Mohon tunggu...
Triwibowo Probo Sukarno
Triwibowo Probo Sukarno Mohon Tunggu... Guru - Konselor Sekolah

Bimbingan dan Konseling | SMPN 1 Jatirogo, Tuban | Pernah ditugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai Pendidik daerah 3T di Kabupaten Boalemo, Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nggak Nyesel! Ini Alasan Kenapa Pengalaman SM-3T Jadi Mahal

25 Mei 2019   10:45 Diperbarui: 25 Mei 2019   11:08 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru SM-3T Kabupaten Boalemo (dokumen penulis) 

Indonesia mencetak sejarah 'pernah' memberangkatkan ribuan guru ke pelosok negeri atau lebih dikenal dengan istilah daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).

Misi utama program ini adalah pemerataan pendidikan serta mengisi kekosongan pendidik di daerah sasaran. Meskipun dampak dan manfaat yang ditimbulkan begitu signifikan, kita harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa program ini berakhir di angkatan ke VI.

SM-3T dicetuskan sebagai solusi permasalahan pendidikan di Indonesia. Pada awal kemunculannya program ini tidak begitu populer di kalangan sarjana pendidikan. 

Tahun berikutnya ribuan orang berbondong-bondong mengikuti seleksi dan ingin mengabdi di pedalaman-mencari pengalaman hidup, terlebih lagi ketika pemerintah memfasilitasi PPG (Pendidikan Profesi Guru) secara gratis serta menggembor-gemborkan para guru SM-3T ini diprioritaskan menjadi Pegawai Negeri Sipil melalui jalur khusus-Guru Garis Depan (GGD).

Seiring berjalannya waktu, kebijakan terus berubah mengikuti perkembangan situasi pendidikan. SM-3T dihentikan, PPG prajabatan dibuka secara umum, ditambah lagi program GGD tak nampak hilalnya secara bertahun-tahun. 

Alhasil banyak alumni SM-3T yang belum terberdayakan dan nasibnya masih terkatung-katung, sekalipun telah menjadi seorang 'sarjana plus' dengan embel-embel gelar 'profesional'.

Terlepas dari kejelasan yang tak kunjung datang mengenai 'mau diapakan' para sarjana yang sudah mengabdi selama 1 tahun di pedalaman dan menempuh Pendidikan Profesi Guru (bergelar Gr.) ini, ada beberapa hal yang patut kita syukuri pernah menjadi bagian dari SM-3T.

Mengetahui kondisi praktis sekolah di pedalaman

Mengajar di perkotaan dengan daerah 3T memiliki tantangan yang khas. Di perkotaan mungkin kita tidak menemui siswa yang harus berjalan berkilometer tanpa alas kaki untuk berangkat sekolah, mengajar dengan fasilitas terbatas, tidak ada buku ajar, guru honorer harus digaji 3 bulan sekali dengan besaran yang tidak seberapa. 

Satu orang guru harus mengampu beberapa mata pelajaran yang bukan bidangnya, guru-guru yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan sesuai perundangan, anak-anak yang harus dijemput di rumahnya agar mau berangkat sekolah, ketinggalan informasi karena minimnya akses komunikasi, dan sebagainya.

Siswa menempuh berkilo-kilo meter menuju sekolah (dukumen penulis)
Siswa menempuh berkilo-kilo meter menuju sekolah (dukumen penulis)
 Sebagai guru yang ditugaskan oleh Kemendikbud, tentu membuat ekspektasi guru lokal dan masyarakat menjadi tinggi. Guru SM-3T dianggap mumpuni dan mau tidak mau tidak hanya tahu kondisi itu saja, tapi juga harus mencari formula menuntaskan permasalahan tersebut. 

Rekan-rekan yang ditempatkan di Papua misalnya, yang mengemukakan pengakuan bahwa sepanjang satu tahun penugasan ada pula yang tidak pernah bertemu dengan kepala sekolah. 

Merekalah yang menjadi pioneer berjalannya program-program sekolah dan menggantikan peran kepala sekolah. Apakah ini bisa terjadi di sekolah perkotaan? Saya rasa tidak.

Memperluas networking

Ketika kita datang di suatu tempat yang baru, yang perlu kita lakukan adalah mempelajari budayanya. Salah satu sumber informasi budaya yang sangat penting adalah masyarakat setempat. 

Sebagai seorang guru, kita akan menemui banyak orang-orang baru. Mulai dari Bupati, kepala dinas, kepala desa, ketua adat, kepala sekolah, sampai pada kelompok masyarakat.

Tak sedikit diantara guru SM-3T ini yang tetap berhubungan dengan orang-orang di penempatan, sekalipun sudah terpisah jauh. Bahkan ada pula yang merambah kerjasama di luar bidang pendidikan, misalnya berdagang.

Menjelajah potensi wisata

Tidak dipungkiri, Indonesia memiliki alam geografis yang mengagumkan, termasuk wisata yang berdekatan dengan daerah penugasan SM-3T. Bagi teman-teman di ujung Aceh mungkin tak boleh melewatkan kesempatan mengunjungi titik 0 kilometer di Sabang. Pulau Kalimantan dengan sungai-sungai besarnya yang mempesona. 

Di Nusa Tenggara Timur (NTT) tak lengkap jika tidak menengok situs dunia Pulau Komodo atau Danau Kelimutu. Bagaimana dengan Sulawesi? Sulawesi memiliki pantai-pantai yang masih sangat asri, tentu saja dengan ombak yang relatif tenang, sama halnya pantai-pantai di Kepulauan Maluku. Papua tidak pernah kalah, mereka selalu membawa cerita tentang Raja Ampat yang megah.

Program SM-3T memberikan keuntungan bagi guru-guru muda berpetualang menjelajahi tempat-tempat wisata itu dengan lebih terjangkau. 

Rekan-rekan yang berdomisili di Jawa misalnya, tak perlu merogoh kocek yang terlalu dalam jika ingin menjelajah cantiknya Raja Ampat. Cukup meluangkan waktu libur dan beberapa rupiah tabungan untuk bisa sampai ke salah satu wisata rujukan dunia tersebut. Tertarik?

Belajar Survival

Namanya juga daerah 3T. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bukanlah perkara mudah. Kondisi-kondisi seperti minimnya akses transportasi, fasilitas kesehatan, hingga ketersediaan pasar yang hanya satu kali dalam seminggu, harus dihadapi secara struggle. 

Itu dari segi fasilitas. Belum lagi daerah-daerah yang belum dialiri listrik PLN, tidak ada jaringan telepon, krisis air bersih, dan lain-lain. Sementara pembelajaran harus tetap berjalan, kehidupan pribadi kita juga harus terpenuhi. 

Makan cukup, minum layak, istirahat teratur, atau kebutuhan-kebutuhan primer minimal kita. Sudah dapat dipastikan kondisi itu berbeda dengan yang ada di daerah asal.

Guru SM-3T mungkin saja mengalami cultural shock, tetapi itu mungkin di awal-awal saja. Butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda. Pengabdian harus tetap dilaksanakan. Buktinya, para guru ini bisa melampaui keterbatasan-keterbatasan yang ada untuk bisa tetap bertahan hidup.

Menjemput jodoh

Ada baiknya bonus dari pengabdian yang satu ini disikapi secara bijak oleh guru SM-3T. Sebagai umat beragama kita tentu harus meyakini bahwa jodoh sudah menjadi ketetapan Tuhan untuk hamba-Nya. SM-3T bisa menjadi perantara dipertemukan dengan jodoh. Tak sedikit diantara guru-guru muda ini  yang melepaskan masa lajangnya pasca pengabdian. Eeeh, tunggu lulus PPG dulu. 

Asalnya juga bermacam-macam. Ada yang berjodoh dengan rekan sepenempatan, berjodoh dengan masyarakat lokal, bisadengan guru lokal di daerah tersebut, bahkan ada pula yang ditaksir kepala suku.

Buat yang kurang beruntung jangan bersedih. Yakinlah di luar sana masih ada jodoh terbaik yang telah disiapkan Tuhan untuk menemani kehidupan kita di masa mendatang. Ada baiknya selagi masih ada waktu kita berusaha untuk memantaskan diri terlebih dahulu. Kalau semboyan salah satu teman saya;

"Mengabdi dulu, baru kamu"

"Mengabdi dulu, bersama kamu"

"Mengabdi dulu, kehilangan kamu"

Nah, kalau kamu yang mana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun