PENGANTAR
Adalah Joseph Geobbels, tokoh yang dijuluki sebagai bapak propaganda modern pernah berkata "sebarkan kebohongan berulang-ulang dan publik akan mempercayainya sebagai sebuah kebenaran". Sebuah kalimat yang menggambar-kan bagaimana bahayanya pembiaran atas suatu kebohongan. Kalimat yang harusnya juga menjadi alarm atas apa yang sedang kita hadapi dewasa ini.
Tentu belum lekang dari ingatan kita kasus terbongkarnya kelompok bernama Saracen beberapa waktu yang lalu. Kelompok yang disinyalir sebagai pembuat dan penyebar ujaran kebencian dan berita bohong di media sosial. Saat itu tak sedikit dari kita yang dibuat terperanga. Bagaimana tidak, ternyata ada sekelompok warga bangsa yang dengan sadar membuat dan menyebarluaskan kebohongan. Memecah belah saudara sebangsa hanya demi motif ekonomi.
Laju deras globalisasi dan perkembangan teknologi informasi di segala lini kehidupan dewasa ini memang sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa lagi membendung ataupun menolaknya. Derasnya laju perkembangan tersebut tak pelak membawa serta pengaruh negatif. Maraknya penyebaran berita bohong, yang kini populer dengan istilah hoax (dalam Bahasa Indonesia hoaks) merupakan salah satunya.
Hoaks memang kini seakan menjadi musuh bersama. Bahkan bisa dikatakan menjadi musuh warga dunia. Terlepas dari begitu mengkhawatirkannya dampak hoaks, perang terhadap hoaks memang sudah seharusnya menjadi sebuah kewajiban. Demi menjaga keutuhan bangsa. Terlebih demi melindungi generasi muda, anak-anak kita.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ikhtiar seperti apakah yang bisa kita lakukan dalam ihwal melawan hoaks? Bagaimana menjadikan anak-anak kita generasi antihoaks?
     Â
ANTI-HOAKS SANG PENDIDIK
Hoaks dan Daya Rusaknya
Sejatinya hoaks bukanlah hal baru di masyarakat. Sejak dahulu sering kita jumpai berita bohong, fitnah, maupun anggapan-anggapan keliru di masyarakat yang merupakan cikal-bakal hoaks. Mulai dari yang sederhana seperti misalnya larangan mengkonsumsi makanan/minuman tertentu karena dapat menyebabkan penyakit. Ataupun hoaks yang berwujud Pamali atau Ora Elok yang berkembang di masyarakat kita. Namun, seiring berkembangnya teknologi informasi (terlebih media sosial) evolusi hoaks dewasa ini dirasa menjadi lebih mengkhawatirkan.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam bentuk komputer, gadget, maupun internet memang sedikit banyak memegang andil. Di satu sisi kita diuntungkan dengan lebih mudah dan cepatnya arus informasi. Berita atau informasi apapun dapat kita peroleh dengan hanya sekali klik. Namun, di sisi lain pertumbuhan gadget dan internet yang begitu cepat juga membuka celah mudahnya penyebaran hoaks.
Yang harus menjadi perhatian adalah kini hoaks seakan menjadi sebuah komoditas. Hoaks bisa dijadikan sebagai alat satu golongan untuk menghancurkan golongan lain. Membunuh karakter seseorang, bahkan sebagai alat memecah belah bangsa. Contoh terdekat bisa kita ambil dari apa yang sekarang terjadi di republik ini.
Tentu kita dapat merasakan eskalasi banyaknya penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya sekarang ini. Setidaknya jika dibandingkan dengan satu dekade yang lalu. Yang cukup terasa tentu saat perhelatan Pilpres 2014 dan Pilkada 2017 lalu. Tiap waktu kita seakan disuguhi dengan berita hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya. Bahkan bisa dikatakan dalam beberapa tahun terakhir hoaks seakan "sukses" membuat bangsa ini menjadi terpecah belah.
Dampak dari berita hoaks memang sangat mengkhawatirkan. Bahkan negara adidaya sekelas Amerika Serikat pun tak luput menjadi korban hoaks. Misalnya pada saat pemilihan presiden terakhir. Banyak pihak yang mengatakan kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton tak lepas dari andil berita hoaks. Bahkan yang lebih parah lagi berita hoaks hampir membuat Pakistan dan Israel perang nuklir (infokomputer.grid.id, 27/6/2017).
Melihat begitu masifnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh hoaks, tentu kita patut khawatir. Gerakan perang melawan hoaks harus menjadi concern kita semua. Pembiaran terhadap hoaks bisa jadi merupakan awal dari hancurnya bangsa ini di masa mendatang. Kita tak boleh lagi acuh terhadap persoalan hoaks, apalagi justru menjadi bagian dari proses penyebaran hoaks.
Kenali dan Lawan Hoaks DenganGesekLidi
Makin parahnya penyebaran hoaks dewasa ini bukan mustahil untuk dihentikan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk setidaknya ikut andil mengerem laju penyebaran hoaks. Ibarat pepatah mengatakan "tak kenal maka tak sayang", cara sederhana untuk ikut memerangi hoaks adalah dengan mengenali hoaks itu sendiri. Kita dapat belajar mengidentifikasi mana berita hoaks dan mana yang bukan dengan berbagai cara.Â
Pertama, biasakanlah untuk bertabayyun. Ajaran Islam mengajarkan kita untuk senantiasa melakukan tabayyun,yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai pencarian fakta/kebenaran suatu berita. Tabayyun dapat dilakukan dengan mengecek sumber berita yang kita dapat. Jangan terbiasa untuk hanya mempercayai satu sumber saja. Jadikan sumber lain sebagai pembanding. Berita yang bersumber dari internet dapat kita kroscek dengan cara melihat alamat URLnya.Â
Cermati apakah situs yang memuat berita tersebut merupakan situs yang kredibel, seperti situs resmi instansi pemerintah, situs yang sudah terverivikasi sebagai situs pers resmi atau belum. Jika alamat URL situs yang kita baca bisa dikatakan kurang kredibel, kita patut curiga dengan kevalidan isi beritanya.
Kedua,biasakan membaca keseluruhan isi berita. Kebiasaan untuk membagikan (share) berita tanpa membaca isinya adalah salah satu faktor pemicu cepat menyebarnya berita hoaks. Oleh sebab itu, biasakanlah untuk membaca isi berita sebelum membagikannya. Jangan terlena oleh judul, karena seringkali berita hoaks sengaja menggunakan judul yang provokatif dan sensasional.
Ketiga,jangan mudah percaya dengan foto/video. Pesatnya kemajuan teknologi memungkinkan orang untuk dapat mengubah foto/video menjadi seakan-akan asli. Maka dari itu bersikaplah kritis dan jangan mudah percaya dengan foto/video yang kita lihat. Berita hoaks juga seringkali menggunakan foto/video palsu yang sebenarnya bukan merupakan gambaran isi berita. Kita bisa mengecek keaslian foto dengan cara drag and drop ke kolom Google images.
Keempat,manfaatkan diskusi. Perang melawan hoaks kini menjadi concern dari banyak pihak. Sebagai contoh sekarang banyak grup atau fanspage antihoaks di facebook. Sebut saja misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH), Fanpage & GroupIndonesian Hoaks Buster, Fanpage Indonesian Hoakses, dan Grup Sekoci (kompas.com, 9/1/2017). Kita bisa ikut bergabung dan belajar mencari kebenaran dari sebuah berita dari diskusi anggota grup. Hal ini penting karena akan memudahkan kita memastikan kebenaran sebuah berita dengan memanfaatkan tenaga banyak orang.
Laju deras penyebaran hoaks (terutama di media sosial) memang bak jamur di musim penghujan. Tumbuh subur dan begitu cepat menyebar di masyarakat. Selain karena meningkatnya populasi pertumbuhan gawai seperti telah dijelaskan di atas, rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia juga memiliki andil yang cukup besar. Masyarakat dengan tingkat literasi yang rendah memang seakan menjadi tempat sempurna tumbuh suburnya hoaks.
Data hasil Penelitian The World's Most Literate Nations(WMLN)tentang tingkat literasi dunia 2016 menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei (mediaindonesia.com, 8/2/2017). Sementara itu laporan riset Program for International Student Assesment (PISA)tahun 2015 menunjukkan capaian kompetensi membaca siswa Indonesia belum juga memuaskan, walaupun ada peningkatan dibanding tahun 2012 (kemdikbud.go.id, 6/12/2016). Jadi jangan terlalu heran jika penyebaran hoaks di republik ini bisa dikatakan tak terkendali. Karena memang faktanya tingkat literasi masyarakat kita begitu rendah.
Jika kita cermati dengan seksama, langkah-langkah mengidentifikasi berita hoaks di atas memiliki satu benang merah. Yaitu kemampuan literasi yang baik. Memang, suka atau atau tidak suka, cara terbaik untuk melawan hoaks adalah dengan literasi, khususnya literasi digital.
Literasi digital secara sederhana dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memahami dan mendekonstruksi (melalui membaca dan menganalisa) segala informasi dari platform digital. Ditengah gempuran hoaks saat ini, literasi digital adalah sebuah jawaban. Dengan dikuasainya literasi digital, seseorang akan mampu memilah informasi yang didapatnya dengan kemampuan analitik.
Gerakan literasi digital perlu didorong sebagai upaya preventif mengerem penyebaran hoaks. Membekali masyarakat dengan kecakapan literasi digital haruslah digalakkan. Gerakan literasi digital juga harus mulai mampu menjangkau siswa di sekolah-sekolah. Anak-anak sebagai generasi penerus memang harus dijadikan prioritas untuk dibekali kemapuan literasi digital yang baik.
Gesek Lidi merupakan singkatan dari Gerakan Siswa Melek Literasi Digital. Gerakan ini bisa digagas untuk dapat dijadikan sarana membekali siswa dengan kecakapan literasi digital. Gesek Lidi dapat dilaksanakan di semua jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA, tentu dengan porsi yang berbeda.
Gesek Lidi dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum. Sebagai contoh bisa dimasukkan dalam materi pebelajaran TIK atau Bahasa Indonesia. Dapat juga diinternalisasikan dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti ekstra kurikuler jurnalistik maupun Karya Ilmiah Remaja (KIR). Gerakan Literasi Sekolah seperti pembiasaan membaca 15 menit sebelum pelajaran yang sudah digagas oleh Kemdikbud juga dapat dikolaborasikan dengan Gesek Lidi ini.
Adapun kegiatannya dapat diisi dengan materi pengenalan cara mengidentifikasi hoaks. Bagaimana sopan santun dalam menggunakan media sosial. Permainan untuk membedakan berita hoaks, maupun kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan kemampuan analitik siswa.
Pihak sekolah juga dapat bekerjasama dengan pihak luar dalam melaksanakan Gesek Lidi. Seperti misalnya bekerjasama dengan program Smart Schools  Online (SSO) yang digagas oleh Child Online Protection (ID-COP). Demi tercapainya cita-cita bersama, kerjasama dari semua pihak memang wajib hukumnya.
Peran Vital Sang Pendidik
Sukses tidaknya melahirkan generasi antihoaks melalui Gesek Lidi tak dapat dipungkiri akan sangat tergantung pada guru. Guru sebagai pendidik bisa dikatakan merupakan motor penggerak. Untuk dapat menjadikan siswa melek literasi digital, tentunya seorang guru juga harus terlebih dahulu memiliki kemampuan literasi digital yang baik.
Teladan dari guru juga mutlak adanya. Seorang pendidik haruslah mampu memberikan contoh yang baik kepada siswanya. Terlebih dalam menggunakan media sosial. Guru harus juga mampu membiasakan berpikir kritis. Selalu mengecek kebenaran sebuah berita/informasi sebelum membagikannya.
Ikhtiar melawan hoaks melalui literasi digital memang membutuhkan waktu yang relatif lama. Maka dari itu, gerakan literasi digital perlu didukung dengan tindakan yang lebih praktis. Tindakan sederhana yang bisa jadi akan sangat efektif dalam melawan hoaks. Pengalaman penulis dalam ihtiyar melawan hoaks setidaknya bisa menjadi salah satu bahan referensi.
Hal kecil yang sering penulis lakukan dalam ikut serta melawan hoaks antara lain dengan mengedukasi siswa perihal hoaks. Latar belakang penulis sebagai guru sekolah dasar tidak lantas menjadikan halangan. Justru menurut penulis semakin dini seorang anak dibiasakan untuk mengenal hoaks akan lebih baik pula hasilnya.
Kurnia (2007) menjelaskan bahwa usia anak sekolah dasar seringkali disebut dengan usia bertanya. Anak cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sering sekali penulis mendapat pertanyaan dari siswa tentang berbagai hal saat pembelajaran. Termasuk pertanyaan yang masuk dalam kategori hoaks. Di sinilah penulis berusaha mengajak peserta didik untuk belajar mencari jawaban dari sumber yang terpercaya. Menanamkan kepada siswa agar dapat berpikir kritis. Jangan mudah percaya dengan berita atau informasi yang didapat.
Pengalaman penulis dalam melawan hoaks juga diwujudkan dalam interaksi sosial di dunia maya. Membeludaknya pengguna media sosial seperti Facebook,Twitter,Whatsapp, BBM, dan berbagai platform messengerlain tidak dipungkiri ikut andil dalam mempercepat penyebaran hoaks. Terlebih di grup-grup media sosial. Seringkali banyak anggota grup yang dengan mudahnya menyebarkan berita, artikel, maupun pesan yang ia dapat tanpa terlebih dahulu memastikan kebenaran isinya.
Saat menemui hal semacam itu biasanya penulis berusaha mencari sumber terpercaya terkait berita atau artikel yang di share. Dan kemudian memberitahukan tentang benar tidaknya berita tersebut. Tindakan kecil namun bisa jadi sangat efektif dalam rangka memerangi hoaks.
Hal yang sangat sederhana memang. Tapi setidaknya niat untuk menjadi bagian dari solusi, dan bukan menjadi bagian dari masalah sudah penulis lakukan. Penulis percaya dengan pernyataan bahwa tidak ada yang percuma dari usaha yang kita lakukan, sekecil apapun itu.
PENUTUP
Makin maraknya penyebaran berita hoaks haruslah menjadi perhatian kita bersama. Tidak boleh lagi ada kata skeptis terhadap persoalan ini. Sudah saatnya seluruh warga bangsa bahu-membahu melawan hoaks. Pendidik sebagai bagian tak terpisahkan dari warga bangsa tentu saja mempunyai tanggung jawab yang sedikit lebih besar. Karena tidak dapat dipungkiri seorang guru sebagai pendidik merupakan salah satu faktor penting maju tidaknya generasi bangsa di masa mendatang.
Upaya melawan hoaks yang bersifat kuratif tentu sangat dibutuhkan. Penindakan tegas terhadap oknum pembuat maupun penyebar hoaks adalah sebuah keharusan. Namun, jangan sampai kita lupa pada ihwal upaya preventif. Yaitu bagaimana mengedukasi masyarakat kita, terlebih generasi muda untuk mampu secara mandiri mengenal dan menolak hoaks. Dan sekali lagi kuncinya adalah pada literasi. Melahirkan generasi antihoaks berarti melahirkan generasi literasi.
Â
 DAFTARRUJUKAN
Kurnia, I., dkk. 2007. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Pengelola web Kemdikbud. 2016. Peringkat dan Capaian PISA Indonesia Mengalami Peningkatan. Online tersedia di http://www.kemdikbud.go.id/ (diakses pada tanggal 1 November 2017)
Purba, D. 2017. Melawan Hoax, Membangun Gerakan Literasi. Online tersedia di http://www.mediaindonesia.com/ (diakses pada tanggal 1 November 2017)
Tanujaya, A. 2017. Gara-gara Hoax Pakistan dan Israel Hampir Perang Nuklir. Online tersedia di http://infokomputer.grid.id/ (diakses pada tanggal 1 November 2017)
Yusuf, O. 2017. Begini Cara Mengidentifikasi Berita Hoax di Internet. Online tersedia di http://www.kompas.com/ (diakses pada tanggal 1 November 2017)
#antihoax #marimas #pgrijateng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H