Laju deras penyebaran hoaks (terutama di media sosial) memang bak jamur di musim penghujan. Tumbuh subur dan begitu cepat menyebar di masyarakat. Selain karena meningkatnya populasi pertumbuhan gawai seperti telah dijelaskan di atas, rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia juga memiliki andil yang cukup besar. Masyarakat dengan tingkat literasi yang rendah memang seakan menjadi tempat sempurna tumbuh suburnya hoaks.
Data hasil Penelitian The World's Most Literate Nations(WMLN)tentang tingkat literasi dunia 2016 menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei (mediaindonesia.com, 8/2/2017). Sementara itu laporan riset Program for International Student Assesment (PISA)tahun 2015 menunjukkan capaian kompetensi membaca siswa Indonesia belum juga memuaskan, walaupun ada peningkatan dibanding tahun 2012 (kemdikbud.go.id, 6/12/2016). Jadi jangan terlalu heran jika penyebaran hoaks di republik ini bisa dikatakan tak terkendali. Karena memang faktanya tingkat literasi masyarakat kita begitu rendah.
Jika kita cermati dengan seksama, langkah-langkah mengidentifikasi berita hoaks di atas memiliki satu benang merah. Yaitu kemampuan literasi yang baik. Memang, suka atau atau tidak suka, cara terbaik untuk melawan hoaks adalah dengan literasi, khususnya literasi digital.
Literasi digital secara sederhana dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memahami dan mendekonstruksi (melalui membaca dan menganalisa) segala informasi dari platform digital. Ditengah gempuran hoaks saat ini, literasi digital adalah sebuah jawaban. Dengan dikuasainya literasi digital, seseorang akan mampu memilah informasi yang didapatnya dengan kemampuan analitik.
Gerakan literasi digital perlu didorong sebagai upaya preventif mengerem penyebaran hoaks. Membekali masyarakat dengan kecakapan literasi digital haruslah digalakkan. Gerakan literasi digital juga harus mulai mampu menjangkau siswa di sekolah-sekolah. Anak-anak sebagai generasi penerus memang harus dijadikan prioritas untuk dibekali kemapuan literasi digital yang baik.
Gesek Lidi merupakan singkatan dari Gerakan Siswa Melek Literasi Digital. Gerakan ini bisa digagas untuk dapat dijadikan sarana membekali siswa dengan kecakapan literasi digital. Gesek Lidi dapat dilaksanakan di semua jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA, tentu dengan porsi yang berbeda.
Gesek Lidi dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum. Sebagai contoh bisa dimasukkan dalam materi pebelajaran TIK atau Bahasa Indonesia. Dapat juga diinternalisasikan dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti ekstra kurikuler jurnalistik maupun Karya Ilmiah Remaja (KIR). Gerakan Literasi Sekolah seperti pembiasaan membaca 15 menit sebelum pelajaran yang sudah digagas oleh Kemdikbud juga dapat dikolaborasikan dengan Gesek Lidi ini.
Adapun kegiatannya dapat diisi dengan materi pengenalan cara mengidentifikasi hoaks. Bagaimana sopan santun dalam menggunakan media sosial. Permainan untuk membedakan berita hoaks, maupun kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan kemampuan analitik siswa.
Pihak sekolah juga dapat bekerjasama dengan pihak luar dalam melaksanakan Gesek Lidi. Seperti misalnya bekerjasama dengan program Smart Schools  Online (SSO) yang digagas oleh Child Online Protection (ID-COP). Demi tercapainya cita-cita bersama, kerjasama dari semua pihak memang wajib hukumnya.
Peran Vital Sang Pendidik
Sukses tidaknya melahirkan generasi antihoaks melalui Gesek Lidi tak dapat dipungkiri akan sangat tergantung pada guru. Guru sebagai pendidik bisa dikatakan merupakan motor penggerak. Untuk dapat menjadikan siswa melek literasi digital, tentunya seorang guru juga harus terlebih dahulu memiliki kemampuan literasi digital yang baik.