Mohon tunggu...
TRIYAKFI HS
TRIYAKFI HS Mohon Tunggu... Guru - Teacher

a long life learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tea Patrol" Gerakan "Gadget" Sehat bagi Siswa

14 Oktober 2017   11:40 Diperbarui: 14 Oktober 2017   12:02 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bak dua sisi mata uang. Laju deras globalisasi dan perkembangan teknologi dewasa ini memang seakan menghadirkan dilema. Di satu sisi beragam kebermanfaatan bisa didapatkan. Namun, di sisi yang lain dampak negatif yang ditimbulkan juga tampak begitu menghawatirkan.

 Meningkatnya jumlah anak usia sekolah dasar dan remaja sebagai pengguna gadget dan internet merupakan salah satu dampak negatif. Gadget atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gawai kini tidak hanya menjadi "konsumsi" orang dewasa. Sudah menjadi hal yang lazim kita jumpai anak-anak usia SD fasih memainkan smartphone, tablet,dan aneka gawai lainnya.

Survei yang dilakukan oleh Kemkominfo dan Unicef tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam peringkat lima besar negara pengguna gawai, khususnya smartphone. Dari sekitar 47 juta pengguna aktif smartphonetersebut 79,5 persennya masuk dalam kategori usia anak-anak dan remaja (Kominfo.go.id, 18/2/2014). Begitu juga dengan data pengguna internet. Survei dari Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menunjukkan data sebanyak 768 ribu anak usia 10-14 tahun di Indonesia merupakan pengguna aktif internet (Kompas.com, 24/10/2016 ).

 Sebagai orangtua kita tentu patut khawatir melihat kenyataan tersebut. Bagaimana tidak, penggunaan gawai dan internet oleh anak tidak dapat dipungkiri lekat dengan pengaruh negatif. Timbulnya gangguan kesehatan, potensi munculnya adiksi, terpapar konten dewasa, kekerasan, dan radikalisme, pergaulan tidak sehat di dunia maya, hingga terhambatnya perkembangan anak hanya contoh kecil dari pengaruh buruk yang dapat timbul.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah haruskah kita alergi dan melarang anak-anak kita menggunakan gawai? Bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan penggunaan gawai dan internet oleh anak?

Mengambil Sisi Positif

Persoalan membeludaknya jumlah anak usia SD dan remaja sebagai pengguna gawai dan internet haruslah kita maknai sebagai tantangan. Tantangan untuk mancari bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan ini. Haruskah kita menjadi orangtua yang melarang sepenuhnya anak-anak kita menggunakan gawai? Atau justru memilih opsi sebaliknya?

Kita tentu saja tidak bisa serta merta melarang anak untuk tidak mengakses gawai dan internet. Terlebih lagi anak usia SD memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi (Nasution: 1992). Semakin dilarang, anak akan semakin penasaran dan mempunyai keinginan untuk mencoba. Pelarangan juga dapat menyebabkan anak menjadi gagap teknologi (gaptek). Padahal di masa mendatang keterampilan di bidang teknologi adalah salah satu kunci mampu tidaknya seseorang bersaing dalam masyarakat global.

Begitupun dengan opsi kedua. Sungguh tidak arif jika kita sebagai orangtua membiarkan anak-anak kita dengan bebas mengakses gawai dan internet. Gawai memang seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup, terlebih di era digital dewasa ini. Namun, tentu saja kita tidak mau melihat anak-anak kita menjadi korban efek negatif teknologi tersebut.

 Terlepas dari efek negatifnya, sejatinya gawai juga dapat memberikan dampak positif untuk anak. Gawai dapat membantu perkembangan fungsi adaptif seorang anak. Gawai juga dapat meningkatkan daya imajinasi anak, memperkuat mental berkompetisi, sebagai sarana literasi anak, bahkan menurut penelitian gawai juga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak (Liputan6.com 17/03/2016)

Lebih jauh lagi, jika dihubungkan dengan pembelajaran di sekolah gawai bahkan bisa dijadikan media pembelajaran paling efektif. Sifat keterbaruan dan komunikatif yang ditawarkan gawai dapat menarik antusiasme siswa dalam belajar. Transfer ilmu pengetahuan yang membutuhkan tingkat berpikir konkret juga akan terbantu dengan memanfaatkan gawai. Gawai juga memungkinkan siswa dengan mudah dan cepat untuk mendapatkan informasi mengenai materi pembelajaran melalui perpustakaan digital.

Internet sebagai bagian tak terpisahkan dari gawai juga bisa sangat produktif untuk mendukung proses pembelajaran. Tak terhitung jumlah aplikasi pendidikan yang kita bisa unduh di internet. Mulai dari ruang kelas virtual ala Google Classroom sampai aplikasi untuk mengajarkan baca tulis bisa kita berdayakan sebagai pendukung pembelajaran.

 Dari paparan di atas kiranya jelas bahwa kita tidak perlu "alergi" dengan gawai dan internet. Selain kenyataan bahwa ternyata gawai juga memiliki banyak manfaat, kita juga tidak bisa menolak kehadiran teknologi di sekitar anak-anak kita. Mengenalkan gawai dan internet kepada anak sekaligus berusaha seminimal mungkin menghindarkan dampak negatifnya haruslah menjadi ihtiyar kita semua. Kata kuncinya terletak pada kontrol atau pengawasan orang dewasa di sekitar anak.

Menggagas Tea Patrol

Tea Patrol merupakan singkatan dari Teacher Partnership Controling. Jika diartikan secara harfiah kurang lebih berarti kerjasama oleh guru untuk melakukan pengawasan. Jika dimaknai secara lebih mendalam Tea Patrol dapat diartikan sebagai sebuah program pengawasan dan pendampingan yang dilakukan oleh guru dengan melakukan kemitraan bersama pihak lain. Pengawasan disini tentu saja dalam hal mengawasi penggunaan gawai oleh siswa.

Kenapa guru yang mengawasi? bukan orangtua?

Tugas melakukan pengawasan penggunaan gawai oleh anak memang idealnya dilakukan oleh orangtua. Karena disamping sebagian besar waktu anak dihabiskan di lingkungan keluarga, orangtua juga menjadi figur yang punya porsi interaksi yang paling lama dengan anak. Maka dari itulah program Tea Patrol ini menggunakan prinsip partnership. Artinya adanya kerjasama antara guru dan orangtua. Bahkan jika memungkinkan dengan pihak terkait lainnya. Guru bisa dikatakan berperan sebagai fasilitator dan supervisor.

Program Tea Patroldapat dilakukan dengan menjalin kerjasama yang baik dengan orangtua. Pada tahap awal guru melakukan pendataan jumlah siswa di kelasnya yang aktif menggunakan gawai di rumah. Tahap ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pertemuan dengan orangtua/wali. Pertemuan ini juga dapat sekaligus digunakan sebagai sarana sosialisasi program. Juga untuk menanamkan kesadaran kepada orangtua akan pentingnya pengawasan penggunaan gawai.

 Tahap selanjutnya adalah dengan menyusun program bersama orangtua siswa yang putra-putrinya aktif menggunakan gawai di rumah. Bagaimana bentuk pengawasan, apa saja yang harus dilakukan, sampai pada hal-hal teknis pelaksanaan pengawasan. Setidaknya ada beberapa bentuk pengawasan yang dapat dilakukan.

Pertama, buat aturan penggunaan gawai. Aturan dapat berupa berapa lama durasi dan kapan waktu anak boleh mengakses gawai. Misalnya anak hanya boleh menggunakan gawai selama 2 jam perhari di sore hari. Saat hari libur bisa ditambah durasinya menjadi 3 jam atau sesuai kesepakatan dengan anak. Selain waktu-waktu yang telah ditentukan orangtua harus tegas melarang anak mengakses gawainya. Pembatasan waktu akses gawai oleh anak juga bisa dilakukan dengan menggunakan aplikasi Parental Control seperti Screen Timeyang bisa secara otomatis membatasi durasi pemakaian gawai.

 Aturan juga dapat berisi hal-hal lain untuk memperkuat pengawasan. Misalnya diterapkannya aturan "no gadget area". Buatlah kesepakatan dengan anak di tempat mana saja  anggota keluarga boleh menggunakan gawai. Tandai tempat-tempat tertentu yang menyulitkan orangtua untuk melakukan pengawasan sebagai area bebas gawai. Hal ini penting demi menghindari penggunaan gawai yang tidak baik oleh anak.

Kedua,jadikan gawai anak menjadi gawai sehat. Bentuk pengawasan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengaktifkan fitur parental controldengan menginstal aplikasi untuk memblokir konten dewasa. Banyak sekali aplikasi yang dapat digunakan seperti McAfee Parental Cotrol, Netspark, Kakatu,dan aplikasi sejenis lain yang dapat diunduh dengan mudah. Selain menggunakan aplikasi, bisa juga dengan merubah pengaturan mesin pencari di Google maupun Youtube. Mewujudkan gawai sehat juga bisa dilakukan dengan memasukkan aplikasi atau game pendidikan di gawai anak.

Ketiga, jadilah sahabat anak. Pemberian pengertian kepada anak tentang bagaimana seharusnya menggunakan gawai yang baik juga merupakan bentuk pengawasan yang harus dilakukan. Orangtua harus dapat memposisikan diri sebagai sahabat anak. Keterbukaan anak akan apa yang dia lakukan saat mengakses gawai dan internet hanya akan tercapai jika anak merasa orangtua adalah teman yang dapat dipercaya. Teladan baik dari orangtua juga merupakan sebuah keharusan.

Lalu di mana peran guru? Inilah mengapa program ini dinamakan Teacher Partnership Controling. Karena peran yang paling krusial diemban oleh guru. Guru sebagai individu terdidik diharapkan mampu menjadi motor penggerak program ini. Walaupun kegiatan pengawasan lebih banyak dilakukan oleh orangtua, tanpa adanya supervisi dan fasilitasi oleh guru program ini tidak akan berjalan dengan baik.

Sebagai fasilitator guru berperan dalam membantu orangtua menyusun aturan penggunaan gawai. Pun dalam menjadikan gawai anak sebagai gawai sehat. Tentu sebagian besar orangtua akan kesulitan dalam menginstal aplikasi-aplikasi parental control atau merubah setting gawai agar ramah anak. Di sinilah seorang guru harus mengambil perannya. Guru harus mampu menjadi  pihak yang selalu siap membantu setiap saat kesulitan yang dihadapi orangtua.

Sebagai supervisor, guru berperan sebagai "alarm" dan motivator orangtua. Guru harus senantiasa memonitor dan melakukan koordinasi ihwal pelaksanaan pengawasan. Mengagendakan kegiatan evaluasi bersama orangtua juga mutlak diperlukan. Misalnya setiap dua bulan sekali diadakan pertemuan dengan orangtua/wali. Pertemuan tersebut dapat digunakan sebagai wahana sharing antarorangtua. Juga untuk mencari solusi permasalahan yang muncul.

Program Tea Patrol ini bisa dijadikan sebuah gerakan dan kampanye bersama untuk mewujudkan gawai sehat bagi siswa. Sejatinya program ini juga merupakan implementasi gagasan bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan. Syarat utamanya adalah berani tidaknya guru-guru di republik ini mengemban tanggung jawab sebagai agen perubahan.

Jika tiap-tiap guru mau bertanggungjawab atas penggunaan gawai yang baik oleh siswa dikelasnya masing-masing, tentu gerakan ini tidak akan terasa berat. Dampak yang akan dirasakan juga akan menjadi masif jika semua pihak mau bersama-sama menggaungkan gerakan Tea Patrol ini. Tak terkecuali pemerintah. Jika pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud) bersedia menjadikan gerakan ini sebagai salah satu programnya, tentu saja akan lebih banyak guru yang akan tergerak.

 Di era digital seperti sekarang ini seorang guru memang dituntut untuk mengupgradekompetensi dirinya. Tuntutan guru dewasa ini tentu saja tak lagi sama. Sudah saatnya guru tidak hanya sekedar fokus mentransfer ilmu. Tak kalah penting, guru harus mampu menyiapkan peserta didik untuk bisa menguasai teknologi tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia Indonesia. Siapkah rekan-rekan guru?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun