Remaja laki-laki yang saya temui di tengah kerumunan siswa di sekolah tingkat menengah pertama ini sekilas tak ada perbedaan yang mencolok dengan rekan lainnya. Tapi pertemuan yang berbatas waktu ini menumbuhkan kekaguman, inspirasi, dan best practices untuk membuat pertemuan-pertemuan berkualitas lainnya.
Galih, remaja autis yang diabaikan manusia, tetapi ia mencoba mencuri hati dunia dengan membaca, bukan untuk menarik perhatian, hanya agar dia dikenal oleh dunianya.
"Saya lihat di internet, orang yang sudah menjadi pecandu NAPZA daging tubuhnya keluar. Ngeri banget!"
Galih berbagi pengalaman belajarnya, bukan kepada setiap orang. Tak banyak rekan-rekan di kelasnya yang dirasa cukup 'baik' untuk mendengarkan opini dan analisisnya tentang isu-isu kekinian yang dipelajari dari internet.
Terang saja, tak banyak pula remaja yang mau menjadi pendengar aktif kalimat-kalimat yang dituturkan dengan datar---tanpa ekspresi. Nggak telaten.
"Autis". Jawaban yang saya dapatkan dari kakak laki-lakinya pada suatu pertemuan yang sengaja saya rancang. Saya menemani Galih menunggu jemputan rutin kakaknya di depan gerbang sekolah.
"Sudah dilakukan serangkaian tes mulai dari skrinning, penilaian perilaku, hingga, hingga tes laboratorium. Galih menderita Asperger Syindrome (AS). Nanti bapak juga akan tahu bagaimana pola interaksi dan perilaku dia sehari-hari"
Hari-hari saya bersama Galih semakin menyenangkan. Saya selalu antusias menyambut hari sabtu jam ke 4, jadwal layanan bimbingan klasikal di kelas dia.
Sebagai seorang konselor sekolah, wewenang saya tentu terbatas dalam memberikan intervensi pada autisme. Tapi saya punya kesempatan untuk menyediakan ruang selebar-lebarnya bagi siswa untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal---pun untuk Galih.
Saya tidak muluk-muluk, apalagi menentang hukum alam. Saya tidak akan bisa menyembuhkan autisme yang dialami Galih. 40 menit perminggu waktu yang saya miliki di ruang kelas ini saya manfaatkan untuk mengapresiasi Galih, memberikan reinforcement yang mungkin hanya sekadar "bagus, hebat, very nice, give applause".
Tata bahasa yang digunakan dari hari kehari semakin nampak. Galih tak kehilangan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. "Jujur itu padahal mudah.
Di Belanda orang tidak perlu takut menaruh kendaraannya di pinggir-pinggir jalan. Kalau di Indonesia orang mati-matian pakai filter kamera hanya agar nampak lebih cantik. Kan ini namanya tidak jujur".
Sebuah pernyataan yang membuat netizen melongo, bukan?
Ide-ide yang disampaikan cenderung sederhana, maka dari itu ia seringkali diabaikan. Tapi bagi rekan-rekan yang peduli, Galih bisa menjadi ancaman. Seperti halnya Nurul yang nampak manggut-manggut mendengar pendapat Galih. Padahal bisa jadi Galih tak peduli orang lain tersentil atau tidak. Ini juga menjadi salah satu ciri khas dari autis yang mengabaikan unsur emosi pada diri orang lain.
"Jangankan saya, Pak. Guru saja ditegur kalau berani datang terlambat ke kelas". Terang Nurul.
Bagusnya lagi, dia selalu menggunakan kata permisi di awal pembicaraannya. Seperti;
"Permisi, saya mau membaca koran itu"
"Permisi, di depan sudah ditulis dilarang makan di dalam ruangan perpustakaan"
"Permisi, suaranya kecilkan. Saya terganggu"
Pengidap autis seperti Galih mungkin sulit bersahabat dengan manusia. Salah satu teman terbaik baginya adalah buku. Simpel dan tak perlu memahami apakah ada kesedihan, kebahagiaan, atau kemarahan di dalamnya. Nggak harus ribet memecahkan kode rahasia 'aku ngga apa-apa'nya cewe yang sampai sekarang masih menjadi momok.
Oleh karenanya, jangan mencari Galih di dalam ruang kelas saat jam istirahat, atau di gazebo, apalagi di kantin. Pepustakaan adalah tempat paling aman baginya. Jelas saja, dia punya tingkat konsentrasi yang sangat tinggi saat membaca.
Alih-alih menyukai komik, novel bertemakan cinta, atau artikel di mojok.co, Galih konsisten membaca buku-buku sejarah.
Saya pernah 'didongengi' sejarah berdirinya kekhalifahan turki utsmani selama hampir sejam. Beruntung saat itu sekolah sedang merayakan bulan bahasa sehingga kegiatan pembelajaran ditiadakan.
Sebagai gantinya, giliran saya yang harus belajar dari Galih. Meskipun tak banyak dinamika, saya tetap setia.
Beberapa hari kemudian ia juga antusias menceritakan bagaimana sejarah konstantinopel, perkembangan fungsi bangunan-bangunan di Eropa, hingga munculnya tokoh-tokoh cendekiawan muslim di dunia.
Satu hal yang tidak pernah berubah dari gaya tuturnya, yakni datar dan nyaris tanpa ekspresi. Bahkan ketika saya menampakkan dorongan minimal semacam 'emh, yap, oke, hemmm" Galih tak berminat menanggapi.
Rupanya dia punya obsesi yang cukup besar di bidang ini. Orang tuanya tidak melepaskan dia dari ajaran agama yang dianut, yakni Islam. Sepulang sekolah ia selalu menyempatkan diri untuk salat di musalah sekolah terlebih dahulu.
Pernah selepas salat saya ngobrol sambil memakai sepatu. "Tadi berdoa apa?"
"Robbana aatina fiddunya hasana wa filakhiroti khasanata waqina adzaban naar. Biar selamat di dunia dan akhirat"
"Ada doa lain?"
"Saya berdoa dalam bahasa Indonesia. Semoga hari senin besok saya lancar mengerjakan UTS Agama. Sama berdoa semoga Allah mengampuni dosa-dosa selama saya hidup"
Saya trenyuh, nahan-nahan biar air mata saya tidak jatuh di hadapan dia. Nanti saja nangisnya pas di kamar sendirian, kan gengsi.
Galih dirasa tidak sempurna. Tapi kadang kita sama-sama lupa bahwa manusia tidak ada yang sempurna sehingga mudah untuk menghakimi kekurangan orang lain. Bagi saya, Galih adalah orang istimewa. Dia tak perlu banyak kata---pun citra untuk mengajak orang lain menjadi lebih baik. Galih saat itu adalah remaja yang ingin lebih mencintai dirinya, mencintai orang lain, dengan caranya sendiri.
4 tahun berlalu, harusnya ini tahun dia melepaskan seragam abu-abu putihnya. Sekarang bagaimana kabarmu, nak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H