dengan orang2 di Papua, NTT, dan Maluku yang bisa dikatakan sebagian pun masih savage dan tidak mengenal didikan, itu contoh 'wong cilik' yang tidak layak dibela menurut saya.

Kedua yang saya ikuti adalah soal si Jonru meretweet tantangan si J.J. Rizal ke Ahok buat menggusur rumah di Klp Gading dan Pluit serta Jakarta Selatan. Saya tidak tahu soal Pulit, Klp Gading, dan Jaksel, tapi dari sisi 'tantangan' Jonru dan J.J. Rizal ini, terlihat brainless dan tidak memikirkan strata sosial dan kapabilitas tempat2 tersebut dengan Kampung Pulo. Sebenarnya sebelum mengiyakan kata-kata J.J. Rizal, ada baiknya kita menelusuri sejarah Kelapa Gading lebih dalam lagi (yang tampaknya belum ditelusuri J.J. Rizal menurut opini pribadi saya).

Kalau saya pahami, masalah di Kelapa Gading sebagai daerah resapan tidak semudah yang diberitakan di Internet. Soal 'daerah resapan' yang dimaksud juga kurang jelas. Apakah itu semua daerah Kelapa Gading? Atau hanya sebagian? Mengingat Sumareccon memiliki perumahan di K. Gading sebelum rencana pembangunan itu dimulai (1965), tampaknya kemungkinannya kecil kalau SELURUH tanah Kelapa Gading adalah peruntukan daerah resapan. Dengan argumen pada posisi ekstrim seperti itu, malah cenderung menyuruh kita menjadi kaum 'Hipis' (Hippie) yang memang menolak teknologi secara radikal.

Dari hal ini saja, tampaknya Jonru Ginting merupakan orang yang perlu diwaspadai, beda dengan Farhat Abbas yang ngomongnya tidak memakai argumen akademik seperti Jonru dalam beberapa postingannya (beberapa, bukan semua), orang ini memiliki banyak pengikut karena efek psikologis identitas seseorang sebagai fanatik suatu agama yang membuat mereka merasa puas tersendiri.

Tentu saja, saya pun heran dengan kejadian baru-baru ini, dimana Jonru mengkritik foto Jokowi sebagai palsu adalah hal yang sangat berlebihan menurut saya. Liputan 6 yang membuat berita itu adalah media yang kredibel dan netral. Dan separah apapun bias dan blunder MetroTV dan TVOne, saya tidak pernah melihat ke-dua stasiun TV itu mengupload video/foto Hoax. Liputan6 bukan media abal-abal seperti voa-islam yang pernah mengopas tulisannya Kompasianer Opa Jappy (ditambah dengan kata2 provokasi) dan salah satu kompasianer anti Ahok (tanpa diedit sama sekali), suaranews yang mengambil artikel dari Triomacan dan Ratu Adil, dan media abal-abal lainnya. Dalam common sense, tentu saja hal ini berlebihan, bahkan sebagai seorang anti-Jokowi saja hal ini sudah aneh di mata saya.

Respon Yang Diperlukan

Polemicist seperti Jonru Ginting, Farhat Abbas, Triomacan2000 dan sejenisnya memang sensasional kalau mengemukakan pendapat di depan umum. Orang awam yang memiliki bias anti-Jokowi dan religius seperti pengikut Jonru akan cenderung mengiyakan kata-kata Jonru Ginting, entah itu berdasarkan intelek dan akademisi atau tidak.

Seandainya polemicist yang bersangkutan benar, misalnya dalam kenaikan BBM, alasan yang mendasari hal itu pun harus berdasarkan data yang valid, bukan hanya pressumption saja. Hal ini akan membuat cara berfikir manusia tidak dewasa dalam menyelesaikan konflik yang benar benar ada dan cenderung 'lari' dalam mempertanggungjawabkan pendapatnya yang meliputi perubahan hidup orang banyak.

Opini pribadi saya adalah untuk menghadapi polemicist seperti ini, respon yang tepat adalah 'ignore' dan melakukan riset yang dapat membantah argumen yang dilakukan oleh si polemicist kalau ia mengeluarkan stetmen non-akademik. Menghina polemicist yang sudah keras, dan mengingat umur pak Jonru Ginting sudah lebih banyak dari kita, kemungkinannya kecil untuk 'membelokkan' paham seseorang seperti ini, terutama dengan ejekan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun