Mohon tunggu...
Triyono Abdul Gani
Triyono Abdul Gani Mohon Tunggu... Bankir - Direktur Eksekutif Otoritas Jasa Keuangan

Deadly combination dari Jawa dan Sunda

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengembalikan Marwah Pinjaman Online

10 September 2024   10:34 Diperbarui: 10 September 2024   12:04 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Data Kemenkop UKM dan BPS

Akhir-akhir ini semakin santer kutukan masyarakat terhadap pinjaman online (biasa disebut sebagai "pinjol"). Bahkan keburukan pinjol ini seolah-olah disejajarkan dengan judi online. Sama sekali tidak mendapatkan penilaian yang positif dan hanya distigmakan sebagai sebuah keburukan dan virus yang bisa menghancurkan masyarakat.

Terlebih lagi terkuak sebuah temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, bahwa salah satu BUMN ternyata dikatakan "terjerat" oleh pinjol. Menurut berita di media massa, PT Indofarma (Tbk) telah menarik dana pinjol sebesar Rp 1,26 miliar pada tahun 2022. Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh pimpinan perusahaan tersebut.

Kondisi seperti ini memang bukan tanpa asalan. Banyak cerita terkait korban pinjol yang bahkan sampai bunuh diri, selain beberapa kasus penyalahgunaan dan tata kelola yang kurang baik dari penyelenggara pinjol resmi. Kasus pinjol ilegal adalah faktor yang paling memberatkan dan memberikan citra buruk terhadap pinjol secara umum.

Pinjol ilegal adalah entitas yang tidak memiliki izin resmi dan tidak menjadi obyek pengawasan otoritas manapun, selain masuk delik pidana sesuai dengan perundangan yang ada. Mereka kerap melakukan tindakan yang tidak etis mulai dari pemasaran produk, penyalahgunaan data, penagihan dan pembebanan bunga yang fantastis.

Namun apakah benar sepenuhnya bahwa pinjol ini harus diperangi dan dimusnahkan? Apakah memang tidak ada manfaat dari pinjol ini bagi masyarakat? Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini, diperlukan adanya pemahaman yang baik mengenai filosofi dan sejarah adanya pinjol di Indonesia.

Timbulnya konsep Peer to Peer Lending

Sebetulnya kata pinjol itu memiliki makna yang netral. Pinjol adalah nama lain dari Peer to Peer Lending atau biasa diterjemahkan dalam aturan OJK sebagai Layanan Pendaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Kenetralan ini bahkan ditunjukkan dengan pernyataan Menko PMK yang mendukung pembayaran UKT melalui pinjol dan sudah ada 83 perguruan tinggi yang sudah bekerja sama dengan pinjol dalam pembayaran UKT.

Menurut buku Ekosistem Fintech di Indonesia yang ditulis oleh Prof. Ilya Avianty dan Triyono, pinjol merupakan bentuk fintech yang pertama kali muncul di Inggris pada tahun 2005. Perusahaan pinjol ini bernama Zopa. Zopa menawarkan pengalaman terbaik bagi konsumen berupa layanan keuangan dengan memberi akses yang mudah dengan imbal hasil investasi yang menjanjikan. Setelah itu timbul fintech lain bernama Funding Circle yang mampu menyalurkan lebih dari 40.000 dana pinjaman. Sejak saat itu, konsep ini banyak ditiru dan dipraktekkan di negara lainnya.

Latar belakang timbulkan konsep pinjol ini adalah adanya gugatan terhadap karakteristik bisnis intermediasi keuangan yang dianggap mahal dan kurang transparan. Sebagai investor yang merdeka, mereka ingin bebas menentukan kepada siapa investasi dilakukan dengan imbal hasil yang disepakati. Dengan teknologi internet yang mumpuni didukung oleh ekosistem fintech yang lengkap, maka bisnis pinjam meminjam berbasis platform ini cukup diterima oleh pasar.

Sejarah perkembangan pinjol yang cukup menarik untuk disimak adalah krisis pinjol di China. Sebagaimana di negara lainnya, pinjol sangat berkembang pesat di China dari tahun 2007 hingga tahun 2020-an (Gu, Gui dan Huang, 2021). Dengan regim pengaturan yang cukup longgar, pertumbuhan ini kemudian tidak dapat ditata dengan baik dan menimbulkan beberapa kasus investasi yang macet, termasuk timbulnya fraud. Puncak perkembangan pinjol adalah tahun 2016/ 2017 yang kemudian menurun drastis. Otoritas China banyak menutup pinjol yang tidak baik. Tak ayal lagi, pinjol ilegal banyak menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Dalam mempertahankan integritas pasar pinjol di Indonesia, menurut data dari CNBC Indonesia, Otoritas Jasa Keuagan (OJK) telah menutup sebanyak 9.888 entitas pinjol ilegal dalam kurun waktu 2017 hingga 31 Mei 2024. Melalui pendekatan yang cukup tegas dan operasi gabungan dari Satgas Waspada Investasi, penutupan pinjol ilegal ini cukup efektif walaupun masih tidak dapat dihilangkan seluruhnya. Hal ini terlihat dari jumlah pinjol yang ditutup di hingga Mei 2024 "hanya" berjumlah 654 unit usaha. Upaya ini perlu diintensifkan agar meningkatkan efektifitas pemberantasan pinjol ilegal.

Sesuai dengan data dari OJK, untuk posisi 12 Juli 2024 tercatat sebanyak 98 unit perusahaan pinjol berizin di OJK. Jumlah pinjol Syariah tercatat sebanyak 7 perusahaan. Jumlah ini memang menurun terus, mengingat masih diberlakukannya moratorium terhadap pembukaan izin pinjol baru. Namun, mengingat potensi pasar yang perlu dilayani, masih sangat banyak peminat perusahaan baru untuk masuk ke bisnis pinjol legal.

Sejarah Pinjol di Indonesia

Kilas balik di sekitar tahun 2015, ketika itu bisnis berbasis internet sudah mulai bertumbuh. Berhubung platform yang mapan belum ada, maka bisnis dilakukan melalui forum-forum diskusi (misalnya Kaskus). Diskusi berupa peluang investasi di berbagai bidang dibicarakan secara online dan biasanya dilanjutkan dengan diskusi offline.

Melihat fenomena ini dan beberapa diskusi di level internasional terkait pengaturan pinjol, maka OJK tidak ketinggalan dengan mulai melakukan riset tentang potensi pinjol dan pengaturannya di Indonesia. Salah satu riset yang pernah dilakukan pada tahun 2019 adalah kerjasama antara Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) dengan INDEF tentang kontribusi fintech P2P lending terhadap perekonomian nasional. Riset ini dilakukan setelah terbitnya ketentuan tentang pinjol pada tahun 2016 yaitu POJK No.77/ 2016. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pinjol memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,45% dan berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebanyak lebih dari Rp60 triliun.

Mengingat banyaknya varian pengaturan pinjol di luar negeri, maka OJK harus menentukan format yang paling tepat dengan kebutuhan di Indonesia. Bagaimanapun juga, model bisnis dari pinjol ini tidak bisa disetarakan dengan bisnis model saat ini yang menganut intermediasi secara penuh. Pinjol berbasis platform dan memiliki hubungan langsung antara investor dengan peminjam. Selain itu, diperlukan adanya pembatasan jumlah dan jangka waktu investasi yang ditawarkan. Plafond sebesar Rp. 2 Miliar dengan jangka waktu maksimal 1 tahun dianggap cukup untuk mengawali bisnis pinjol di Indonesia. Jenis investasinya pun bersifat 'bridging' yang bersifat jangka pendek.

Sejak dikeluarkannya aturan khusus pinjol oleh OJK, industri pinjol semakin berkembang di Indonesia. Walaupun posisi saat ini terdapat 98 perusahaan pinjol berizin OJK, namun menurut historisnya, jumlah pinjol resmi di Indonesia pernah mencapai level tertinggi yaitu sebanyak 164 penyelenggara pinjol resmi pada tahun 2019. Jumlah itu kemudian terus menurun diiringi dengan moratorium perizinan pinjol hingga saat ini.

Sebagaimana bisnis lainnya, perusahaan pinjol juga mendapatkan tantangan yang sangat besar pada masa Pandemi COVID-19. Banyak penyelenggara pinjol yang tidak berhasil lolos dari ujian tersebut dan banyak yang memiliki TWP nya di atas 5%. Seiring dengan berjalannya waktu, hingga saat ini masih terdapat perusahaan pinjol yang masih berdiri, dapat diasumsikan bahwa perusahaan pinjol yang berhasil lolos dari tekanan Pandemi COVID-19, memiliki kualitas tata kelola dan ketahanan fundamental yang cukup baik.

Penurunan jumlah pinjol disebabkan oleh berbagai hal. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan memenuhi jumlah modal minimal. Sementara faktor lain, sebagaimana siklus hidup perusahaan rintisan, banyak disebabkan oleh ketidakmampuan memperoleh pendaan dari investor atau tidak adanya penerimaan yang baik dari maksyarakat. Dengan adanya moratorium, animo para pengusaha belum terlihat. Walaupun berdasarkan minat yang sempat disampaikan, animo pengusaha untuk mengajukan perizinan baru ke OJK tetap masih tinggi.

Karakteristik Pinjol di Indonesia

Sebagaimana alasan utama berdirinya usaha berbasis platform dengan format peer to peer lending, maka pinjol didirikan untuk menantang keberadaan fungsi intermediasi yang dijalankan oleh lembaga keuangan. Pinjol bekerja dengan langsung menghubungkan antara investor dengan peminjam, dan penyelenggara pinjol hanya bersifat mempertemukan kedua pihak melalui platform yang tersedia. Sangat berbeda dengan fungsi intermediasi, maka penyelenggara pinjol tidak bertanggung jawa secara lengsung terhadap risiko investasi yang ada. Investor dalam platform pinjol harus memiliki kemampuan manajemen risiko yang mumpuni, karena tanggung jawab akhir dari investasi ada di investor.

Jenis usaha pinjol di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pinjol produktif dan konsumtif. Visi awal, pinjol yang diharapkan adalah pinjol bersifat produktif yang diharapkan membantu likuiditas UMKM. Namun demikian, berdasarkan perkembangannya baik di dalam maupun luar negeri, pinjol ini kemudian berkembang ke sektor konsumtif walaupun memang sulit untuk membedakan pinjaman perorangan yang murni konsumtif atau digunakan untuk usaha produktif perorangan (productive individual).

Pangsa pasar dari pinjol dalam mendukung UMKM ini sangat jelas. Faktanya berdasarkan data yang diterbitkan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM dan Badan Pusat Statistik tahun 2017, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar, terdapat sebuah kelompok UMKM sebanyak 58,9 juta yang memiliki kelayakan usaha namun bersifat tidak layak menurut perbankan (unbanklable) sebanyak 17,67 juta. Sedangkan sisanya sebanyak 41,24 juta bersifat tidak layak usaha sekaligus unbankable.

Dengan memperhatikan penyaluran kredit di Indonesia yang hampir semua melalui bank, termasuk KUR, maka akan terdapat relung pasar yang tidak pernah dapat dilayani oleh perbankan secara formal. Untuk itu, diperlukan adanya aktor lain yang berani untuk melayani relung pasar ini apabila menginginkan memajukan UMKM di Indonesia. Visi awal ketika pinjol ini di-institusionalasikan oleh OJK adalah mempersiapkan UMKM yang bersifat unbankable menjadi lebih berkembang dan dapat naik kelas menjadi pengusaha yang bankable.

Selain itu, perlu diingat sekali lagi bahwa sifat pinjaman melalui pnjol ini bersifat bridging dan bukan investasi biasa. Oleh karena itu tidak heran apabila karakteristik pinjol adalah : berjangka pendek, bernilai kecil, tanpa agunan, berformat campuran (angsuran, diskonto atau balloon payment). Contoh dari pembiayaan antara ini (bridging) dan tidak mungkin dapat dimasuki oleh lembaga keuangan formal adalah Purchase Order Financing dan Invoice Financing. Kedua jenis prosuk ini tidak bisa dilakukan oleh lembaga keuangan formal, karena memang tidak ada agunan yang jelas. Selain itu, proses penagihan-nya pun menjadi rumit dan sangat spesifik. Sedangkan bagi pinjol, hal ini dimungkinkan dengan bantuan teknologi untuk mempercepat proses penagihan.

Karakteristik ini kemungkinan juga bisa berubah seiring perkembangan industri. Fleksibilitas merupakan kelebihan daripada pinjol yang tidak bisa ditiru oleh lembaga keuangan yang cenderung bersifat produksi massal dan kaku.

Relung pasar yang dilayani oleh pinjol ini, memang memiliki risiko yang sangat tinggi. Sebagai konsekwensinya, maka suku bunga yang diminta oleh para investor juga sangat tinggi yang sudah pasti akan lebih tinggi daripada suku bunga perbankan atau institusi intermediasi lainnya. Kalau dari sisi peminjam, tingginya suku bunga ini kemudian dianggap sebagai beban yang berlebihan sehingga pinjol juga sempat diberi gelar "rentenir online".

Mitigasi risiko bisnis pinjol sangat diperlukan agar tidak mengulangi kegagalan yang terjadi di China. Namun perlu difahami bahwa mitigasi risiko yang ada tetap mempertahankan bisnis model pinjol, karena kalau kemudian disejajarkan dengan pembiayaan formal, maka akan menghilangkan fungsi dan keunggulan pinjol itu sendiri. Dalam kasus ini prinsip same risk same rule tidak tepat, karena memang risiko nya sangat unik, jadi harus diperlakukan secara berbeda.

Beberapa mitigasi untuk risiko bisnis pinjol secara pengaturan adalah :

  • Pembatasan plafond dan jangka waktu investasi. Secara sederhana dapat diasosisasikan bahwa semakin terbatas jumlahnya dan jangka waktu investasinya, maka risikonya menjadi lebih dapat dibatasi.
  • Penggunaan asuransi kredit memang memberikan dampak positif, sebagai contoh untuk investasi di bidang pertanian, bisa memanfaatkan asuransi mikro yang sudah ada. Untuk itu, pinjol pertanian perlu mensyaratkan para peminjam agar melengkapi infrastruktur dan transaksi mereka menggunakan asuransi.
  • Karakterstik khusus yang ada pada pinjol adalah bahwa risiko seharusnya ditanggung sendiri oleh investor. Dengan demikian, bentuk investor yang memiliki kemampuan menganalisis risiko dengan baik menjadi mutlak. Investor yang ada tidak boleh hanya mengandalkan analisis yang dibuat oleh platform saja, melainkan harus secara aktif masuk ke dalam asesmen risiko. Pengecekan ganda sangat penting, karena akan lebih baik banyak mata yang melihat daripada timbul titik kosong.
  • Tentu saja dalam proses bisnis, tidak luput dari risiko usaha. Biasanya yang dilakukan adalah restrukturisasi pinjaman. Dalam kasus pinjol ini, pihak mana yang boleh melakukan restrukturisasi menjadi pertanyaan besar. Yang jelas platform tidak memiliki kewenangan karena bukan lembaga intermediasi. Dengan demikian, investorlah yang dapat melakukan restrturisasi terhadap pinjaman yang tidak berjalan dengan baik. Apabila mekanisme ini disepakati, maka diperlukan adanya wadah yang pas agar proses restrukturisasi ini dapat dilakukan dengan baik. Misalnya, pembentukan Komite Investor di perusahaan pinjol, sangat tepat untuk memiliki kewenangan dalam melakukan restrukturisasi (meminjam praktik yang dilakukan oleh Komite Pemilik Obligasi).
  • Dalam praktik saat ini, dikenal istilah primary lender (pendana utama) yang mungkin terdiri dari satu atau lebih pendana. Apabila lebih dari satu pihak, maka dapat dibentuk semacam konsorsium pendana. Oleh karena itu, pembentukan Komite Investor sangat mungkin diterapkan.

Masa Depan Pinjol di Indonesia

Berdasarkan data yang ada, relung pasar UMKM yang dinilai tidak bankable ini cukup besar dan perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Ketika pinjol masuk dan melayani relung pasar ini, secara politis perlu didukung walaupun tetap diperlukan adanya perbaikan tata kelola dan pengawasan yang baik dari otoritas.

Bisa dibayangkan bahwa apabila tidak ada aktor yang menjalankan bisnis di segmen ini, maka akan timbul aktor lain yang masuk ke segmen tersebut. Selama ini pembiayaan di segmen ini menggunakan dana pribadi ataupun rentenir. Dengan adanya peranan dari pinjol ini, maka bisa dipastikan proses pendewasaan UMKM unbankable di Indonesia akan lebih cepat. Tentu saja dengan semakin optimalnya pertumbuhan segmen ini, maka secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik lagi.

Perangkat lain yang lebih formal yang saat ini dianggap efektif dalam mengembangkan UMKM yang unbankable ini adalah koperasi dan beberapa lembaga keuangan mikro. Dengan adanya pinjol, maka terdapat tambahan arsenal untuk meningkatkan efektifitas penetrasi untuk mengembangkan UMKM. Jumlah UMKM yang sangat banyak ini memang memerlukan tindakan kolektif dengan cara yang tidak konvensional (selalu disalurkan melalui bank).

Di sisi lain, ada lembaga lain seperti urun dana sosial (social crowd funding). Urun dana sosial ini bisa berbasis keagaam (ZISWAQ) ataupun sosial biasa. Walaupun urun dana sosial ini memiliki potensi yang besar dan sangat sesuai dengan karakteristik pembiayaan UMKM sebagaimana diuraikan oleh Triyono (Harian Kontan tanggal 17 Januari 2024), namun kurang memiliki daya ungkit yang cukup besar karena ukurannya relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pasar yang harus dilayani.

Rekomendasi Kebijakan

Indonesia termasuk ekonomi yang berbasis usaha kecil. Pada tahun 2019, berdasarkan data dari Kemenkop UKM, sektor usaha kecil menyerap 123,3 ribu tenaga kerja. Kontribusi dari sektor usaha kecil ini terhadap PDB tercatat sebesar 60,5%. Namun perlu diingat bahwa terdapat dua kategori UMKM yang ada di Indonesia yaitu yang sudah bankable dan yang belum bankable. Penyaluran KUR tahun 2023 tercatat sebesar Rp260,62 triliun dari target Rp270 triliun. Salah satu penyebab tidak tercapainya target ini adalah karena adanya syarat agunan dalam sebagai mitigasi risiko KUR.

Pinjol adalah bisnis model yang tidak memerlukan agunan dan bisa melayani segmen yang tidak bisa dilayani oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dengan demikian, pinjol ini perlu didukung keberadaannya karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Meminjam teori dari Ragnar Nurske tentang Lingkaran Setan Kemiskinan, aspek permodalan adalah salah satu masalah besar yang sangat penting untuk dipecahkan. Apabila tidak ada penyelesaian yang baik, maka kemiskinan di Indonesia akan terus berputar seperti lingkaran setan.

Namun demikian, untuk memitigasi risiko yang sudah dan akan terjadi, maka diperlukan adanya penajaman kebijakan diantaranya adalah :

  • Faktanya bahwa ada sebuah relung dalam perekonomian Indonesia yang tidak bisa dilayani oleh lembaga keuangan formal yaitu segmen UMKM yang unbankable. Segmen ini sangat penting untuk meningkatkan kontribusi sektor usaha kecil dan berperan dalam menaikkan kapasitas usaha menjadi bankable. Dengan demikian, mempertahankan pinjol ini sangat penting dengan cara memberikan ruang gerak yang cukup dan tidak bersifat mematikan.
  • Karakteristik pembiayaan di segmen ini sangat khusus, yaitu bersifat pembiayaan antara (bridging loan), memiliki nominal yang tertentu (bisa Rp 2 miliar atau bahkan sampai Rp 10 miliar), berjangka pendek (durasi hingga 1 tahun), berbunga tinggi, tanpa agunan dan fleksibel. Untuk itu, pengaturan harus dikonsentrasikan pada permurnian model bisnis yang ada melalui peningkatan penerapan aturan secara ketat.
  • Relung yang dilayani oleh pinjol memiliki risiko yang sangat tinggi. Pemahaman bahwa bisnis pinjol ini berisiko lebih tinggi daripada bisnis keuangan lainnya, maka sangat wajar apabila suku bunga yang diterapkan akan lebih tinggi. Namun demikian, tingkat keekonomian yang wajar tetap diperlukan melalui penetapan suku bunga maksimum. Perlu sangat diperhatikan bahwa pinjol ini tidak apple to apple dengan bisnis keuangan lainnya. Perlu dicermati bahwa plafond suku bunga pinjaman uncollateral disamakan dengan yang fully collateralized, maka bisnis tersebut tidak akan bertahan atau akan melakukan rekayasa untuk menutup premi risiko yang ada.

Sebagai penutup, kebijakan yang tepat perlu difikirkan agar memberikan manfaat optimal bagi investor, sektor keuangan maupun perekonomian Indonesia. Tentu saja tidak ada kebijakan yang akan menyenangkan semua pihak. Kebijakan yang kondusif dan supportif mutlak diperlukan. Mengingat bahwa pinjol ini bukan merupakan intermediasi keuangan, maka kebijakan untuk pinjol tidak akan bisa disamakan dengan kebijakan lembaga keuangan. Perlu pengaturan spesifik yang menghormati dan mempertahankan kekhususan model bisnis ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun