Saya pernah 'didongengi' sejarah berdirinya kekhalifahan turki utsmani selama hampir sejam. Beruntung saat itu sekolah sedang merayakan bulan bahasa sehingga kegiatan pembelajaran ditiadakan.
Sebagai gantinya, giliran saya yang harus belajar dari Galih. Meskipun tak banyak dinamika, saya tetap setia.
Beberapa hari kemudian ia juga antusias menceritakan bagaimana sejarah konstantinopel, perkembangan fungsi bangunan-bangunan di Eropa, hingga munculnya tokoh-tokoh cendekiawan muslim di dunia.
Satu hal yang tidak pernah berubah dari gaya tuturnya, yakni datar dan nyaris tanpa ekspresi. Bahkan ketika saya menampakkan dorongan minimal semacam 'emh, yap, oke, hemmm" Galih tak berminat menanggapi.
Rupanya dia punya obsesi yang cukup besar di bidang ini. Orang tuanya tidak melepaskan dia dari ajaran agama yang dianut, yakni Islam. Sepulang sekolah ia selalu menyempatkan diri untuk salat di musalah sekolah terlebih dahulu.
Pernah selepas salat saya ngobrol sambil memakai sepatu. "Tadi berdoa apa?"
"Robbana aatina fiddunya hasana wa filakhiroti khasanata waqina adzaban naar. Biar selamat di dunia dan akhirat"
"Ada doa lain?"
"Saya berdoa dalam bahasa Indonesia. Semoga hari senin besok saya lancar mengerjakan UTS Agama. Sama berdoa semoga Allah mengampuni dosa-dosa selama saya hidup"
Saya trenyuh, nahan-nahan biar air mata saya tidak jatuh di hadapan dia. Nanti saja nangisnya pas di kamar sendirian, kan gengsi.
Galih dirasa tidak sempurna. Tapi kadang kita sama-sama lupa bahwa manusia tidak ada yang sempurna sehingga mudah untuk menghakimi kekurangan orang lain. Bagi saya, Galih adalah orang istimewa. Dia tak perlu banyak kata---pun citra untuk mengajak orang lain menjadi lebih baik. Galih saat itu adalah remaja yang ingin lebih mencintai dirinya, mencintai orang lain, dengan caranya sendiri.